Nabila menatap sengit laki-laki di depannya, harga dirinya benar-benar dijatuhkan oleh Bara. Selain sudah membuatnya menderita, Bara juga ingin merebut kehidupan damainya. Sampai kapanpun Nabila tidak akan mau menerima tawaran dari laki-laki itu.
"Maaf, Tuan Bara yang terhormat, insyaallah, saya tidak akan membutuhkan bantuan, Anda. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!" Nabila memalingkan wajah dari laki-laki di depannya. Ia melengos meninggalkan kamar rawat itu masih dengan baju pasien karena dia tidak tahu dimana baju yang tadi dia pakai.
Bara menarik ujung bibirnya. Dia membiarkan Nabila keluar dari ruangan itu. Perhitungan seorang Bara tidak pernah salah. Nabila akan kembali padanya, bahkan memohon dan berlutut untuk mendapatkan bantuan.
"Kau yakin anak itu masih kritis, Durant?" tanya Bara menatap pintu kamar itu lekat.
Durant mengangguk, dia mempersilakan Bara untuk keluar dari sana. Namun, saat sudah berjalan di lorong, Bara menoleh ke arah Durant. "Wanita gila itu pergi tanpa alas kaki, Durant. Pergilah carikan apa yang dia butuhkan!"
Kembali sekertarisnya itu mengangguk. Durant meninggalkan Bara yang malah berbelok ke arah lain. Mencari sosok Nabila untuk memastikan jika wanita itu memang tidak akan bisa kemana pun.
"Dasar, Brengsek! Bisa-bisanya dia mengatakan ingin meniduri ku setelah apa yang dia lakukan. Astaghfirullah ...!" Nabila mengembuskan napas panjang, mengelus dada mencoba untuk meredam emosi meskipun itu sangat sulit. Bara sudah menghancurkan hidupnya satu kali. Jika kali ini dia menghancurkan nya lagi, maka tidak akan ada yang tersisa untuknya. Kehidupan, harga diri. Semaunya lenyap dalam genggaman laki-laki itu.
"Halo!" ucapnya pada orang di sebrang telepon. "Ah, iya." Kepala Nabila celingukan ke kanan dan ke kiri, depan, belakang. Semuanya tak lepas dari pantauan. Dia berusaha mencari tahu, dimana dia sekarang. Tangannya terulur menepuk lengan seorang suster, menanyakan rumah sakit apa itu. Setelah mendapatkan jawaban, Nabila langsung berlari ke arah lift. Ia bergerak gelisah dalam ruangan kecil itu. Apa yang harus dia lakukan ... bibirnya menyunggingkan senyum getir. Dia sampai lupa kalau dia tidak memakai sandal. Syukurlah dia berada di rumah sakit yang sama dengan anaknya. Nabila tidak harus mengeluarkan uang untuk membayar ongkos kendaraan.
"Dokter!" panggil Nabila, ketika melihat dokter yang keluar dari ruang ICU. Dadanya naik turun menandakan jika napasnya sangat cepat. Karena dia yang berlari seperti orang di kejar angsa.
"Ikut ke ruangan saya sebentar!" ucap dokter itu. Nabila mengangguk, dia mengikuti dokter yang menangani Ezra hingga dia bisa duduk di depan meja dokter tersebut.
"Jadi begini. Melihat kondisi anak, Ibu. Saya tidak bisa menjanjikan apapun. Jika dalam beberapa hari masih belum ada tindakan, sebaiknya Ibu bersiap untuk kemungkinan terburuknya. Maaf, bukan saya menakut-nakuti Ibu, satu jam yang lalu, Ezra menunjukan tanda-tanda jika dia akan membuka mata, tapi entahlah ... semuanya malah semakin memburuk. Jika mamang tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan pendonor! Dengan berat hati saya akan mengatakan, sebaiknya Ibu Ikhlaskan saja Ezra. Biaya perawatan di ruang ICU tidak sedikit. Jangan sampai karena hal ini, Ibu malah terjebak. Lebih baik uangnya dipakai untuk orang yang masih hidup."
Bulir bening kembali menetes dari sudut mata Nabila. Wanita itu menunduk, dia sangat tahu jika mencari pendonor adalah hal yang sangat sulit. Mungkin ini juga alasan kenapa dokter mengatakan hal menyakitkan seperti ini. Nabila tahu jika dia orang miskin, tapi untuk menyerah sekarang, Nabila tidak bisa.
"Saya ingin menemui anak saya sebentar, Dok! Terima kasih!"
Dokter mengangguk, dan Nabila keluar dari ruangan itu dengan perasaan tak menentu. Langkahnya gontai. Nabila masuk ke ruangan Ezra setelah mengenakan pakaian steril. Menatap malaikat kecil di depannya dengan tatapan nanar. Ya Tuhan, haruskah anak sekecil ini merasakan sakit luar biasa? Tidak cukupkah selama beberapa tahun ke belakang Ezra harus bulak balik ke rumah sakit untuk cuci darah?
