Awalnya, Heru mengabaikan perintah pulang dari sang ayah. Dan pada akhirnya, dering telepon Heru pun kembali menjerit. Heru terpaksa mengangkat teleponnya. Sesaat kemudian, kedua bola mata Heru membelalak sempurna saat mendengar kabar dari ayahnya.
Tanpa bertanya lagi, Heru segera membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Sedetik kemudian, Heru keluar dari ruangannya dan langsung menuju tempat parkir.
Tiba di sana, Heru menaiki kendaraannya dan segera meluncur keluar dari halaman pabrik. Ya Tuhan ... bagaimana ini? Bahkan aku tidak sempat berpamitan kepada Gintani dan Putri, batinnya.
Heru tidak punya pilihan lain. Kabar yang didengarnya beberapa menit yang lalu, memaksa dia untuk pulang.
Di perjalanan, entah kenapa perasaan Heru begitu tidak nyaman saat sedang mengendarai mobilnya. Berkali-kali dia hampir menabrak pembatas jalan. Pikirannya benar-benar kacau. Ucapan sang ayah masih menggaung di telinganya.
"Pulang saja, Her! Keadaannya sangat genting!"
"Ish, sebenarnya apa yang terjadi? Apa Aldi bikin ulah lagi? Hmm, tapi tidak mungkin juga anak itu kembali berulah. Semenjak menikah dengan Aira, tabiatnya sudah banyak berubah. Lantas keadaan genting seperti apa yang papa maksud?" gumam Heru.
Selain memikirkan keadaan rumah, kekacauan hati Heru juga tidak lain dan tidak bukan karena Gintani dan anaknya. Untuk meredakan kecemasannya, Heru akhirnya meminta Alex sang asisten untuk melihat keadaan Gintani di rumahnya.
"Ya Tuhan ... semoga mereka baik-baik saja."
🍁🍁🍁
Tiba di bandara, Argha dan Miki segera menaiki pesawat pribadinya. Argha duduk di samping Miki. Dia mencoba mendekati Miki agar lebih akrab lagi.
"Kamu pasti akan betah tinggal di negara kita," ucap Argha memulai pembicaraan.
Miki diam. Dia hanya memejamkan matanya tanpa menghiraukan ucapan Argha.
"Apa kamu tidak ingin mengetahui tentang kakak kamu?" tanya Argha lagi.
"Apa itu perlu?" Miki malah balik bertanya.
Argha bergeming. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ucapan bocah kecil itu begitu dingin. Akhirnya Argha memutuskan untuk diam.
"Apa aku harus memanggilmu Kakak juga?" Tiba-tiba Miki mengajukan pertanyaan kepada Argha.
Argha mengernyitkan keningnya. Dia tidak mengerti maksud dari ucapan Miki. "Memangnya kenapa?" tanya Argha.
"Hmm, barangkali kamu pun sama seperti dia, yang tak pernah ingin mengakui aku," jawab Miki dingin.
"Tolong jangan berbelit-belit, aku sama sekali tidak mengerti apa maksud kamu." Argha mulai tak bisa menguasai emosi.
"Baguslah! Tidak ada yang perlu dimengerti. Kita tidak pernah terikat hubungan apa pun, jadi tak perlu saling memahami," jawab Miki dengan nada yang sangat sinis.
Shitt! Argha mengumpat dalam hati. Bocah itu masih kecil, tapi kenapa kata-katanya begitu tajam? batin Argha.
"Panggil aku sesukamu saja," ucap Argha tak kalah ketusnya.
Menarik, jawab Miki dalam hati.
Pada akhirnya, mereka melewati perjalanan itu tanpa ada pembicaraan apa pun.
🍁🍁🍁
Menjelang asar, Heru tiba di rumah orang tuanya. Suasana rumah terlihat sepi sehingga Heru mendengus kesal.
"Ish katanya nyuruh pulang, tapi kok enggak ada siapa-siapa di rumah. Pada ke mana sebenarnya orang rumah? Rumah segede gini kok dibiarkan sepi," gerutu Heru sembari terus melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.
Tiba di kamar, Heru teringat wanita yang selalu dirindukan sekaligus dicemaskan olehnya. Teringat kerisauan yang dia rasakan saat melakukan perjalanan tadi, akhirnya Heru memutuskan untuk menelepon sang asisten.
"Ya, hallo Her!" sapa sang asisten di ujung telepon.
"Lex, apa kamu sudah bertemu mereka? Bagaimana keadaan mereka? Apa mereka baik-baik saja?" tanya Heru yang kembali mencemaskan dua perempuan berbeda generasi yang begitu dicintainya.
