Sejak kepulangan dari joging sore tadi hingga kini jam menunjuk angka setengah delapan malam, yang berarti saatnya makan malam. Firhan masih melihat sang istri sesekali menampakkan wajah kagetnya dan sedih serta tiba-tiba tertawa bahagia.
Ponsel yang ia genggam pun tak pernah lepas dari tangannya, dan itu sangat Firhan tak sukai. Ia merasa waktunya yang tersisa malam ini libur bekerja harus terbuang sia-sia dengan sang istri yang sibuk sendiri.
"Zaniah, ayo makan dulu. Taruh ponselmu, Sayang." ucap Firhan lemah lembut meski dalam hatinya ia sungguh ingin menegur sang istri yang tak sadar sudah mengabaikan suaminya itu.
Sejenak Zaniah pun menangguk dan meletakkan ponselnya hingga ia pun beranjak mengambilkan makan sang suami di meja makan dan meletakkan di sana. Firhan turut melangkah menuju meja makan. Makan malam berlangsung dengan hening.
Kehangatan yang biasa mereka dapatkan saat di meja makan penuh canda tawa kini sudah tak ada sejak permasalahan soal anak membuat Zaniah benar-benar sedih.
Dimana pikiran wanita itu terus saja mengingat waktu yang terus berjalan namun setiap bulan ia mengecek kandungannya hasilnya masih negatif. Belum lagi sang mertua yang kerap datang ke rumah itu saat Firhan tak ada. Sungguh Zaniah merasa terguncang. Meski dalam perkataan sang mertua, mereka hanya bertanya tanpa mengatakan apa-apa pada Zaniah.
Tetap saja bagi Zaniah itu sungguh tidak mengenakkan.
Usai makan dan membersihkan gigi dan wajah, keduanya kini berada di atas tempat tidur. Sesuatu yang masih berjalan hingga saat ini. Minggu malam adalah waktu mereka di atas tempat tidur sekedar menikmati acara televisi atau berbagi selimut tebal.
Di tengah-tengah keheningan, Zaniah bersuara. "Mas Firhan, boleh aku besok
menjenguk Zeni?" tanyanya pelan-pelan.
Firhan menoleh sejenak dan akhirnya ia pun balik bertanya. "Apa kau berjanji tidak akan menceritakan perihal masalah rumah tangga kita?" tanya Firhan yang sama sekali tak mau orang luar mengetahui pernikahan mereka di dalamnya.
Baginya orang luar cukup mengetahui tentang bahagianya mereka saja.
Zaniah pun mengangguk ia yakin tak akan membicarakan pernikahan mereka, sebab ia datang menemui Zeni hanya ingin menjadi pendengar sang sahabat yang sepertinya punya masalah. Yah, Zaniah sangat penasaran dengan ucapan Lillia Zeni yang mengatakan ada sesuatu yang terjadi padanya hingga menyebabkan ia hamil tanpa status dan tanpa seorang pria.
Sungguh jiwa penasaran Zaniah begitu besar, andai saja waktu bisa di percepat ingin sekali rasanya ia pergi malam ini juga.
"Iya, Mas. Aku tidak mungkin membicarakan rumah tangga kita. Bagaimana pun perihal rumah tangga kita adalah rahasia kita berdua. Aku tidak ingin orang tau apa yang kita hadapi." Senyuman cantik Zaniah mengembang di wajahnya. Dan itu
membuat Firhan ikut tersenyum juga dan membawa sang istri ke dalam pelukannya.
Keduanya menikmati waktu yang tersisa, dan besok Firhan sudah akan harus bekerja lagi.
Ruangan kamar yang dingin dan luas sungguh sangat di sayangkan terasa sunyi. Andai saja ada suara tangis bayi tentu ruangan itu sangat menyenangkan. Itulah pikiran Zaniah saat ini kala menatap ruangannya dengan tatapan yang kosong meski ia saat ini sedang berada dalam pelukan hangat sang suami.
