Kunjungan ke Kafe

Selepas dari kunjungannya ke rumah sang ayah, Latina bergegas menuju apotik untuk membeli obat. Ia telat. Harusnya setelah berhubungan, pil pencegah itu dikonsumsi. Saat ini ia belum bisa pergi ke dokter untuk konsultasi. Tapi, apa salahnya jika membeli obat lebih dulu.

"Aku minta lima keping obat." Latina menyerahkan sejumlah uang kepada kasir. "Berikan juga 10 buah pengaman untuk pria."

Betapa malunya ia. Tapi, sepertinya penjaga apotik biasa saja atas permintaan Latina ini. Semua dibungkus, Latina lekas pergi setelah menerimanya.

Notifikasi pesan masuk ke ponsel. Dilihat dari angka-angkanya, nomor itu tidak terdaftar. Latina membuka, lalu membaca isi pesan tersebut.

Dari seseorang yang ia benci, yaitu Dean. Lagi-lagi malam ini, ia harus melayani pria itu. Dean memintanya berkunjung ke apartemen di pukul 9 malam.

Pemuda itu kira, ia bisa diperintah begitu saja? Tidak! Latina tidak akan menurutinya. Terserah kalau Dean marah lagi. Jika Dean memerlukan dirinya, maka pria itu sendiri yang harus menemuinya.

Pesan itu diabaikan. Latina melanjutkan perjalanan menuju sebuah kafe. Ia bisa bersantai atau makan malam di restoran. Untuk apa pulang ke rumah dan memasak makan malam? Toh, Jason tidak akan pernah mencicipinya.

"Latina!" seru seseorang.

Yang dipanggil menoleh. Mata Latina membulat. Ia kaget. Sedetik kemudian, ia berlari memeluk wanita itu.

"Sasa! Kapan kau pulang dari Paris?"

"Baru satu minggu. Maaf, karena belum sempat mengunjungimu."

"Tidak apa-apa. Kau pindah mengajar di sini?"

Sasa mengangguk. "Ya, aku pindah kemari. Lagipula aku akan segera menikah."

"Sungguh?" Latina kaget mendengarnya. "Bersama kekasih lamamu?"

Sasa mengangguk. "Ya, bersama Miller."

"Kita harus merayakan ini, Sasa."

Rasa iri itu muncul dalam benak Latina. Sahabatnya mendapat calon suami baik dan mencintainya. Sasa cantik dengan wajah berbintik, dan rambut kemerahannya. Wanita berkacamata ini pintar hingga bisa membuat seorang profesor tertarik padanya.

"Aku traktir kau makan. Kebetulan aku akan mengunjungi restoran baru calon adik iparku."

"Hari ini aku begitu beruntung. Kebetulan aku lapar. Baiklah, aku ikut denganmu. Pasti semua makanan di sana enak."

Setahu Latina, calon suami Sasa memang berasal dari keluarga berada dan berpendidikan tinggi. Beruntung sekali Sasa mendapatkan Miller sebagai calonnya.

Rupanya tidak jauh dari apotik yang Latina kunjungi tadi. Namun, Latina ragu untuk masuk. Sepertinya ia tidak cocok masuk ke gedung itu dengan pakaian yang seadanya.

"Ayo, masuk." Sasa meraih tangannya.

"Lihat pakaianku." Latina menunjuk celana jeans serta kaus yang dilapisi syal dan jaket.

"Memangnya kenapa? Kau juga lihat bajuku, kan? Jangan dipikirkan. Lagipula acaranya sore, bukan malam. Adik iparku tidak bilang harus memakai gaun."

"Sepertinya ini tempat untuk anak muda," ucap Latina, ketika melihat beberapa laki-laki dan wanita muda yang bercanda di meja mereka serta dekorasinya yang didominasi warna pink serta biru muda.

"Kafe dan restoran. Memang ditujukan untuk kalangan muda. Suasananya sangat cocok untuk kita foto-foto."

"Aku yakin kafe ini akan terkenal."

"Biar kukenalkan dengan adik iparku. Dia juga membawa kekasihnya yang super sempurna itu." Sasa langsung menarik tangan Latina menuju sekumpulan pria dan wanita yang tengah berbincang. "Berlin!"

Wanita muda itu menoleh. "Hai, Sasa!"

Sasa sedikit berlari untuk dapat memeluk calon adik iparnya. "Selamat untukmu." Sasa memberi sebuah hadiah yang ia ambil dari dalam tasnya. "Untukmu."

"Terima kasih." Berlin kembali memeluk Sasa.

"Oh, ya, Sayang. Kenalkan, dia sahabatku Latina."

Keduanya saling mengenalkan diri masing-masing. Wanita muda sekitaran 27 tahun ini sangat cantik, seperti boneka saja. Rambut kecokelatan. Mata bulat hitam. Hidung mancung kecil. Bibirnya kecil dengan dagu lancip. Berkulit putih dengan tubuh yang ramping.

"Kau bilang lewat pesan kalau kekasihmu akan datang. Mana dia?" tanya Sasa.

"Dia sudah datang." Berlin menyuruh pria yang berdiri di belakangnya untuk menyingkir. Seorang pemuda tengah duduk dengan posisi membelakangi rekannya. Latina yang penasaran pun bergeser dari tempatnya untuk melihat kekasih Berlin.

"Sayang, ada kakak iparku. Kau sapa dulu dia."

Pria itu menoleh, lalu bangun dari tempat duduknya. Ia membalik diri menghadap Sasa, dan saat itu juga jantung Latina berdegup kencang. Bagaimana bisa Dean ada di tempat ini?

TBC

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***