Safitri terlihat begitu lama memandangi layar ponsel milik putranya tanpa berkedip, lalu dengan cepat merebut ponsel itu dan membawanya ke atas ranjang. Memeluk ponsel putranya sembari berbaring. “Syifa … anak Bunda jangan pergi …! Bantu mama membunuh pengkhianat itu, dia sudah membuat Bunda jadi seperti ini hik hiks.”
Bima mendengar racauan ibunya merasa begitu sakit dan teramat sedih. Pria itu sangat yakin jika sang Ibu tercinta menganggap Syifa adalah anak yang mungkin dikira pernah dilahirkannya ke dunia namun tidak sempat menikmati indahnya bumi pertiwi. Bayi yang seharusnya lahir membawa kebahagiaan, merupakan adik dari Bima yang tidak sampai menghirup udara di bumi ini. Ibu Safitri mengalami keguguran akibat stres memikirkan suaminya yang pergi bersama wanita lain.
Beruntung waktu itu Bima sudah bisa mengerti untuk memberikan hiburan pada ibunya di saat terpuruk akibat ditinggal oleh suami dan juga anak yang sangat diharapkannya, apalagi adik Bima yang meninggal di dalam kandungan itu seorang bayi perempuan.
"Anakmu ada di sini, Bu ... aku tak akan pernah pergi meninggalkanmu! Bahkan sebentar lagi Syifa yang sering Ibu sebut-sebut namanya akan datang ke sini menemani kita berdua. Aku dan Syifa akan bersama merawatmu dan Ibu harus kuat untuk membuktikan kepada menantumu itu, kalau Ibu adalah wanita yang sangat hebat serta merupakan perempuan tegar yang pernah kukenal! Aku akan selalu bangga padamu, Ibu … walau apa pun keadaanmu sekarang."
Bima tidak pernah membenci atau pun merasa malu walau mental ibunya tak lagi sempurna, Namun jauh di lubuk hati terdalamnya ada dendam yang tak akan pernah bisa pudar di dalam jiwanya terhadap sosok laki-laki kurang ajar pada ibunya. Pria kejam yang telah mengkhianati cinta suci sang Ibu Tercinta, hingga membuat perempuan itu mengalami depresi akibat tak mampu menerima kenyataan dengan kepergian suami dan selingkuhannya. Ayah kandung yang sangat dibencinya bernama Sanusi Wijaya.
Huft!
Pria itu menarik napas perlahan berusaha membuang pikiran jahat nya hingga melayang pada sosok yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi melihat keadaan ibunya, atau pun sekedar menanyakan kabar dirinya entah masih hidup atau malah sudah mati. Ayahnya benar-benar pergi dan tak pernah kembali setelah mengambil beberapa harta milik kakeknya yang memang sudah diturunkan atas nama Safitri — ibunya.
Bima membiarkan ponsel mahal miliknya dipeluk erat oleh wanita yang telah melahirkannya dan membiarkan perempuan itu menjadikan ponsel sebagai teman untuk tidur, bahkan berada di dalam dekapan tanpa mau melepaskan. Pria itu duduk di bibir ranjang dengan kaki menjuntai ke bawah dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur.
Memperhatikan punggung sang ibu yang mulai memperdengarkan nafas teratur nya, menandakan Safitri mulai masuk ke alam mimpi.
“Sampai kapan Ibu akan terus seperti ini, bahkan sebentar lagi anakmu hidup di dunia ini juga bakalan ikut tua sepertimu. Apakah ibu benar-benar tak akan pernah bisa mengenalku sebagai Putra tunggal yang dulu sangat kau sayangi? Ibu tau nggak, sebentar lagi ubanku juga bakalan tumbuh tapi Ibu masih saja tak mau menatapku dengan kasih sayangmu.” Bima bermonolog sendiri sembari membelai lembut surai hitam wanita yang telah melahirkan nya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bangunlah dari kekosongan jiwamu, Bu, aku sangat rindu. Aku hidup merasa sendiri seperti anak yatim piatu sehingga merasakan kesedihan setiap melihat ada orang lain yang begitu disayang sama ayah dan ibunya, tetapi aku tidak lebih bagai anak terlantar yang tak punya orang tua.”