Tanpa terasa malam itu mereka lewati dengan cepat, dan kini pagi sudah datang kembali menyapa.
Dengan tubuh segar dan semangat yang membara, Zaniah dan Firhan bangun bersamaan.
Keduanya tampak saling mengeratkan pelukan sebelum mereka beranjak dari tempat tidur.
"Selamat pagi istriku," Senyuman di wajah Zaniah membuat Firhan gemas untuk mencium bibir merah muda itu.
Dengan tawa bahagia terdengar Zaniah turut membalasnya. "Selamat pagi juga, suamiku." jawabnya mencium bibir Firhan penuh cinta.
Yah begitulah pernikahan mereka sejak tiga tahun ini, meski sering bertengkar mereka tetap menjadi pasangan yang romantis di kala pagi menjelang. Karena bagi mereka masalah kemari harus selesai dan di lupakan malam hari. Hari berikutnya tak ada lagi masalah itu berlanjut.
Meski yang terjadi sesungguhnya adalah satu masalah yang bertahun-tahun terus berlanjut di tiap waktu. Karena kehadiran bayi yang tak kunjung mereka dapat selalu menjadi
celah untuk Zaniah merasa tidak percaya diri.
Sarapan Zaniah siapkan sudah habis di santap Firhan sebelum pria itu berangkat bekerja. Mereka berpisah di depan halaman rumah yang berhias bunga-bunga adenium dengan bentuk
yang unik-unik. Yah Zaniah sangat menyukai bunga jenis itu. Hingga Firhan pun tak protes jika di rumahnya di penuhi jenis bunga adenium berwarna warni bahkan dengan akarnya yang banyak modelnya.
"Hati-hati yah, Mas." ucap Zaniah melambaikan tangan dan di balas bunyi klakson mobil dari Firhan.
Sesuai agenda hari ini, Zaniah akan pergi ke rumah milik sang sahabat yang sudah ia dapatkan alamatnya semalam.
Tak butuh waktu lama, Zaniah mengendarai mobilnya. Kini ia pun tiba di rumah sederhana milik Lillia Zeni.
"Zan," seru Lillia Zeni yang sudah menanti kedatangan sang sahabat.
"Zen," serunya bergegas lari memeluk sahabatnya.
Keduanya memanglah sangat dekat hingga mereka terlihat seperti adik kakak yang berbeda bulan lahir saja jika orang melihatnya.
"Ayo masuk, aku sudah buatkan cemilan dan es buatmu. Yah meskipun pagi tapi kamu masih Zaniah yang dulu kan?" gurau Lillia Zeni yang masih ingat kebiasaan mereka saat sekolah dulu.
Sekali pun pagi, jika mereka sudah berada di kantin sekolah. Keduanya akan menikmati minuman berperasa manis dan dingin itu.
Nyatanya pertemuan itu tak membuat Zaniah ingin membuang waktu lebih lama. Ia sudah tidak sabar untuk bertanya dengan sang sahabat.
"Zen, katakan padaku? Kemana saja kau selama ini? Bukankah kau bilang ingin melanjutkan kuliahmu? Mengapa di kampus aku bahkan tidak menemukanmu juga? Mengapa kau tidak mencariku, Zen? Lalu dimana pria yang menghamilimu? Apa benar kau tidak menikah dan sedang hamil? Kau tidak bercanda kan, Zen? Apa kau tak menganggapku sahabatmu? Lalu apa kau masih tinggal bersama ibu tirimu
itu?" pertanyaan Zaniah membuat Lillia Zeni hanya tersenyum tanpa berniat
menjawab.
Bukan tak berniat menjawab, melainkan ia lupa dan hanya mengingat satu pertanyaan terakhir sang sahabat. "Ibu tiriku sudah pergi bersama prianya, Zan. Yang kau katakan benar, dia hanya menunggu rumah itu laku dan meninggalkanku." Lillia Zeni tertunduk mengingat itu adalah rumah peninggalan sang almarhumah ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments