"Lepaskan aku tuan, jangan bawa diriku pergi. Aku tidak mau ikut bersama tuan. Oh... Tolong tuan."
Aku berusaha meronta, namun tidak mengubah hati kedua pria itu menjadi belas kasihan.
"Aku bukan pel*cur, tuan! Jangan paksa aku untuk melayani dan melakukan kemauan tuan. Aku tak sudi melakukan seperti yang dilakukan mereka pada pria hidung belang itu."
Tangis ku tetap saja menulikan pendengarannya.
"Hei tuan...! Kenapa uang begitu berharga bagi ibuku dan mbak Riris? Mereka tega menawarkan tubuhku dengan nilai seratus juta." keluarkan aku tuan.
"Kalaupun aku hanya anak pungut, lalu siapakah kedua orang tuaku?"
Palupi mengadukan semua rasa. Andaikan boleh memilih, ia tentu tidak pernah ingin terlahir sengsara.
Palupi meraih tissue yang disodorkan laki-laki itu padanya.
Air matanya terus mengalir. Ingin mati saja rasanya. Palupi membuang pandangan mataku ke arah gemerlapnya kota metropolitan, sambil mengelap air mata.
Belum pernah sekalipun ia menjejakkan kakinya ke tempat seramai ini. Bahkan walaupun sekedar hang out dengan sesama kawan sebayaku.
Waktu santai seperti itu sangatlah langka baginya. Jangankan hang out, keluar rumah pun tidak ada kesempatan bagiku. Waktunya tersita penuh dengan pekerjaan rumah yang setiap saat ada saja yang harus ia kerjakan.
"Haruskah aku membenci sosok ibu yang membesarkan ku? Haruskah aku menaruh dendam padanya? Sedangkan tanpa ibu aku bukan siapa-siapa, tanpa ibu tidak mungkin aku menjadi besar seperti ini." Palupi bermonolog dalam batinnya.
Tubuhnya menggigil karena dinginnya air conditioner, yang menerpa kulit Palupi dengan pakaian minim dan terbuka seperti ini.
"Sampai kapan kamu harus menangis? Aku tidak suka wanita cengeng sepertimu! Hilangkan suara isakan itu, atau kubuang dan kulempar kamu ke bawah jembatan itu."
Suara bariton yang penuh ancaman itu, membuat nyali Palupi menciut dan semakin ketakutan.
"Antarkan saya pulang kembali tuan, saya takut."
Palupi melirikkan ekor matanya pada laki-laki yang duduk melipat kaki di sebelahnya, laki-laki itu melepas jas hitam yang dipakainya lalu mengulurkannya pada Palupi.
"Pakailah ini, tubuhmu tidak pantas untuk dinikmati pandangan pria lain, sebelum kunikmati terlebih dulu."
Aku tak tahu apakah pria itu mengancam atau sekedar bercanda, senyum miring itu membuatku tidak nyaman di buatnya.
"Tuan... , air mata ini sulit kutahan. Biarkan aku menangis dulu. Setelah itu aku akan diam seperti yang tuan inginkan." Ucap Palupi lirih.
Palupi membatin,
"Suatu saat pasti aku akan kabur darimu tuan, lihat saja! Aku tidak mau menjadi budak nafsumu tuan."
Palupi hanya pasrah mau ditendang atau dibuang ke jurang sekalipun akan ia terima. Toh ia akan menjadi sampah yang tidak berharga setelah ini.
Palupi meraih jas itu lalu memakainya untuk menutupi tubuh, dan itu memberikan sedikit kehangatan yang ia rasakan.
Palupi merasa sedikit nyaman, wangi bau jas ini membuatnya sedikit terhibur dari rasa takut dan kebencian itu.
Palupi meraih ujung gaun yang ia pakai, lalu Palupi menggunakan untuk mengusap air mata serta ingus beningnya.
Srootttt....srooottttt.
"Hei, kamu! Sudah cengeng jorok juga kamu rupanya heh..!"
Bentak pria itu bagaikan petir.
Merah padam wajah pria itu membuat Palupi ingin pingsan saja.
Gemetar tubuh nya, demi mendengar bentakan yang jelas dia tujukan padanya. Palupi menyesal dengan semua tindakan yang ia lakukan barusan.
Tapi sungguh, ia tetap tidak peduli.
"Ray, kita ke butik Liana dulu," terdengar perintah itu menuntut untuk segera, dan tidak bisa ditangguhkan.
"Baik kita ke sana," jawab Ray.
Tidak lama kemudian mobil berhenti. Kami tiba di rumah yang indah dengan taman kecil yang asri di halamannya.
'Liana's Boutique'
"Oh..., kenapa boss datang tanpa nelfon dulu? Iihh... kebiasaan deh...," Suara kemayu itu mengorek telingaku, membuatku merinding geli.
"Ubah penampilan dia, aku tidak ingin ada lalat hinggap di pundaknya yang terbuka dan terlihat menjijikkan itu."
"Kuberi waktu sepuluh menit."
Perintah laki-laki itu, membuat sedikit lega, dan tentu saja tidak menutup kemungkinan Palupi akan memakai baju yang tertutup.
Kaki kecil itu melangkah mengikuti wanita jadi-jadian, yang berjalan melenggok gemulai seperti cacing menggeliat di atas aspal panas. Tubuhnya sexy seperti boneka Barbie.
"Duh say... Kamu cantik, matamu itu loh say..., cantik sekali. Kamu harus melayani boss John itu dengan bagus loh, seperti ini."
Wanita jadi-jadian itu menjulurkan lidahnya seperti sedang menghisap sesuatu, dan meliukkan tangan dan tubuhnya persis seperti cacing kepanasan saja.
jijik...
" Bantu aku, mau kabur saja dari suasana seperti ini." iba Palupi lagi pada Liana
'Tuhan..., selamatkan hamba, dari tempat yang mengerikan ini' Batin Palupi.
Laki-laki gemulai itu menuntunnya kembali ke ruangan semula setelah selesai mengubah penampilannya, Awalnya memakai gaun dengan dada terbuka. Bentuk pakaian itu mengekspose tonjolan buah aprikot milik Palupi. Bentuknya sedikit menyembul menampakkan wujudnya.
Sekarang penampilan Palupi telah berubah. Ia tampil dengan gaun yang lebih elegan dan tertutup.
Pakaian yang memberikan kenyamanan pada dirinya saat menggunakan.
"Apakah dengan dandanan seperti ini, aku sudah menjadi wanita ja*lang...?"
Aku tidak mau mas.
"Say... Ingat yah... layani boss ini dengan benar."
Liana kembali berbisik, "Dia perkasa loh kamu lihat tuh yang dia sembunyikan."
Mata Liana berkedip sebelah kiri, sambil menjulurkan alat pengecap rasanya itu.
Palupi menatap mas Liana dengan tatapan bingung
Liana kembali berbisik, "Itu loh... belalai gajah Afrika miliknya. Ooh baby ..."
Kemudian Liana melangkahkan kakinya dan mendekat ke arah pria yang dipanggil dengan sebutan Ray itu.
Sekelebat tangannya sudah mendarat dengan sengaja pada pangkal area pertandingan milik Ray si sopir itu.
"Sekali lagi kamu berani melakukan itu padaku, akan kugantung terbalik tubuhmu di pohon yang ada di depan itu!"
Ancam Ray ketus, sambil mendelik ke arahnya.
Liana tidak peduli, ya memang dia sudah terbiasa dengan ulahnya yang tidak wajar itu.
Dia tetap berlalu dan berjalan semakin genit saja, sambil mendekat ke arah pria yang bernama John Norman.
Laki-laki bernama John Norman itu memandang Palupi dengan tidak berkedip. Sorot matanya membuat merinding.
"Boss, dia masih tersegel ya. Jangan sembarangan menancapkan belalai gajah Afrika mu. Kasihan bila dia menjadi trauma, ha..ha..ha..."
Tawa nge-bass mas Liana, membahana dalam ruangan itu.
Mata John Norman melotot, mewakili malaikat pencabut nyawa memandang ke arahLiana.
Liana yang menyadari itu, buru-buru berlalu menyelamatkan dirinya dari pandangan dua laki-laki ini.
Berbeda dengan Ray yang langsung membukakan pintu mobil untuk pasangan itu.
Pandangan mata John beralih menatap Palupi tanpa berucap, seolah-olah ia hendak menerkamnya hidup-hidup.
Mobil melaju dengan tenang, mengarah pada jalanan remang dan lengang. Ke manakah Palupi akan dibawa oleh pria ini?
Apakah setelah dia merenggut kesucianku, dia akan membunuh dan membuang, atau mencampakkan Palupi ke dasar jurang.
Oh Tuhan...
Tragis nian nasib Palupi. Dijual dengan nominal seratus juta.
Berkelebat bayangan demi bayangan dalam benak palupi tentang hal buruk yang mungkin akan terjadi padanya.
Semua itu membuat Palupi lelah berpikir dan akhirnya membawanya ke alam mimpi.
palupi terlelap entah berapa lama, dan berapa jauh jarak yang telah mereka tempuh bersama dua pria yang belum kenal siapa mereka.
Happy reading baby
To be continued 😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
setidaknya John lebih manusiawi drpd ibunya Palupi. tdk main hantam Kromong. masih lebih baik drpd Riris kakaknya yg tdk memperdulikan nasib Palupi. terbukti John memilih memantaskan penampilan Palupi, seolah tdk rela tubuhnya menjadi konsumsi publik. mudah-mudahan seterusnya sikap John baik dlm memperlakukan Palupi.
2023-02-22
0
lanlan
mampir kak 🤭
2023-02-22
0
🦈Bung𝖆ᵇᵃˢᵉ
Tega banget palupi di jual
2023-02-22
0