"Her, ada yang harus aku sampaikan padamu. Sebenarnya, begitu aku datang ..." Untuk sejenak, sang asisten menjeda kalimatnya. "Gintani, "ca-calon istrimu sedang mengalami masalah," lanjut sang asisten yang bernama Alex.
"Maksud kamu? Apa yang terjadi padanya?" tanya Heru merasa khawatir.
Tak lama kemudian, terdengar Alex menceritakan secara detail tentang kejadian yang telah menimpa Gintani dan putri angkatnya.
Astaghfirullahaladzim, batin Heru. Marah, kesal sedih dan geram bercampur menjadi satu di dalam hatinya.
"Lex, apa sekarang dia sedang bersamamu?" tanya Heru lagi.
"Ya," jawab Alex.
"Bisakah kamu memberikan teleponnya kepada dia?" pinta Heru.
"Tentu saja. Sebentar ...."
Untuk sesaat, Heru menunggu. Hingga akhirnya, terdengar suara lembut yang sangat dia rindukan.
"Hallo, Mas!" sapa Gintani di ujung telepon.
"Gin, apa kamu baik-baik saja?" tanya Heru.
"Iya, Mas. Gintan baik-baik saja. Mas tidak perlu khawatir," jawab Gintani.
"Bagaimana Mas tidak khawatir, kamu keluar rumah tanpa minta persetujuan dari Mas. Kenapa kamu tidak menunggu sampai Mas pulang? Bukankah kita bisa mencari jalan keluar tanpa harus pergi dari rumah?" tanya Heru lagi.
"Tidak Mas, bagaimanapun, Gintan harus pergi dari rumah Mas. Gintan tahu, mungkin semua ini terkesan begitu egois. Tapi inilah yang terbaik Mas. Gintan tidak mau Mas mengalami masalah lagi karena kehadiran Gintan," jawab Gintani.
"Tapi, Gin ...."
"Sudahlah Mas. Lagi pula, Gintan sudah menemukan tempat yang cocok untuk Gintan. Kalau Mas mau, kapan-kapan Mas bisa main ke rumah Gintan," kata Gintani.
"Tentu saja Mas akan main ke rumah kamu. Mas kangen sama si kecil. Ya sudah, jika itu memang keputusan kamu, Mas akan menghargainya. Meskipun Mas sangat kecewa, tapi Mas tidak bisa memaksa kamu. Mas tutup dulu teleponnya, ya. Mungkin dua atau tiga hari lagi, Mas baru bisa pulang. Jaga diri kamu baik-baik, Gin."
"Iya, Mas."
Heru hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang setelah sambungan telepon dengan Gintani terputus. Entah kenapa, wanita itu selalu saja ditimpa kemalangan, hingga membuat Heru semakin ingin melindunginya.
"Tunggu Mas Gin, semoga kelak Mas bisa menghalalkan kamu."
🍁🍁🍁
Sementara itu, di apartemen Argha.
"Ini kamar kamu," kata Argha membawa Miki ke sebuah kamar yang selalu ditempati oleh adiknya.
"Sepertinya ini kamar wanita," ucap Miki, dingin.
"Gunakan saja dulu. Besok kamu bisa minta tukang untuk mengubah dekorasinya," kata Argha.
"Baiklah," jawab Miki singkat.
"Dengar Miki, aku tidak ingin ada jarak di antara kita. Jika kamu butuh sesuatu, bilang saja. Selama aku mampu, aku pasti akan memenuhinya," ucap Argha mencoba untuk bersikap baik terhadap bocah dingin itu.
"Bukan aku yang menciptakan jarak tersebut. Tapi Andalah yang justru membuat jarak di antara kita," jawab Miki, sinis.
"Apa maksud kamu? Aku ti–"
"Sudahlah, aku capek. Tolong tutup kembali pintunya!"
Argha terkejut mendengar kekurangajaran bocah itu dalam bertutur kata. Dengan mendengus kesal, dia kemudian menutup pintunya.
Ya Tuhan, Bram ... kok bisa-bisanya kamu memiliki keturunan seperti itu, gerutu Argha dalam hati.
Argha kembali memasuki kamarnya. Hari yang benar-benar membuat Argha merasa lelah. Argha merebahkan dirinya di atas ranjang. Tatapan matanya terkunci pada bingkai raksasa yang memasang foto pernikahannya. Tak lama kemudian, dia beranjak dari ranjang dan mendekati foto tersebut.
"Di mana kamu, Gin ... Mas sangat merindukan kamu." gumam Argha seraya mengusap bingkai yang memasang wajah cantik istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Putri Minwa
😆😆😆
2024-05-07
0