Aku Yang Tak Diakui

Aku Yang Tak Diakui

Pertemuan Pertama

Anak kecil bertampang dingin dan judes itu sungguh sangat menarik perhatian Argha. Dia seperti melihat miniatur Bram yang selalu bersikap dingin kepada orang yang belum dikenalnya. Namun, kulit sawo matangnya mewarisi sang ibu.

"So, are you my dad?"

Kalimat pertama yang dia ucapkan begitu dingin. Namun, penuh ketegasan. Argha hanya mampu bergeming mendengar pertanyaan anak kecil berusia tujuh tahun itu. Dia sendiri bingung harus menjawab apa. Akankah dia mengerti jika Argha menjawab bukan? Tapi, bagaimana jika pertanyaannya berlanjut lebih spesifik lagi? pikir Argha.

"Sorry, i can't answer your question right now!" jawab Argha.

Anak itu hanya tersenyum sinis menanggapi jawaban Argha. Sejenak, dia menengadahkan wajah untuk menghindari sesuatu yang hendak tumpah. Dia rapuh. Namun, tidak ingin menampakkan kerapuhannya. Terlebih lagi di hadapan orang yang tidak dia kenali. Kembali dia menatap Argha dengan tatapan yang begitu dingin dan menusuk.

"Hmm, sudah kuduga. Dia memang seorang pembohong. Dan seumur hidup, dia akan terus membohongi aku," ucap anak kecil itu seraya berlalu pergi meninggalkan Argha.

Bingung! Sudah pasti, hanya kebingungan yang mampu Argha rasakan. Sikap dingin anak itu memang mengingatkan Argha pada sosok Bram yang tidak terlalu pandai beradaptasi dengan orang yang belum terlalu dikenalnya.

Sejenak, Argha mengelus dada melihat sikap anak itu. Namun, sejurus kemudian Argha mengayunkan langkahnya menuju kantor kepala panti asuhan. Argha hendak mengutarakan maksud kedatangannya ke panti ini.

.

.

.

Michael, nama yang sangat pendek, tanpa embel-embel marga atau keturunan seorang ayah. Hanya nama itu yang dia punya, dan dia lebih suka dengan nama panggilan yang diberikan ibu panti, Miki.

Anak berusia tujuh tahun itu duduk berselonjor di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Pikirannya kembali melayang pada kejadian setahun silam.

"Kakak berjanji, Ki. Kakak akan membawa ayah untuk menjemput kamu dari sini," ucap seorang wanita berambut pendek berwarna kecoklatan

"Tapi kapan?" tanya seorang anak kecil yang begitu merindukan kehangatan sebuah keluarga.

"Nanti setelah Kakak menikah," jawab wanita itu lagi.

"Kenapa harus menunggu Kakak menikah? Bukankah ayah Kakak adalah ayah Miki juga?" tanya Miki dengan polosnya.

"Setelah kamu dewasa, Kakak akan menceritakan semuanya padamu," pungkas Wanita itu yang tak lama kemudian berlalu dari hadapan Miki.

Miki mendengus kesal mengingat obrolan dia dengan sang kakak setahun yang lalu.

Tidak harus menunggu aku dewasa, kak. Aku bukan anak bodoh yang tidak bisa mencium gelagat kakak setiap kali aku menanyakan ayah dan ibuku. Aku sudah tahu yang sebenarnya. Satu hal yang tidak aku ketahui, kenapa kamu tidak mau mengakui aku sebagai anakmu? batin Miki seraya memotek ranting kering yang berserakan di sekitarnya.

Rasa pilu kembali bergelayut dalam benaknya. Seandainya dia tidak mengalami kecelakaan di tebing itu, tentu sampai saat ini dia tidak akan pernah mengetahui siapa ibu kandungnya.

"Ibu mohon, Na. Jenguk Miki walau hanya sekali."

Samar-samar Miki mendengar ibu panti berbicara dengan seseorang. Dia pun tetap memejamkan mata untuk menguping pembicaraan mereka. Entah apa yang orang itu katakan hingga memancing emosi ibu panti.

"Cukup Ilona Prasetya! Sejauh apa pun kamu menghindar, itu tidak akan mengubah takdirmu jika Miki adalah anakmu, darah dagingmu! Aku tidak peduli dengan kebencian kamu terhadap laki-laki yang telah menghamili kamu. Tapi jangan lampiaskan amarahmu kepada Miki. Dia tidak bersalah. Sudah cukup dia menderita karena ayahnya tidak mengakui dia. Dan sekarang, apa kamu juga akan mengingkari dia sebagai putramu sendiri, hah?"

