Afa tersenyum melihat kedua sahabatnya berbaikan. Sam pun meninggalkan Afa dan Shane di ruang keluarga dan menuju kamarnya sendiri.
“Masih sakit kak?” tanya Afa menyentuh wajah Shane.
“Nggak terlalu ko.” Jawab Shane yang menahan rasa sakit saat disentuh Afa.
“Ya udah kakak istirahat lagi dikamar. Afa pulang dulu.” Kata Afa yang ingin berpamitan pulang.
Ntah kenapa Shane tidak ingin ditinggalkan oleh Afa. Hanya saja Shane bingung untuk mengutarakannya. Pada akhirnya Shane membiarkan Afa pulang.
“Aku antar ya.” Pinta Shane.
“Mana ada orang sakit nganterin yang nengoknya? Udah istirahat aja di rumah. Jangan lupa dikompres juga ya.” Kata Afa yang kemudian pamit pulang karena sudah memesan transportasi online.
Shane segera kembali ke kamarnya setelah Afa pergi. Dia melihat layar telepon genggamnya dan berselancar dimedia sosial. Dia melihat unggahan Afa kemarin malam. Dia melihat Photo yang kemarin malam diambil oleh Afa dengan caption “And then a hero comes along with the strength to carry on. So when feel like hope is gone, look inside you and be strong.”
Senyumnya mengembang melihat unggahan itu. Saking mengembangnya, dia sampai lupa dengan rasa sakit di wajahnya.
Sesampainya Afa di rumah, Afa langsung mandi dan mengenakan baju yang baru. Setelah selesai mengenakan baju, Afa hendak mengeringkan rambutnya yang basah. Namun tiba-tiba Afa mendengar telepon genggamnya berbunyi. Ternyata telepon itu dari Mamanya Artha.
“Hallo.”
“Iya Ma?”
“Afa gimana kabarnya?”
“Baik. Mama gimana udah baikan?”
“Udah. Afa lagi apa?”
“Lagi duduk aja Ma, habis mandi.”
“Jam segini baru mandi?”
“Nggak, tadi pagi udah mandi terus lari pagi, terus mandi lagi deh.”
“Oh gitu?”
“Iya, ada apa Ma?”
“Nggak, Mama kangen aja sama Afa.”
“Kan ada Deby Ma.”
“Orang Mama kangennya sama Afa, bukan sama Deby. Lagian anak Mama kan Afa. Bukan Deby.”
“Oh gitu ya Ma?”
“Iya. Afa, sebenarnya Mas masih sayang tau sama Afa. Kemarin Mama nanya Mas, katanya Mas emang masih sayang sama Afa. Afa mau ya balikan lagi sama Mas!”
“Sayang sama cinta kan beda Ma. Sayang juga sebatas pernah saling memiliki aja kali Ma? Cintanya kan udah buat Deby.”
“Nggak ko. Kemarin Mama udah tanya katanya sama Mas, Deby cuma pelampiasan aja karena Afa nggak pernah ada buat Mas. Sebenarnya diposisi ini kan bukan semuanya salah Mas. Afa juga nggak pernah ke Jakarta, baru 2 kali kesini. Jadi Mas merasa kesepian.”
“Hmmm, ternyata wajar ya cari pengganti disaat kekasihnya jauh.” Gumam Afa dalam hati.
“Iya Ma, Mas nggak salah. Afa yang salah sebagai tunangan nggak pernah ada disaat Mas butuh. Afa yang salah nggak pernah tengokin Mas ke Jakarta. Maaf ya Ma kalau Afa terlahir bukan sebagai orang kaya yang punya banyak uang dan bisa bolak balik Jakarta-Bandung tiap Sabtu untuk malam mingguan sama tunangannya. Maaf ya Ma, butuh waktu lama untuk ngumpulin uang untuk ongkos kesana.”
Tetesan air mata Afa pun jatuh. Dia tak kuasa menahannya lagi. Sekarang bukan hanya kehilangan tunangannya, Afa juga harus rela kehilangan Mamanya Artha yang sudah dia anggap seperti Ibunya sendiri.
“Bukan gitu sayang. Bukan itu maksud Mama.”
