Di dalam kamarnya, Miki masih mengedarkan pandangan. Kedua matanya menyusuri tiap inci benda-benda yang berada di kamar tersebut. Dia mendengus kesal saat membuka lemari pakaian yang isinya pakaian wanita. Dengan cekatan, Miki mengeluarkan pakaian-pakaian itu.
"Baiklah tuan, karena kamu telah memberikan kamar ini untukku, jadi aku berhak melakukan apa pun yang aku suka. Aku yakin jika pakaian ini milik wanita pendusta itu. Lihat saja, akan aku bakar pakaian ini hingga tak bersisa. Seperti dia yang telah membakar keberadaan aku tanpa sisa," gumam Miki penuh emosi.
Miki membawa pakaian perempuan itu ke balkon samping. Dengan kasarnya, dia menghempaskan pakaian-pakaian tersebut di atas lantai. Sedetik kemudian, Miki mengambil pemantik api dari dapur. Dengan menggunakan benda itu, Miki kemudian membakar seluruh pakaian yang dikiranya milik Ilona.
"Selamat tinggal ibu. Rumah baru dan hari baru sudah menanti aku," ucapnya menatap nyalang api yang sedang menari-nari di hadapannya
Di kamar utama, Argha menautkan kedua alisnya saat mencium aroma hangus. Dia mulai menajamkan indera penciumannya dan segera keluar untuk mencari sumber aroma tersebut. Hingga tiba di balkon samping, Argha membelalakkan bola matanya.
"Apa-apaan ini?"
Argha menatap Miki dengan wajah garang. Namun, anak itu terkesan biasa saja saat melihat tatapan Argha. Dengan begitu tidak pedulinya, dia membalikkan badan untuk kembali ke kamarnya.
"Tunggu Miki!" teriak Argha yang seketika menghentikan langkah Miki. "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kamu lakukan dengan benda-benda itu?" tanya Argha geram.
"Ish, Apa Anda tidak lihat jika aku sedang membakarnya?" jawab Miki, ketus.
"Tapi kenapa kamu membakarnya, Miki? Apa kamu sadar jika perbuatan kamu itu bisa menyebabkan kebakaran?" ucap Argha yang sudah merendahkan kembali suaranya.
"Kebakaran? Cih, seharusnya dia berpikir seperti itu sebelum bertindak terlalu jauh," dengus Miki kesal.
Argha benar-benar bingung dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir anak kecil itu.
"Dengar Miki, aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran kamu saat ini. Namun, kamu sama sekali tidak berhak melakukan semua ini. Perbuatan kamu yang tanpa alasan ini, suatu saat akan merugikan diri kamu sendiri. Paham!"tegas Argha.
"Hmm, tidak beralasan," gumam Miki. "Aku selalu memiliki alasan dalam semua tindakanku, Tuan. Dan aku pikir, kau pun tahu tentang itu," jawab Miki nyaris tanpa ekspresi.
Huft!
Argha membuang napasnya kasar. Belum ada sehari dia tinggal bersama anak itu, tapi kelakuannya sudah membuat tensi Argha naik.
Ya Tuhan ... aku tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi bocah itu? Ish, Bram ... keturunan lu bener-bener nyusahin gue," dengus Argha dalam hatinya.
Setelah Miki pergi, Argha mengambil selang air dan membuka kran. Dia mulai memadamkan api yang semakin membesar melahap semua pakaian Nadhifa.
"Astaga, bisa berantakan apartemen gue karena kelakuan tuh bocah," dengus Argha, kesal.
🍁🍁🍁
Pagi hari di tempat baru. Selesai sarapan, Gintani mulai mencoba mesin jahit yang baru selesai diperbaiki. Sudah lama Gintani tidak pernah menggunakan benda itu.
Hmm, tentunya akan sangat kaku sekali bagiku menggunakan benda ini. Tapi aku harus bisa. Bagaimanapun, aku tidak boleh tergantung dengan orang lain. Hanya ini satu-satunya keahlian yang aku miliki, batin Gintani.
Melihat Putri yang tengah anteng bermain sendirian, hati Gintani tergelitik untuk membuat pakaian Putri. Gintani pergi ke kamar untuk mengambil sebuah kerudung syar'i lebar miliknya. Dia kemudian membuat pola pakaian anak di atas kerudung tersebut.
"Ah, entah bakal seperti apa jadinya kain ini?" gumam Gintani membentangkan kerudung yang sudah dia pola.
🍁🍁🍁
Heru menggeliatkan tubuhnya. Entah berapa lama dia terpejam, hanya saja matahari sudah berada di puncak kepala. Karena terlalu lelah, selepas salat subuh Heru kembali memejamkan mata. Hingga dia terbangun saat kumandang azan dzuhur mulai terdengar.
Heru segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Guyuran air dingin membuat tubuhnya terasa segar. Meski terkadang, Heru merasa kesal. Karena sampai detik ini, dia masih belum bertemu dengan keluarga besarnya.