Ibu panti terdengar emosi, tapi Miki tak mau membuka matanya. Meskipun hatinya terasa sakit, tapi air mata seolah enggan keluar.

"Baiklah jika itu maumu. Mulai sekarang, lupakan jika kamu pernah melahirkan anak cerdas seperti Miki. Jika sampai suatu hari nanti ada orang tua yang akan mengadopsi dia, aku tidak akan pernah meminta persetujuan darimu. Seperti yang kamu katakan tadi, dia bukan siapa-siapa kamu. Ingat itu Ilona!"

Dan sekarang ... air mata yang yang dulu tidak ingin keluar, akhirnya tumpah ruah juga membanjiri kedua pipinya.

Dunia memang kejam. Bukan hanya kamu yang tidak mau mengakui aku. Tapi laki-laki itu pun tak mau mengakui aku, batin Miki mendengus kesal saat Argha tidak mau mengakuinya.

.

.

.

"Jadi, seperti itu ceritanya?" tanya Bu Maria pemilik panti asuhan St Jose.

"Jika Anda tidak percaya, saya bisa memberikan bukti tentang pesan terakhir Ilona," ucap Argha seraya menyerahkan surat terakhir dari Ilona.

Ibu Maria menerima surat tersebut dan mulai membacanya. Raut kesedihan tidak nampak di wajahnya. Seolah kepergian Ilona adalah hal yang wajar baginya.

Setelah selesai membaca surat terakhir Ilona, Bu Maria melipat kembali kertas lusuh itu dan memberikannya kepada Argha.

"Apa Anda akan mengurus anak itu dengan baik?" tanya Bu Maria penuh selidik.

"Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Argha.

"Entahlah, saya sendiri tidak tahu harus berkata apa. Asal Anda tahu, dua minggu yang lalu, ada pasangan muda yang tertarik untuk mengadopsi Miki. Namun, saya belum bisa memutuskan karena saya harus menyelidiki terlebih dahulu pasangan itu," tutur Bu Maria.

Argha terkejut. Dia pun bingung harus berbuat apa. Hanya saja, Argha tidak ingin mengecewakan almarhumah Ilona. Demi persahabatannya dengan mendiang, Argha akan berusaha untuk membawa Miki dan mendidiknya dengan baik. Terlebih lagi, Miki merupakan keturunan Bram, sahabatnya. Cepat atau lambat, dia harus bisa dekat dengan ayah kandungnya.

"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi saya sangat berharap jika Ibu bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Mungkin, setelah Ibu membaca surat terakhir Ilona, Ibu lebih tahu harus menyerahkan Miki kepada siapa," jawab Argha, lugas.

Bu Maria terkesima dengan jawaban lugas pria yang tengah duduk di hadapannya. Dia mulai yakin bahwa tidak ada salahnya menyerahkan Miki kepada pria itu. Toh, negara Indonesia masih kental dengan budaya timur. Jadi Bu Maria tidak terlalu mengkhawatirkan pergaulan Miki kelak di negara kelahiran ibunya.

"Baiklah, akan saya pertimbangkan keinginan Anda. Saya harus berdiskusi dulu dengan penasihat panti, saya harap Anda bisa mengerti. Akan saya kabari lagi jika sudah ada keputusan," ucap Bu Maria yang tidak lantas memberikan janji manis kepada tamu di hadapannya.

Argha mengangguk. Dia pun segera berpamitan. Sebelum dia pergi dia ingin menemui Miki terlebih dahulu. Namun, sayangnya anak itu tak mau menemui Argha.

🍁🍁🍁

Dalam perjalanan pulang, Argha mendengus kesal melihat kesombongan yang ditunjukkan oleh anak kecil itu. Ya Tuhan, sudah terlihat jelas tabiat tak mau diaturnya sedari kecil. Apa aku sanggup mengurus dan mendidik anak yang memiliki hati batu seperti itu? batin Argha

"Damn!! Bahkan setelah mati pun, kamu masih bisa membebani aku, Na," dengus Argha seraya memukul kemudi.

Sejurus kemudian, Argha membelokkan mobilnya ke sebuah mansion yang sangat mewah milik orang tua angkatnya.

Terpopuler

Comments

Putri Minwa

Putri Minwa

mantap

2024-05-07

0

Neulis Saja

Neulis Saja

msh menyimak

2023-02-12

1

Adam

Adam

mulai mampir, thor. meski season 1 nya lom tmt baca

2022-12-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!