“Nggak apa-apa Ma. Benar semuanya salah Afa. Mas nggak ada salah apapun. Ma, maaf Afa matiin dulu teleponnya ya. Afa ada urusan lain.”
Setelah mengucapkan salam, Afa langsung menutup teleponnya. Mamanya Artha kembali menelepon, namun tidak Afa jawab lagi. Kini Afa menangis kembali. Dia teringat kenangannya bersama keluarganya Artha. Saat-saat menyenangkan itu membuat hatinya melemah kembali. Ingin rasanya memutar waktu. Tapi sepintas terbesit dibenaknya kembali bahwa dia tidak ingin bersama seorang pengkhianat untuk kedua kalinya.
Afa melihat layar telepon genggamnya kembali. Afa memberanikan diri untuk membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Artha. Ada pean yang berisi permintaan maaf, ada pesan yang memberi tahu bahwa Mamanya rindu, ada pesan kebencian karena menganggap Afa selingkuh duluan dan yang terakhir adalah pesan rindu dari dirinya.
“Hai Fa, apa kabar? Pasti kamu udah bahagia ya dengan yang lain disana? Mas udah lihat unggahan kamu dan Mas rasa Shane orang yang baik. Kalau sama Shane, Mas sudah tenang melepaskan kamu dan Mas akan bilang sama Mama untuk nggak berharap lagi sama kamu. Mungkin sesekali Mas masih ingin mengirim pesan ke Afa itupun jika berkenan. Karena terkadang Mas rindu. Biasanya tiap pagi Afa mengirim ucapan selamat pagi, jangan lupa makan, semangat belajarnya. Biasanya tiap malam Afa mengirim ucapan selamat malam, semoga mimpi indah, tidur yang nyenyak. Sekarang itu semua hilang karena keegoisan Mas. Nggak ada lagi yang bawel nyemangatin belajar disaat lagi benar-benar malas. Mungkin Deby memang dekat secara jarak, tapi dia nggak bisa seperhatian Afa. Ternyata walaupun Afa baru menghilang beberapa hari, semuanya banyak yang berubah. Semua yang hilang itu, Mas merindukannya. Tapi Afa jangan merasa terbebani ya. Mas baik-baik aja ko disini.”
Tangisan Afa pecah seolah mengerti masih ada rasa yang tertinggal diantara mereka. Tapi hatinya kembali kuat ketika dia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu di kamar Artha. Sekali lagi, jauh di dalam lubuk hatinya, dia memang masih mencintai Artha. Hanya saja rasa kecewanya masih lebih besar sehingga dia juga enggan memberi kesempatan kedua.
“Fa, udah dibaca tapi ko nggak dibalas. Kalau boleh Mas mau ketemu Afa. Ada yang mau Mas bicarakan berdua. Mas sudah ada di depan gang rumah Afa. Mas masuk kedalam atau Afa yang mau keluar?” pesan dari Atha kembali muncul.
Afa kaget membaca pesan terakhir dari Artha. Artha segera berpakaian rapi dan keluar rumah untuk menemui Artha.
Sesampainya di depan gang rumah Afa, ternyata benar. Afa melihat mobil Artha sedang terparkir. Afa melihat Artha keluar dari mobilnya dan melambaikan tangannya. Afa pun menghampirinya. Artha meminta Afa untuk masuk dan akhirnya Afa pun menuruti perkataannya.
Mereka berdua merasa canggung. Tidak ada kalimat yang terucap dari keduanya untuk beberapa menit kedepan. Keduanya terlihat seperti sedang bersama orang asing padahal mereka berdua baru tidak saling berhubungan beberapa hari saja.
“Fa!” panggil Artha.
“iya?” Tanya Afa.
“Nggak akan ada yang marah kan kalau Mas ajak jalan? Kita makan siang diluar ya.” Tanya Artha.
“Nggak kebalik nanyanya?” Jawab Afa ketus.
Artha hanya tersenyum. Dia tahu Afa sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana pun juga, Artha sudah mengenal Afa cukup lama. 8 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk saling mengenal satu sama lain. Tapi karena keegoisannya lah dia kehilangan 8 tahun berharganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments