"Terimakasih lo nak, sudah mengantar Mawar." ucap bu Lina sambil menurunkan segelas air dingin di meja depan Deren.
"Ayo di minum." ucap bu Lina.
"Segar bu. Terimakasih." ucap Deren setelah meneguk air di dalam gelas tersebut.
"Mawar, temani nak Deren. Ibu mau ke belakang dulu." pinta bu Lina, begitu Mawar terlihat.
Mawar hanya mengangguk dan mendaratkan pantatnya di seberang kursi yang Deren duduki. "Kenapa?" tanya Mawar, sebab Deren menatapnya dengan intens.
"Ehh,,, nggak." Deren tersenyum canggung sambil mengusap tengkuknya.
"Busyet, kenapa malah gue yang salting sih. Come on Deren, santai saja. Mana dirimu yang biasanya." ucap Deren dalam hati untuk diri sendiri.
"Kak, makasih ya. Nggak bilang yang sebenarnya di depan ibu, tadi." ujar Mawar lirih. Deren tersenyum dan mengangguk pelan.
"Jujur, Mawar sempat takut. Soalnya Mawar belum pernah pulang bareng cowok. Apalagi sampai di anter pulang seperti tadi." ucap Mawar.
"Gila, berarti gue yang pertama." ucap Deren dalam hati, merasa jika hal tersebut pasti akan selalu diingat oleh Mawar.
"Tunggu, kenapa gue gini sih." ucap Deren dalam hati, merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
"Kak, kakak kenapa?" tanya Mawar, sebab Deren malah terdiam dan bengong.
"Ahh,,, tidak. Oh ya Mawar, ayah kamu di mana?" tanya Deren mengalihkan perhatian.
"Ayah bekerja di luar kota kak. Biasanya dua minggu sekali pulang. Tapi jika banyak pekerjaan, biasanya sebulan sekali." jelas Mawar.
"Jadi ibu kami sendiri di rumah?" tanya Deren.
"Iya, saat Mawar sekolah. Namun berdua, saat Mawar di rumah." ucap Mawar tersenyum.
Deren mengangguk pelan, jawaban Mawar menegaskan jika dirinya adalah anak tunggal.
Deren memandang ke arah deretan foto yang di letakkan di atas meja kecil di sudut ruangan. Deren yakin, jika lelaki paruh baya yang ada di foto tersebut adalah ayah dari Mawar.
Tak lama, bu Lina kembali ke depan. Mengajak Mawar dan Deren untuk makan bersama. Meski waktu makan siang sudah lewat, namun bu Lina yakin jika Mawar belum makan siang.
Pasalnya, biasanya Mawar langsung nyelonong ke dapur begitu sampai di rumah setelah dari sekolah. Tapi hari ini Mawar tidak melakukannya. Mungkin karena ada Deren di rumahnya.
"Terimakasih bu, masakan ibu enak." ucap Deren setelah mereka makan bersama.
Deren merasakan kehangatan dalam keluarga Mawar. Meski ayah Mawar sedang tidak berada di rumah. Namun Mawar dan ibunya tampak begitu bahagia.
Karena mungkin keduanya mengerti kenapa sang kepala keluarga tidak selalu berada di sisi mereka setiap saat. Sebab, sang ayah harus melakukan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Yakni mencari nafkah untuk mereka.
"Sama-sama. Masakan Mawar jauh lebih enak lohh." celetuk bu Lina.
"Ibu, apa-apaan sih." tegur Mawar dengan bibir manyun.
"Wah,,, benar bu. Bisa dong lain kali, kamu masakin aku War." goda Deren. Mawar hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan Deren.
"Baik bu, jika begitu Deren permisi dulu. Terimakasih atas makanannya." pamit Deren.
"Iya sama-sama, sering-sering main ke sini nak Deren. Ibu bosan, selalu melihat wajah Mira dan Selly." kelakar Bu Lina.
"Ibu ngapain sih pake bilang begitu segala. Nggak tahu apa, siapa Deren. Bakal kena bully satu sekolah gue, kalau ada yang tahu jika Deren main ke rumah gue. Bakal tak ada kata damai hidup gue." ucap Mawar dalam hati merasa sebal.
"Baik bu, terimakasih. Mawar aku pulang dulu." pamit Deren, yang hanya di tanggapi anggukan dari Mawar.
