Kenangan Masa Lalu

“Hemm.” Lelaki remaja yang tengah menggenggam tangannya itu menoleh.

“Aku pikir....”

“Apa?” tanya Arfa mendesak. “Katakan apa yang ingin kamu sampaikan, Bell.”

“Lebih baik kita putus!” pinta Bella.

Sontak genggaman tangan Arfa pun terlepas. Seiring dengan tubuhnya yang beringsut mundur, kedua matanya menatap Bella percaya.

“Bell, ini–” Arfa menggeleng tak percaya.

“Bukan aku tak lagi mencintaimu, Ar. Aku hanya tidak siap menjalin sebuah hubungan jarak jauh, dan itu akan mempengaruhi study kita. Termasuk kamu, aku ingin semua berjalan lancar, kau bisa kuliah dengan tenang. Tanpa ada beban yang dipikirkan,” jelas Bella menghela nafas berat.

“Tapi kita belum mencobanya Bell,” ujar Arfa tampak tak rela.

Bella menggeleng. “Tapi aku tidak ingin mencobanya. Aku tidak ingin menanggung resiko.”

“Bell–”

“Ar–”

“Kau yakin, Bell?" tanya Arfa.

Bella mengangguk meski hatinya terasa berat, ia hanya tidak ingin menjadi beban untuk Arfa. Kemudian tanpa disangka Arfa justru merengkuh tubuhnya ke dalam dekapannya, menghujani wajahnya dengan kecupan, dan yang terakhir, hal yang tak pernah Arfa lakukan sebelumnya. Lelaki itu mengecup bibirnya, tak cukup hanya itu Arfa juga me lu mat bibirnya sesaat.

“Maaf Bell, aku–”

“Tidak apa-apa. Besok hati-hatilah kalau berangkat,” ujar Bella mengalihkan pembicaraan. Meski jantungnya berdegup kencang, untuk pertama kalinya ia merasakan manisnya bibir Arfa.

“Oh iya tidak apa-apa, anggap saja untuk bekal diriku nanti di jalan,” ujar Arfa santai.

“Apanya?”

“Ciuman pertama kita.”

Bella menabok pundak Arfa, sementara lelaki itu hanya tertawa.

“Kan gak mungkin aku mencium kamu besok, karena besok pasti ramai di Bandara,” ujar Arfa.

Bella terdiam dan tersenyum. “Aku mungkin tidak bisa mengantarmu.”

“Kenapa?”

“Yaa hanya saja aku–”

“Aku mengerti. Sudahlah tidak perlu merasa sungkan saat berbicara denganku. Apapun keputusanmu aku hargai.” Arfa menggenggam tangan Bella.

“Ingat saat kuliah nanti kamu harus rajin belajar, jangan pacar-pacaran,” tambah Arfa kemudian.

Bella mengerucutkan bibirnya ke depan. “Harusnya aku yang berkata seperti itu untuk kamu.”

“Lho–”

“Kamu kan mau pindah ke negara lain, otomotis di sana pasti ceweknya lebih cantik dan seksi. Aku hanya berpesan supaya kamu tetap konsentrasi, dan rajin kuliah,” ujar Bella.

Arfa terbahak. “Kamu lebih tahu seperti apa aku. Tidak akan mudah untuk aku menghapus kenangan kita Bell.”

“Hemmm aku mengerti.”

“Jika begitu, kalau nanti aku kembali bolehkah aku menemuimu, dan kembali menjalin hubungan denganmu,” ujar Arfa sambil tergelak mengingat sikap lucunya, padahal ia belum berangkat. Namun, rasa takut untuk berpisah itu kuat untuk ia rasakan.

“Kita lihat saja kedepannya.” Bella menjawab dengan tenang.

“Aku akan sering memberi kabar padamu nanti,” seru Arfa.

“Aku akan menunggu.”

Kini Bella menghela nafasnya mengingat kembali perpisahan manis di belakang sekolah dengan Arfa. Kenangan manis yang tak mungkin bisa ia lupakan. Setelah hari itu Arfa benar-benar berangkat. Satu bulan awal komunikasi keduanya masih berjalan lancar, saling bertukar pesan. Namun, di bulan berikutnya entah kesibukan yang memadati Arfa atau bagaimana. Bella seakan kehilangan kontak komunikasi dengan Arfa. Ia tak pernah kembali mendengar kabar Arfa. Perempuan itu merasa sedih, hari-hari berikutnya dilalui tanpa sebuah kabar dari Arfa, jika begini haruskah ia menyesal karena tak menerima saran dari Arfa untuk menjalin hubungan jarak jauh. Sementara hatinya masih menginginkan lelaki itu. Arfa seolah tak ingin pergi dari hatinya. Bak telah tertancap paku, sekalipun Bella mengusirnya, rasanya tetap membekas.

Dan kini, setelah sekian lama. Takdir menuntun keduanya untuk kembali bertemu. Keadaan sudah berubah, Arfa bukan lagi sosok yang hangat, lelaki itu terlihat begitu membenci dirinya. Bersikap seolah keduanya hanyalah orang asing.

“Mbak? Mbak Bella nangis?” tanya Budi tiba-tiba. Pegawai OB yang baru kembali dari ruangan Arfa itu berhasil membuyarkan lamunan Bella.

Bella tersentak salah tingkah. “Oh tidak.”

“Maaf ya Mbak. Gara-gara aku mbak jadi kena marah sama Pak Arfa,” sesal Budi.

Bella tersenyum. “Pak Arfa tidak memarahi ku hanya menegur agar kita tidak bersikap lancang. Tidak masalah Budi, semua baik-baik saja.”

“Tapi menurut saya kebangetan Pak Arfa itu. Masa kopi udah jadi tinggal minum saja, minta di ganti,” celetuk Budi heran.

Bella menghela nafasnya, untuk hal itu ia sendiri tidak tahu alasannya. Ia tidak punya wewenang apapun, di sana dirinya hanya karyawan biasa. “Huss... Jangan berbicara sembarangan. Takut saja orangnya tiba-tiba datang dan mendengar ucapanmu,” tegur Bella kemudian.

“Iya mbak.”

“Ya sudah aku kembali ke ruangan,” pamit Bella kemudian.

Terpopuler

Comments

Nendah Wenda

Nendah Wenda

sakit banget orang yang kita tunggu dan harapkan ternyata mengecewakan sabar bell kalau jodoh pasti bersatu

2024-04-21

0

Ulfa Monalisa

Ulfa Monalisa

Sabar ya Bell....

2024-03-10

2

Eka Uderayana

Eka Uderayana

ku pikir.. bukan salah Arfa... karena Bella yang memutuskan Arfa

2024-02-25

6

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!