Tok-tok-tok!
Bunyi ketukan pintu terdengar nyaring. Membuat Heru segera menyelesaikan ritual mandinya. Masih mengenakan handuk setengah badan, Heru kemudian membuka pintu kamarnya.
"Ada apa, Mbok?" tanya Heru kepada asisten rumah tangga keluarganya.
"Itu ... anu, Mas ... emh, Mas Heru dipanggil tuan," jawab Mbok Yati.
"Hmm, jadi papa sudah pulang, Mbok?" Heru balik bertanya.
"Iya, Mas. Tuan Satria berada di ruang kerjanya. Katanya Mas disuruh ke ruang kerja tuan," sahut Mbok Yati.
"Ya sudah, tolong bilang sama papa, saya pakai baju dulu. Entar saya temui papa di ruang kerjanya," jawab Heru.
"Baik, Mas," lanjut Mbok Yati.
Setelah asisten rumah tangganya pergi, Heru kembali menutup pintu. Lepas itu, dia pun menuju walk in closet untuk berpakaian.
Dua puluh menit kemudian, dengan langkah sedikit cepat, Heru menuruni anak tangga. Tiba di depan ruang kerja papanya, Heru pun mengetuk pintu.
"Masuk!" Terdengar suara bariton sang ayah dari dalam ruang kerja.
Pintu terbuka. Heru memasuki ruang kerja sang Ayah. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu, tampak duduk di kursi kebesarannya.
"Duduk Her!" perintah Tuan Satria.
Heru menarik kursi di depan meja kerja sang ayah dan mendudukinya.
"Apa kabarmu, Her?" tanya Tuan Satria berbasa-basi.
"Kabar Heru baik, Pa. Kabar Papa sendiri?" Heru balik bertanya.
"Seperti yang kamu lihat, Her. Seperti ini keadaan Papa. Selalu dibuat pusing oleh kelakuan adik kamu," keluh Tuan Satria.
Heru tersenyum tipis. "Memangnya, apa lagi yang Aldi lakukan, Pa? Bukankah setelah bertemu Aira, sikap Aldi sudah jauh lebih dewasa?" ungkap Heru.
"Dan setelah ditinggalkan Aira, sikapnya kembali tidak normal," timpal Tuan Satria, mendengus kesal.
Heru menghela napas. "Memang sangat sulit menjalani kehidupan tanpa orang yang kita sayangi, Pa," gumam Heru.
Kini, giliran Tuan Satria yang menghela napasnya.
"Oh iya, Pa. Keadaan genting apa yang Papa bilang di telepon?" tanya Heru.
"Papa ingin berdiskusi sama kamu, Her. Kamu sendiri tahu jika adik ipar kamu itu sudah lama pergi. Supaya Aldi tidak kehilangan arah, Papa ingin menjodohkan dia dengan anaknya teman Papa. Gimana menurut kamu?" tutur Tuan Satria.
Jujur, Heru begitu kaget mendengar rencana ayahnya. Bukannya apa-apa, Heru merasa jika perjodohan ini tidak akan berjalan seperti apa yang diinginkan. Bukan kali pertama orang tua Heru menjodohkan Aldi. Namun, perjodohan itu gagal karena perasaan Aldi yang tidak pernah bisa berpaling dari istrinya. Karena itu Heru merasa tidak yakin dengan rencana sang ayah.
"Apa Aldi tahu tentang rencana Papa ini?" tanya Heru.
"Papa sempat membicarakan keinginan ini pada Aldi," jawab Tuan Satria.
"Jawaban Aldi?"
"Mungkin karena Papa tidak terlalu serius mengatakannya, Aldi pun tidak cukup serius menanggapi omongan Papa, Her."
"Hhh, Pa. Heru tahu betul kalau Aldi begitu mencintai Aira. Dia masih menunggu Aira kembali, Pa. Jadi Heru rasa perjodohan ini akan sia-sia," tutur Heru.
"Tapi mau sampai kapan, Her? Aldi harus memiliki rumah untuk dia pulang. Papa tidak mau dia sampai terlunta-lunta karena menunggu rumah yang belum dia temukan," tukas Tuan Satria.
"Pa, memiliki rumah baru dan kehidupan baru itu tidak semudah membalikkan telapak tangan," ungkap Heru tatkala teringat Gintani yang sampai detik ini belum bisa membuka hati untuk dirinya.
Tuan Satria hanya bisa diam. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Heru. Tapi mau sampai kapan Aldi menunggu Aira yang tidak diketahui keberadaannya. Sebagai orang tua, Tuan Satria hanya mencemaskan kehidupan kedua anaknya yang tanpa pendamping.
"Sudahlah, Pa. Nanti kita bicarakan lagi dengan Aldi," pungkas Heru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Neulis Saja
msh menyimak
2023-02-25
1
Aazuraa
semangat Thor
2022-12-31
2