Setelah memastikan adiknya sudah terlelap, Mentari kembali keluar dari kamarnya. Dia menemui ibunya yang sedang sibuk membereskan piring.
"Biar Tari saja, Bu. Yang menyelesaikan ini," ucap Mentari.
"Tidak usah," jawab Ratih.
"Tari, apa kamu yakin ingin menerima pinangan dari Iwan?"
Pertanyaan Ratih, membuat Mentari menoleh kearahnya.
"Kenapa Ibu menanyakan hal itu?" tanya Mentari.
Ratih mencuci tangannya, kemudian dia menatap putrinya. "Ibu cuma ingin kebahagiaanmu. Jika kamu memang tidak ingin menerima perjodohan itu, ibu pasti akan mendukungmu."
Mentari menggenggam tangan ibunya, "Bu, Tari yakin dengan pilihan ibu. Tari percaya, kalau Ibu, tidak akan salah memilihkan jodoh untuk Tari."
"Tapi, Nak. Jika kamu memang memiliki calon lain, yang kamu cintai dan yang mencintai kamu. Ibu, pasti akan menolak lamaran Pak Handoko. Karena bagi Ibu, kebahagiaanmulah yang paling penting."
"Tidak Ibu. Saat ini tidak ada orang yang Tari cintai ataupun yang mencintai Tari. Jadi Tari pasti bahagia dengan pilihan Ibu," ucap Tari yang berusaha untuk meyakinkan ibunya.
"Mungkin dengan menikahi Iwan, aku akan bisa melupakan perasaanku pada Juan," batin Mentari.
"Syukurlah, jika seperti itu. Ibu hanya tidak mau memaksakan kehendak Ibu."
Tari tersenyum.
"Sudah, istirahat sana! Ibu yakin, kamu pasti masih capek!" seru Ratih.
"Nggak apa-apa, kok, Bu. Tari bisa tidur setelah ini."
Mentari mengambil piring yang berada di tangan sang ibu.
"Ya, sudah. Tapi, setelah selesai langsung tidur ya, Nak!"
"Iya, Bu," jawab Mentari sambil tersenyum. "Sana, ibu istirahat saja. Serahkan semuanya pada Tari."
"Baiklah, ibu tidur duluan ya!" Ratih mengusap tangan sang putri pelan.
Tari mengangguk kemudian tersenyum. Setelah menyelesaikan pekerjaanya, Tari kembali masuk kedalam kamar. Dia merebahkan tubuhnya di samping Bintang yang sudah terlelap. Mentari menatap wajah Bintang sejenak kemudian mengambil gawainya.
Mentari menghidupkan gawai yang ada di tangannya. Ternyata banyak pesan dan panggilan tak terjawab di layar gawainya tersebut dan itu dari kekasihnya, Juan. Mentari hanya membaca semua pesan itu tanpa berniat membalasnya. Hatinya masih terlalu sakit, ketika mengingat pernyataan cinta Juan kepada Monica.
"Aku memang tidak sebanding dengan Monica," gumam Mentari, dia kembali meletakkan gawainya di atas nakas.
"Bintang, adikku yang ceroboh. Semoga kelak kamu bisa mendapatkan pria yang benar-benar mencintaimu. Tidak memandang harta dan kedudukan kita. Semoga nasib cintamu lebih beruntung dibanding Kakak," ucap Mentari kepada adiknya yang terlelap. Dia mencium kening adiknya, kemudian ikut memejamkan matanya yang memang sudah lelah.
*****
Di tempat lain.
Juan terus melihat ponselnya dan berharap, Mentari akan membalas pesan yang sudah dia kirim. Tapi, sepertinya dia harus memupus keinginannya tersebut. Karena meskipun pesan itu sudah dibaca, belum ada pesan balasan dari kekasihnya itu. Juan hendak menelpon kekasihnya itu. Namun, perbedaan waktu 12 jam, membuat ia mengurungkan niatnya. Terlebih dia tahu, kalau Mentari baru saja menempuh perjalanan jauh dari Amerika ke Jakarta.
"Kenapa?" tanya Rangga dan Nando bersamaan.
Saat ini mereka bertiga sedang duduk di restoran yang tidak jauh dari apartemen.
"Mentari belum membalas pesan gua," jawab Juan.
"Mungkin dia belum baca," sahut Nando.
"Dia sudah membacanya. Tapi, sepertinya dia memang tidak ingin membalas pesan gua."
"Sabar saja. Beri dia waktu sendiri," tambah Rangga.
"Tapi, kalau dia beneran nggak pernah balas pesan gua gimana?"
"Itu namanya resiko. Siapa suruh loe main taruhan itu."
"Iya, gua tahu, gua salah. Tapi, loe jangan terus ngingetin gua soal itu lagi," tukas Juan.
Nando hanya mengedikkan bahu.
Juan menghela napasnya. Dia menatap mobil mewah hasil taruhannya waktu itu. Mobil yang harus membuat dia kehilangan orang yang dia cintai, Mentari.
"Harusnya gua nggak ikut taruhan itu," sesal Juan, dia kembali menghela napas panjangnya. "Ternyata mobil itu tidak lebih berharga dari Mentari."
"Bukankah gua sama Rangga sudah ngingetin loe sebelumnya, kalau permainan konyol yang loe ikuti, bisa bikin hubungan loe hancur. Dan lihat, semua jadi kenyataan kan sekarang."
"Gua nyesel."
"Makan tuh penyesalan," jawab Juan.
"Sialan loe, bukannya ngasih kata-kata yang bisa bikin hati gua tenang. Malah bikin gua tambah galau. Bener-bener teman nggak ada akhlak."
"Emang. Habisnya selama ini loe susah kalau diingetin."
Juan mencebikkan bibir mendengar ucapan Nando.
"Dasar, teman durhaka kalian!"
"Ya sudah, kalau ngerasa galau, susul dia gih sekarang!" seru Rangga.
"Untuk saat ini gua nggak bisa," jawab Juan.
"Berarti ya nunggu minggu depan. Gua baru pulang minggu depan. Nanti begitu gua pulang, gua langsung nyari Mentari buat loe."
"Thank ya, Ngga."
"Terimakasihnya, nanti saja kalau gua sudah berhasil bujuk Mentari," tukas Rangga.
Ketiganya kembali melanjutkan makan mereka.
***
Satu minggu kemudian ….
Sesuai janjinya kepada Juan, begitu tiba di Indonesia Rangga langsung mencari keberadaan Mentari. Berbekal alamat yang diberikan oleh sahabatnya, dia memulai pencarian.
"Apa ini rumah Tari?" tanya Rangga dalam hati.
Rangga menatap rumah sederhana yang berada di hadapannya.
"Tapi menurut alamat yang diberikan oleh Juan, ini memang rumah Tari." Rangga menatap secarik kertas yang diberikan oleh Juan sebelum dia berangkat.
Rangga melepaskan seat belt dan turun dari mobil yang dia kendarai. Sebelum melangkah ke rumah Mentari, dia mengambil kotak titipan dari sahabatnya yang ada jok belakang.
Rangga mulai mengangkat tangannya saat berada tepat didepan pintu. Namun sebelum dia sempat mengetuk pintu tersebut, pintu itu sudah terbuka. Seorang gadis berpakaian putih abu-abu keluar dari dalam rumah.
"Siapa kamu?" tanya gadis itu. Dia menatap Rangga dari atas hingga bawah.
"Aku Rangga, sahabat Juan sekaligus teman Mentari," jawab Rangga sambil memperkenalkan diri, dia mengulurkan tangannya.
Gadis itu tidak membalas uluran tangan Rangga. "Tunggu disini!" seru gadis itu kepadanya.
"Sabar Rangga, sabar. Dia cuma anak kecil yang belum tahu tata krama," batin Rangga.
"Iya, Dek. Aku akan menunggu di sini," jawab Rangga yang berusaha tetap tersenyum dihadapan gadis itu.
Gadis itu kembali masuk kedalam rumah. Tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa seember air dan menyiramnya ke tubuh Rangga.
"Hei, apa yang kamu lakukan?!" suara Rangga meninggi.
"Bilang sama teman Kakak yang bernama Juan, jangan ganggu kakakku lagi! Karena sebentar lagi Kak Tari akan menikah."
Untuk sesaat Rangga terdiam, dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"A--apa katamu? Tari akan menikah?" tanya Rangga memastikan.
"Iya, minggu depan dia akan menikah. Jadi jangan ganggu dia lagi!"
"Tolong ijinkan aku bertemu dengan Mentari sebentar!"
"Kak Tari tidak ingin bertemu dengan siapapun. Jadi pergilah!" seru gadis itu.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi berikan ini pada Mentari, ada surat dari Juan juga di dalamnya." Rangga menyerahkan kotak yang dia bawa kepada gadis itu.
"Aku akan berikan ini kepada Kak Tari, jadi pergilah sekarang!"
Setelah menerima kotak dari Rangga, gadis itu menutup pintu dengan sangat keras.
"Dasar cewek gila!" Rangga meneriaki gadis tadi. Dia segera berjalan dan kembali masuk kedalam mobilnya.
"Juan, jika kamu sudah tidak sibuk, hubungi aku. Ini soal Mentari dan ini penting." Rangga mengirim pesan suara kepada sahabatnya. Usai melakukan itu, dia kembali menghidupkan mesin mobilnya, kemudian meninggalkan halaman rumah Mentari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Yuli maelany
Rangga kamu Jan terlalu benci lho sama bintang entar malah kamu bakalan jatuh cinta....
2022-12-22
0
Kiki Sulandari
Pertemuan pertama Rangga & Bintang,...tak ada kesan apapun...
Tapi kok Bintang kelihatannya kesal?
Kenapa?
2022-12-21
0
💫𝒖𝒏𝒊𝒆𝒒💫
baru ingat dah bknnya nnt rangga sm mentari ya🤔 yaa kann mbk eka sorry klo asal nebak🤣
2022-12-08
0