"Sayang ...!" panggil Nabila menggenggam tangan mungil Ezra lembut. Matanya sudah memerah menahan tangis. Bibirnya bergetar tapi dia tidak busa menunjukan kesedihannya kepada anak kecil itu. Sudah cukup Ezra menderita, Nabila tidak ingin menambah beban untuk Ezra karena tangisannya.
"Mama janji, mama akan mengusahakan yang terbaik untukmu. Ezra akan sembuh, Ezra harus kuat, Sayang! Mama ... mama akan mencari pendonor. Ezra tidak harus memakai kateter lagi. Ezra pasti akan sembuh. Tunggu mama ya Sayang!"
Kecukupan kecil Nabila berikan pada kening anak semata wayangnya. Ia keluar dari ruang ICU. Tubuhnya ambruk, Nabila menunduk sembari menekan dan memukul dadanya berkali-kali. "Kau memang ibu yang tidak berguna, Nabila. Kau benar-benar tidak berguna!"
Sekuat apapun Nabila mencoba untuk tegar, dia tidak bisa. Ini terlalu menyakitkan, hanya Ezra yang dia miliki sekarang. Jika dia melepaskan Ezra, dia pasti akan sangat menyesal. Bahunya kembali bergetar, derai air mata tidak bisa berhenti mengalir, kebingungan dan keputusasaan menghantui dirinya. Ezra harus sembuh, tapi dengan cara apa Nabila mencari donor secepat itu.
Sebuah tangan besar terulur di depan matanya. Sepasang sandal yang sangat cantik tangan itu letakan dengan gerakan perlahan. Nabila mendongak, meski dia masih sesenggukan dan pandangannya buram bertirai air mata, itu tak lantas membuat Nabila tidak tahu siapa orang yang sedang berdiri di depannya.
"Saya sudah bilang hanya saya yang bisa menolong mu, Anak Ayam. Mencari pendonor organ tidak semudah mencari pendonor darah. Jika tidak menerima tawaran dari saya, kau akan kehilangan anak mu!"
Kali ini Nabila tidak berkutik. Otaknya benar-benar buntu. Dia mengusap air matanya kasar. Berjalan mendekati Bara kemudian duduk di samping laki-laki itu.
"Persyaratan mu!" ucap Nabila dengan wajah tertunduk. "Apakah tidak ada persyaratan lain. Aku bisa melakukan pekerjaan apapun," ujarnya lagi. Kini dia bisa menatap mata Bara meksipun tangannya bergetar hebat.
Bara kembali tersenyum, "Saya hanya meminta satu malam, tidur satu malam dengan saya, dan saya akan memberikan semua yang kau inginkan. Bahkan, karirmu. Saya akan memberikan semuanya."
Kedua tangan Nabila terkepal. Rahangnya mengetat, dengan urat-urat di lehernya yang semakin menegang. Dia berusaha untuk berpikir jernih, tapi sekarang bukan waktunya untuk melakukan itu. Nabila sedang ada di ujung tanduk, bergerak mundur, ada singa yang siap memangsa. Namun, jika dia maju dengan keegoisannya, jurang kematian siap menenggelamkan.
"Baiklah, aku akan menerimanya, Pak Bara," ucap Nabila gugup. "Tapi aku memiliki satu syarat ... ... nikahi aku untuk satu malam, setelah itu kau boleh menceraikan-ku!" ujarnya dengan air mata bercucuran.
Bara mengangguk, dia mengambil sesuatu dari saku celananya, kemudian menempelkan beda itu di telinga.
"Carikan pendonor untuk, Ezra meski harus ke ujung dunia! Saya ingin, besok pendonor itu sudah ada sini!"
"Baik, Bos!"
.
.
.
Bahu Nabila kembali bergetar. Suara tangisannya terdengar semakin pilu. Ya Tuhan, haruskah dia menjual agamanya untuk menyelamatkan Ezra. Tolong selamatkan dia....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Diana Cahyani
tau aja thor ni ,klu dikejar angsa sama menakutkan nya dengan dikejar setan 😂😂😂
2022-12-05
2
Yuniarti Rossyidie
nabila wanita hebat,bara laki2 pemaksa..ayo crazy up mya mana thor
2022-12-05
2
Imas Masripah
meskipun dlm keadaan putus asa tp Nabila ttp berpikir tentang dosa,semoga pas sudah menghabiskan mlm bersama bara Semakin sayang pada Nabila bukan karena ada udang di balik bakwan tp tulus setulus-tulusnya.....😊
2022-12-04
2