Air mata Bima mengalir melewati pipi, pria itu terisak mengingat masa-masa sekolah dan juga saat kuliahnya yang hanya ditemani oleh kakek Arjuna. Dirinya selalu merasa terasing di dunia yang penuh keramaian, tapi semua itu terjadi karena Bima merasa selalu sendirian, akibat tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Sifat dingin, datar serta arogan yang dimiliki seorang Bima Saputra terbentuk dari lingkungan yang mendominasi kehidupannya setiap hari.
Tuan Arjuna yang sibuk dengan perusahaan setiap hari sedikit mengabaikan jika dirinya masih memiliki seorang cucu yang akan menjadi ahli waris. Sayangnya sang kakek tidak memiliki begitu banyak waktu untuk Bima remaja mau pun setelah Bima menjadi dewasa karena memang kakek pria penuh wibawa itu tidak ingin memanjakan keturunannya. Dengan kehidupan keras dan juga minimnya kasih sayang dari orang terdekat, membuat Bima akhirnya menjadi sosok pendiam, dingin, sombong dan juga sedikit arogan.
Pria itu melirik ke samping, melihat sang ibu yang sudah terlelap dalam tidurnya, seketika perempuan itu berbalik dengan posisi ponsel yang masih digenggam hingga akhirnya Bima bisa meraih telepon pintar miliknya.
Pria itu mengambil ponsel yang tadi sempat direbut oleh ibunya, lalu kembali memandangi wajah mungil yang pernah mampu menghipnotis dirinya beserta ibu Safitri. “Coba kamu lihat, hanya dengan memandang wajahmu saja ibuku sudah tertidur dengan lelap, dan aku berdoa kepada Tuhan, semoga kehadiranmu di sini nanti bisa membuat perubahan yang nyata untuk wanita yang sangat kusayang. Aku berjanji kepada Sang Pencipta akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia … Syifa.”
Bima menempelkan bibir di layar ponsel miliknya tepat pada bibir gadis yang ada di foto. Garis bibir Bima terangkat ke atas memperlihatkan senyum yang sangat menawan dengan wajah yang juga rupawan. Dia sama sekali tidak pernah menyangka akan jatuh cinta pada gadis yang sangat sederhana bahkan sampai sekarang dirinya masih gengsi untuk mengakui.
“Aku berjanji akan mulai mengatakan dengan jujur bahwa aku benar-benar sudah jatuh cinta pada mu, Gadis Cendol. Hahaha, rasanya sangat lucu sekali, kamu merupakan gadis bar-bar yang sama sekali tak masuk dalam tipeku, tapi ternyata kamu malah mampu membuatku tergila-gila padamu. Padahal kamu ini hanya gadis miskin yang punya uang di dompet saja tak sebanding dengan upah semir sepatuku. Lalu apamu sebenarnya yang telah membuatku tertarik hingga sampai jatuh cinta?”
Pria itu mengusap kembali layar ponselnya dengan senyum yang mengembang. “Ah … sepertinya aku sudah rindu saja, mungkin sebaiknya ku telpon saja!”
Bima keluar dari kamar menuju ruang tamu guna menghubungi Syifa.
Tut! Tut! Tut!
Pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata ketika dirinya menghubungi nomor yang pernah diberikan oleh ibu Ayu, panggilan nya langsung tersambung dan ada suara seseorang yang menjawab dari seberang sana. Namun, pria itu merasa sangat bingung karena suara yang dikenalnya sangat berbeda dengan suara perempuan yang barusan mengangkat telepon Syifa.
[Assalamu’alaikum, maaf ini siapa ya?]
Bima merasa bingung dan kembali melihat nomor kontak yang tadi dihubungi nya tapi memang itu merupakan nomor telepon yang pernah diberikan oleh ibu Ayu. Lalu kenapa suara orang yang mengangkat telepon itu sangat berbeda dengan suara calon istrinya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Mariyani Sumbawa
duh bim knp BPK mu sampai gitu c,,,
2022-12-12
1
🍾⃝ͩʙᷞᴀͧʙᷠʏᷧ ɢɪʀʟʟ
sibima stngah prsen mka bpknya kli ya uni, jdi bu safitri msih gndok liat anaknya sndri
2022-12-12
1
🍾⃝ͩʙᷞᴀͧʙᷠʏᷧ ɢɪʀʟʟ
🙄🙄..kumat mning sibima somsenya ckck,cndal cndol" neng gyur pke air gla ntar kmu bim
2022-12-12
1