"Bagaimana hasil pertemuan kamu dengan pemilik panti? Apa dia bersedia memberikan hak asuh anak itu?" sambut Tuan Hanzel begitu melihat Argha pulang. Sebelumnya, Argha memang telah menceritakan maksud kedatangannya ke negara ini kepada Tuan Hanzel.
"Entahlah, Dad. Bu Maria hanya meminta waktu untuk mempertimbangkan keinginan Argha," jawab Argha merasa tidak percaya diri.
"Sudah, tidak usap pesimis begitu. Daddy yakin kamu pasti bisa memenangkan hak asuh anak itu. Terlebih lagi, kamu memiliki surat wasiat yang sangat kuat untuk membawanya pergi dari panti asuhan itu," tutur Tuan Hanzel.
"Hmm, semoga saja Dad. Meskipun sahabat Argha telah membuat semuanya hancur, tapi anak itu tidak bersalah. Argha tidak mau melampiaskan semua kekecewaan Argha terhadap anak itu, Dad," papar Argha.
"Iya, Nak. Anak kecil itu tidak bersalah. Ngomong-ngomong, siapa nama orang tuanya?" tanya Tuan Hanzel.
"Ilona. Chantika Ilona Prasetya, orang yang sama yang telah menabrak Richard," jawab Argha.
Tuan Hanzel begitu terkejut mendengar jawaban Argha. Seketika, ingatannya kembali ke masa lalu. Masa di mana dia pernah menolong anak remaja yang hendak melahirkan dan memintanya untuk membuang bayi yang telah dilahirkannya.
Jadi, Argha hendak membawa anak yang dibuang ibunya, di mana aku sendiri punya andil dalam menjauhkan anak itu dari keluarganya? Ya Tuhan ... permainan takdir seperti apa ini?
"Permisi, Dad. Argha mau ke kamar dulu, mau istirahat," ucap Argha yang seketika membuyarkan lamunan Tuan Hanzel.
"Ah, ya ... istirahatlah Nak!" jawab Tuan Hanzel.
Setelah Argha pergi, Tuan Hanzel pun pergi ke ruang kerja. Tiba di sana, dia duduk di kursi kebesarannya. Menatap foto kedua orang yang begitu dia rindukan. Istri dan putranya yang telah tiada.
Rich, apa ini saatnya Daddy menebus dosa Daddy selama ini kepada anak itu? Jujur saja, batin Daddy sangat tersiksa setelah membuang anak itu ke panti asuhan. Meskipun Daddy sendiri tidak tahu siapa sebenarnya ayah dari anak tersebut. Namun, Daddy yakin jika dia akan merasa kesepian saat harus tinggal jauh dari anaknya. Seperti Daddy yang selalu merasa kesepian setelah kepergian kamu, Nak. Tolong bantu Daddy, Rich. Apa yang harus Daddy lakukan supaya Argha bisa mendapatkan hak asuh atas bayi yang sudah Daddy buang? Daddy juga minta maaf jika keputusan Daddy akan menyakiti kamu. Mengingat ibu dari anak itu adalah orang yang telah menghilangkan nyawa kamu. Namun, terlepas dari semua ini, Daddy yakin jika hati kamu begitu mulia. Anak itu tidak bersalah, dia berhak untuk dekat dengan keluarga besarnya. Dan Daddy yakin, kamu tidak akan pernah keberatan akan hal itu, Nak. Monolog Tuan Hanzel dalam hatinya.
Puas menatap wajah anak dan istrinya yang telah tiada. Tuan Hanzel meraih ponsel untuk menghubungi seseorang.
"Besok, antarkan aku ke panti asuhan St Jose," perintahnya kepada seseorang di ujung telepon.
🍁🍁🍁
Dering ponsel Heru berbunyi begitu nyaring. Pria berwajah oriental itu seketika menghentikan pekerjaannya. Dia kemudian merogoh saku celana untuk mengambil benda pintar berbentuk pipih. Dahi Heru sedikit berkerut saat mengetahui nama si penelepon.
"Papa? Hmm, ada apa Papa menelepon sepagi ini? Tumben," gumam Heru.
Tak ingin telepon itu menjerit lagi, Heru akhirnya menggeser tombol jawab.
"Assalamu'alaikum, Pa!" sapa Heru begitu sopan.
"Wa'alaikumsalam," jawab Tuan Satria yang tak lain adalah ayahnya Heru. "Kamu lagi apa, Her?" tanyanya lagi.
"Biasa lah, Pa. Heru lagi hitung laba bulan kemarin," jawab Heru yang memang sedang asyik berkutat dengan laptopnya.
"Kamu bisa pulang hari ini?" tanya Tuan Satria lagi.
Heru menautkan kedua alisnya. "Kok dadakan sih, Pa?" tanyanya, heran.
Biasanya jika ayahnya memerintahkan untuk pulang, jauh-jauh hari sebelumnya pasti pria paruh baya itu sudah memberi tahu Heru.
"Iya, Nak. Maaf, karena acaranya mendadak, jadi, ya teleponnya juga turut dadakan. Papa harap kamu bisa ngerti, ya?" timpal Tuan Satria.