"Jadi cewek jangan cuek-cuek, nanti nggak laku lo..." goda sang ibu, sambil memberitahu Mawar.
"Iiissshhh,,, ibu. Bukan cuek bu. Lagian Mawar bersikap seperti biasa. Apa perlu, Mawar bersikap seperti ini. Iya kak Deren..." bantah Mawar dengan gaya sok kecentilan.
Bu Lina menggeleng melihat tingkah Mawar. "Sudah masuk." ajak bu Lina sambil tertawa melihat saat Mawar bertingkah centil.
Dari dalam mobil, Deren tersenyum melihat tingkah Mawar. Deren merasa hari ini adalah hari yang sangat indah.
Bahkan, hingga Deren sampai di base camp tempatnya berkumpul dengan para sahabatnya, senyum Deren belum luntur.
"Eaaahhh,,,,, ada apa nih,,, senyum terus." goda Luck dengan tangannya sibuk memainkan ponsel miliknya sambil rebahan.
"Elo masih waraskan." timpal Tian, menatap heran ke arah Deren. Sebab, tak biasanya sahabatnya tersenyum dengan manis seperti tadi.
"Mana Jerome?" tanya Deren sama sekali tidak menjawab rasa penasaran kedua sahabatnya.
Melepaskan seragam yang masih melekat di tubuhnya. Sebab Deren memakai kaos sebagai **********. Lalu menyampirkan seragamnya ke sandaran kursi.
Tian mengangkat kedua bahunya. "Mungkin sang Tuan ratu menyuruhnya untuk pulang." tebak Tian.
Sebab, jika mama Jerome berada di rumah, Jerome jarang berkumpul dengan mereka. Deren tersenyum miring. "Elo dari mana?" tanya Luck menaruh ponselnya.
"Main PS yuk..." Deren malah berdiri dan mengambil stick PS. Menghiraukan pertanyaan dari sahabatnya.
"Serasa bertanya pada makhluk abstrak." celetuk Luck.
Luck dan Tian saling pandang. Keduanya saling bertanya dengan bahasa isyarat. Luck menaikkan kedua alisnya, sementara Tian langsung menggeleng.
"Ckk,,,, terserah. Yang penting elo seneng, gue juga ikut seneng." ujar Tian segera mengambil stick PS.
Tepat seperti tebakan Tian. Jika mama Jerome sedang berada di rumah. Sebab, biasanya mama Jerome selalu berkeliling dunia bersama kelompok sosialitanya.
Sementara sang papa, sama seperti sang mama. Beliau jarang pulang ke rumah. Beliau selalu beralasan jika pekerjaannya sangat memakan waktunya. Sehingga jarang pulang ke rumah utama.
Jerome yang sudah terbiasa sendiri sejak kecil, tidak terlalu merindukan sosok kedua orang tuanya. Namun, Jerome menjadi pribadi yang cenderung dingin pada orang lain.
"Kamu dengarkankan Jerome?!" tanya sang mama dengan menaikkan nada suaranya.
"Ya." jawab Jerome singkat, dengan tangan memainkan ponsel.
Sang mama mengatakan jika nantinya Jerome akan kuliah di luar negeri. Dengan universitas dan kejuruan yang sudah di tentukan oleh sang mama.
Sang mama hanya mendengus sebal melihat Jerome lebih fokus pada layar ponselnya. "Jadi, kamu harus lulus dengan nilai tinggi. Jangan membuat mama dan papa malu." ucap sang mama.
Seakan perkataannya adalah perintah mutlak. Bahkan, beliau sama sekali tidak memikirkan bagaiman perasaan sang anak. Atau apa yang ada dalam pikiran Jerome.
"Kamu mau keman?" tanya sang mama, saat Jerome malah berdiri dan melangkahkan kakinya keluar rumah.
"Keluar." jawab Jerome singkat tanpa menoleh ke belakang.
"Jerome jadi pembangkak sejak dekat dengan mereka bertiga." geram sang mama.
Beberapa kali beliau bahkan menemui ketiga teman Jerome dan menyuruh mereka menjauhi Jerome. Namun mereka sama sekali tak menghiraukan perkataan mama Jerome.
Beliau malah menyalahkan ketiga teman putranya. Padahal tanpa dia sadari, dirinyalah yang menjadikan Jerome seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments