Hari berganti, waktu berlalu. Ngarsinah hari ini akan bersiap untuk transaksi rumah yang akan dibelinya. Ditemani bu Yem Gadis cantik yang sederhana itu berangkat menggunakan bus dari desa Rorocobek menuju ke kota.
“Bu, Arsi kok bingung ya, yang di pojokan itu kan ada kelebihan tanahnya jadi kita harus tambah uang sekitar enam puluh juta, tapi strategis untuk buka usaha. Sementra yang nomor dua dari ujung jalan harganya lebih murah karena ukuran tanahnya lebih kecil daripada kavling yang lain. Menurut ibu gimana?” tanya Ngarsinah saat sudah berada di dalam taxi.
“Ndok kamu itu mau buka usaha atau mau kerja di perusahaan?” sebelum menjawab, bu Yem mencoba mengurai kebingungan Arsi yang akhirnya membuat gadis itu berfikir.
“Bu sebenarnya Arsi ingin punya usaha sendiri, buka toko kue atau terima pesanan snack box gitu. Tapi untuk langkah awal sih targetnya kerja dulu bu, biar ada pengalaman jadi nanti kalau mau buka usaha sendiri Arsi sudah punya ilmunya dan sudah punya teman, menurut ibu gimana?” Bu yem yang mendengar rencana anak angkatnya itu tersenyum bahagia. Arsi memang gadis yang cerdas dan kuat, inilah yang membuat Bu yem sangat menyayangi putri dari sahabatnya itu.
“Waahh bagus itu ndok, ibu setuju!” jawab bu Yem semangat. “Nanti kalau kamu sudah bisa mengadaptasi dengan lingkungan disini, cari kursus singkat bikin kue ndok biar bisa mengikuti perkembangan jaman.” Tambah bu Yem semakin semangat. Arsi yang mendapatkan dukungan dari ibu angkatnya itu semakin bersemangat, tampak jelas di raut wajahnya yang berseri-seri.
“Eh iya ndok ibu sampe lupa, kamu katanya mau pake jasa pengacara untuk urusan perceraian dengan David?” Tanya bu Yem saat teringat akan hal yang mungkin saja Arsi lupa.
“Iya bu, setelah selesai dengan urusan transaksi rumah ini, kita ke kantornya mas Rangga ya bu, rencananya hari ini mau dikenalkan dengan pengacaranya itu bu.” Ternyata gadis itu tidak lupa dengan urusannya yang paling penting. Bu Yem mengangguk mengerti. tanpa terasa taxi yang mereka tumpangi sudah memasuki pelataran parkir kantor perumahan yang menjadi tujuan mereka.
Begitu memasuki ruangan Arsi langsung disambut mbak cantik yang bertugas sebagai resepsionis.
“Selamat pagi bu, ada yang bisa saya bantu?” tanya mbak yang bertugas ramah.
“Selamat pagi mbak, hmmm saya mau beli rumah mbak, apakah saya bisa bertemu dengan pak Bram?” tanya Ngarsinah sopan setelah menjawab salam gadis itu.
“Apakah ibu sudah ada janji?” tanyanya kembali. Senyum gadis itu tetap ramah melayani tamunya.
“Saya belum ada janji, tapi saya di tadi disuruh mas Arga untuk menemui beliau mbak,” Jawab Ngarsinah sedikit gugup. Ini adalah pengalaman pertamanya berurusan beli barang dengan harga fantastis, menurut ukurannya.
“Ohh baik ibu, mohon tunggu sebentar, saya akan hubungi pak Bram dulu, silahkan ibu duduk di sebelah sana.” Kembali mbak yang bertugas di meja paling depan itu mempersilahkan mereka untuk duduk di sofa yang biasanya dipakai para tamu.
Kurang lebih sepuluh menit kedua wanita itu menunggu, akhirnya Ngarsinah pun dipanggil. Bu Yem yang selalu setia mendampingi, digandeng oleh gadis cantik yang sederhana itu.
Pintu ruang kerja Bram di buka oleh mbak yang tadi mengantar kami, Ngarsinah pun tidak lupa memberi salam kepada pria yang tadinya dikira sudah tua oleh Ngarsinah ternyata masih seumuran dengan Rangga. Bram yang berwajah campuran itu tampak macho dengan tubuh tinggi dan atletisnya.
“Selamat pagi bu, Mbak ayo silahkan duduk,” sapanya ramah. “Selamat pagi pak,” jawab kedua wanita itu kompak. Ngarsinah yang merasakan grogi berhadapan dengan pria tampan yang tampak berkharisma itu, berusaha menarik nafas beberapa kali, demi bisa menghilangkan kegugupannya.
“Mbak Arsi ya? dan ini bu Yem? Kenalkan saya Bram,” Kembali pria tampan itu bersikap ramah dan mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan kedua tamunya. Arsi dan bu Yem menyambut uluran tangan itu lalu menyebutkan nama mereka masing-masing walau sudah di sebutkan oleh si empunya kantor.
Tidak membutuhkan waktu lama mereka bertiga terlibat pembicaraan serius mengenai tipe apa saja yang dibuat oleh perusahaan perumahan Bram.
“Pak Bram saya putuskan untuk mengambil yang di pojokan ini saja, apa tidak bisa kurang lagi harga nya pak untuk kelebihan tanahnya?” tanya Arsi berusaha bernegosiasi. Bram yang mendengar unitnya di tawar, memberikan senyum termanisnya untuk gadis yang sedari tadi sering di tatapnya intens.
“Hmm gimana ya mbak, sebenarnya itu harga sudah sangat murah, tapi karena hari ini anda sudah memenangkan hati saya, bolehlah saya diskon sepuluh juta, bagaimana?” Bram yang bermulut manis itu tampak sangat profesional dalam merayu wanita.
“Oke Deal, dan terimakasih untuk gombalannya pak Bram, nampaknya anda ahlinya di marketing ya,” puji ku tulus setelah menyetujui apa yang tadi dia tawarkan. Bram hanya tersenyum manis dan itu membuat wajah tampannya membuat gadis itu merasa betah memandangi wajah campuran itu.
“Mbak boleh saya minta nomor hape nya? agar untuk masalah dokumennya saya bisa menghubungi mbaknya.” pintanya sopan dan akupun tidak keberatan untuk memberikan nomor hape ku kepada pria baik itu.
Sebelum membayar tanda jadi kami berangkat ke lokasi, seorang supir perusahaan itu dengan sigap melajukan kuda besi berwarna hitam metalik itu menuju komplek perumahan yang masih terus membangun. Unit yang aku pilih sudah jadi dan siap huni, jadi aku bisa langsung melihatnya.
Tampilan rumah yang berada di pojokan itu terlihat cantik dan modern, banyak jendela sehingga cahaya matahari masuk dengan leluasa kedalam rumah itu. Tetangga ku sepasang suami istri yang tampaknya baru saja memiliki anak, aku dengan ramah menyapa calon tetangga ku dan disambut hangat juga olehnya. kami masih belum sempat berkenalan, karena ibu muda itu tampaknya sedang terburu-buru untuk berangkat.
“Kapan rencananya mau di tempati mbak Arsi?” tanya Bram setelah kami puas berkeliling. “Rencananya dalam bulan ini mas saya mulai mengisi. Apa boleh saya tempati dulu sementara dokumen rumah ini belum selesai mas?” jawab ku yang berujung pertanyaan, rasanya memang aku ingin segera pindah.
“Bisa banget mbak, apalagi mbak Arsi mau beli cash, jadi tidak ada masalah.” jawabnya sumringah. “Eh tapi saya bayar uang muka dulu loh mas dan termin keduanya saya bayar minggu depan lalu pelunasannya setelah dokumen beres, begitu kan ya?” Ngarsinah mengingatkan kembali obrolan mereka tadi mengenai sistem pembayaran cash termin.
“Iya mbak Arsi yang cantik, tenang saja jangan seperti orang lain, santai saja.” jawab Bram dengan rayuan gombalnya yang membuatku mencebik.
Selama melihat sekeliling Ngarsinah terus saja bertanya ini dan itu tidak mau ada yang tertinggal sedikitpun.
“Tidak usah bekerja di perusahaan lain, bekerjalah di perusahaanku, mbak Arsi bersedia?”
❤️❤️❤️
Hohoho mulai possesif nih, tapi siapa ya? 🤔
Yuk dukung novel ini dengan like, komen, subscribe dan vote ya, happy reading. ❤️🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Alexa_Kuyy2
smnggttttttt terusss thorrr
2023-05-12
0
lita
Bram oh bram
2023-05-08
1
🍾⃝ͩʙᷞᴀͧʙᷠʏᷧ ɢɪʀʟʟ
smngatttt om guaanteeenggg 🙏💪💪💪
2023-04-02
3