"Sebenarnya ada acara apa sih, Pa? Apa enggak bisa ditunda untuk minggu depan?" pinta Heru berharap.
"Enggak bisa, Nak. Acaranya sudah tidak bisa diundur-undur lagi," tukas Tuan Satria.
"Harus hari ini juga?" tanya Heru lagi.
"Fix! Hari ini juga!" jawab pasti Tuan Satria.
"Baiklah, beri Heru waktu sepuluh menit, Pa. Heru beresin dulu meja Heru. Bye Papa, assalamu'alaikum!" pungkas Heru tanpa menunggu jawaban salam dari sang ayah. Heru mematikan sambungan teleponnya.
🍁🍁🍁
Keesokan harinya, Tuan Hanzel kembali menghubungi asistennya. Dia meminta Maxi untuk mengantarkannya ke panti asuhan yang sudah hampir tujuh tahun tidak pernah dia injak lagi.
Kening Maxi berkerut saat atasannya meminta dia untuk menemaninya ke panti itu.
"Maaf, Tuan. Jika boleh tahu, apa alasan Tuan kembali mengunjungi panti itu? Bukankah Tuan pernah membuat saya berjanji untuk tidak menyebutkan nama panti asuhan itu lagi? Tapi kenapa saat ini Tuan malah ingin berkunjung ke sana?" tanya Maxi yang sudah tidak mampu menutupi rasa herannya lagi.
"Apa kamu masih ingat dengan seorang bayi laki-laki yang saya perintahkan untuk kamu buang ke tempat itu?" tanya Tuan Hanzel.
Maxi menatap tuannya dari kaca spion depan, terlihat dengan jelas wajah sayu nan bersalah dari raut wajah bosnya. Ish, apa si bos berubah pikiran dan ingin mengadopsi anak itu? batin Maxi.
"Hmm, tentu saja aku masih ingat dengan bayi itu, Tuan. Tidak akan mudah untuk melupakan begitu saja bayi sehat yang begitu lucu," sahut Maxi.
"Maaf jika pertanyaan saya ini terkesan lancang. Namun, apa Tuan berniat untuk mengadopsi anak itu?" tanya Maxi lagi.
Sejenak, Tuan Hanzel menghela napasnya.
"Sebenarnya, bukan saya yang akan mengadopsi anak itu, tapi anak angkat saya yang dari negara Indonesia. Takdir itu begitu lucu, Max. Anak yang saya buang, ternyata anak dari sahabat anak angkat saya sendiri. Dan dia juga pembunuh dari anak saya," tutur Tuan Hanzel.
Tentu saja Maxi semakin dibuat bingung oleh penuturan bosnya.
Jika dia anak dari pembunuh tuan Richard, lantas kenapa Tuan Hanzel mengizinkan anak itu diadopsi anak angkatnya? Bukankah itu artinya sama saja memelihara musuh dalam selimut? batin Maxi.
"Tidak usah terlalu banyak berpikir tentang anak itu, Max. Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu saja menuruti kemauan anak angkat saya. Namun, saya masih percaya jika sebuah kebaikan yang kita tanam, pasti akan berbuah kebaikan pula," pungkas Tuan Hanzel.
Maxi hanya tersenyum seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Setelah melewati perjalanan selama 45 menit, akhirnya limosin silver yang dikendarai sopirnya Tuan Hanzel, memasuki gerbang panti asuhan St Jose yang menjulang tinggi. Ya, panti asuhan ini adalah salah satu panti asuhan terbaik yang berada di negara adikuasa ini.
Maxi segera membuka pintu limosin untuk mempersilakan tuannya keluar. Lepas itu, dia pun ikut keluar dan berjalan berdampingan menuju kantor ibu Maria. Tiba di depan kantor pengurus yayasan, Maxi mengetuk pintu ruangan tersebut.
"Masuk!" perintah suara seorang wanita dari dalam ruangan kantor yayasan.
Maxi menekan handle pintu dan membiarkan Tuan Hanzel memasuki kantor tersebut. Awalnya, Bu Maria terlihat heran melihat kehadiran pria tua yang tidak dikenalnya. Namun, saat dia melihat raut wajah orang yang berada di belakang Tuan Hanzel, Bu Maria pun sadar tentang siapa mereka.
"Mari silakan duduk," ucap Bu Maria mempersilakan tamunya untuk duduk.
"Sepertinya saya tidak harus berbasa-basi, Bu. To the point saja, Saya datang kemari untuk meminta Ibu memberikan hak asuh Miki kepada putra saya," tegas Tuan Hanzel.
Bu Maria kaget dan menatap lekat kepada Tuan Hanzel. Masih mencoba mencerna perintah yang baru saja terucap dari bibir pria itu.
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu? Dari mana Anda tahu jika di panti saya ini ada anak yang bernama Miki, hah?" tanya Bu Maria yang rasa kewaspadaannya mulai berfungsi.
"Karena saya yang telah membuang anak itu kemari."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Putri Minwa
semangat terus ya thor
2024-05-07
1
Neulis Saja
msh menyimak
2023-02-14
1
Emak Femes
weeeh ternyata daddy hanzel punya andil dalam hal ini
ckckckckcm
2022-12-31
1