"Kamu boleh menyimpan lentera merah itu kalau kamu mau. lagi pula selain ibuku, kamu juga layak memiliki lentera merah yang aku buat dengan sepenuh hati itu."
Mendengar suara lembut Luccane berkata demikian, aku lantas memalingkan wajah kepadanya. "apakah aku bisa menyimpan benda yang berasal dari dimensi yang berbeda?"
Luccane tersenyum simpul. "secara harfiah benda mati seperti itu mana bisa ikut mati. lagi pula benda itu adalah benda yang nyata kok, bukan berasal dari dimensiku."
"Kalau begitu, dimana sebelumnya kau menyimpan lentera merah ini?" aku yang mulai penasaran menanyai Luccane yang mengambil posisi duduk di sebelahku.
Luccane menyodorkan bantal dan selimut milikku.
"aku sempat menaruhnya di suatu tempat waktu itu, jadi lentera ini tidak ikut tenggelam bersamaku di lautan."
Aku menerima uluran selimut dan bantal dari Luccane. "tapi bagaimana bisa kau memegang semua benda itu tanpa menembus tubuhmu? dari yang aku ketahui sejak kecil, hantu hanya tidak bisa menebus pohon cemara. bukankah begitu?"
Sepasang manik biru milik Luccane menyerjap cepat mendengar pertanyaanku yang sepertinya diluar dugaannya. "kalau yang itu rahasia! lagi pula tidak semua hantu bisa seperti aku, bisa menyentuh barang dan menyentuh kamu. soal tidak bisa menembus pohon cemara itu memang benar."
Aku mendecak. "entahlah, Luccane. kau terlalu menyebalkan dan misterius. aku takut jangan-jangan kau juga bisa makan!"
Luccane terkekeh geli mendengar keluhanku, terdengar begitu indah serta menyejukkan hati sama sejuknya dengan udara di luar.
"jika kamu tahu semuanya tentang aku dalam waktu secepat itu tentunya tidak akan seru."
"Kalau begitu, bolehkah aku yang mengajukan pertanyaan?"
"Tentu. katakan saja," sahut Luccane cepat tanpa pikir panjang.
"Apa semasa hidupmu dulu kau pernah menyukai seorang gadis?" entah mengapa pertanyaan ini dengan begitu lancar keluar dari bibirku tanpa aba-aba.
"Pertanyaan payah macam apa itu?" Luccane mendengus geli. "tidak pernah, aku bahkan tidak sempat walau hanya sekedar untuk memandangi seorang gadis. Ayahku yang sangat disiplin itu selalu menuntut aku agar terus belajar sepanjang hari."
Aku menyandarkan punggung pada sandaran sofa. "ternyata pola asuh 'Tiger Parenting' sudah ada sejak berabad-abad yang lalu rupanya."
"Apa itu maksudnya? orang tua harimau?" tanya Luccane dengan wajah lugu, membuatku gemas ingin mencubit kedua belah pipinya yang putih dengan bercak-bercak samar freckles itu.
"Jika diartikan secara bahasa, kau benar. tapi maksudnya adalah pola asuh orang tua yang keras dan cenderung memaksakan anaknya agar mencapai kesuksesan seperti kemauan mereka sendiri, bukan dari kemauan sang anak," jelasku menjabarkan secara singkat.
Luccane mengangguk-angguk. "oh, ternyata begitu. dan ya, itu adalah salah satu alasan kenapa aku tidak punya teman."
"Ayahmu juga melarangmu bermain?"
"Kira-kira seperti itu. seharian aku hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan belajar," ungkap Luccane dengan pandangan sendu. "namun sayang aku belum sempat merasakan manfaat dari belajar terlalu kerasku selama hidup dulu. jadi selagi kamu hidup lakukanlah hal-hal baik dan bermanfaat untukmu juga orang lain ya, Visha."
"Lalu apa kau menyesali semuanya?"
Luccane menggeleng, masih dengan sorot sendunya. "apa pun yang telah berlalu tak pernah aku sesali, kecuali ketika aku tak berdaya untuk menyelamatkan orang tuaku dihari terakhir kami berjumpa."
Sekarang aku mengerti mengapa hantu tampan ini terlihat sangat sedih. Terlepas dari cara kematiannya yang tragis, ia juga menyimpan penyesalan mendalam yang menghantui dirinya hingga detik ini. Luccane ternyata hanya anak biasa yang kesepian namun sangat menyayangi kedua orang tuanya.
Air mata tanpa kusadari sudah menumpuk di kedua pelupuk mataku, membuat pengelihatanku menjadi kabur. Hatiku juga terasa sesak setelah mendengar pengakuan Luccane yang penuh dengan penyesalan dalam sorot mata sendu penuh luka itu.
Aku menyeka air mataku cepat-cepat dengan punggung tangan. "aku yakin mereka sudah bangga padamu, Luccane."
"Suara kamu bergetar, kenapa kamu menangis?" Luccane bertanya dengan khawatir, mengusap lembut jejak air mataku dengan kedua ibu jarinya.
"hidupku memang berakhir dengan menyedihkan dan aku tidak mau hal itu juga terjadi padamu."
Aku yakin jika Luccane bisa bertahan hidup dan memiliki pasangan, wanita itu akan menjadi wanita yang sangat beruntung.
"Belajarlah dengan benar. karena orang tuamu berada jauh di pulau seberang maka aku akan menjadi pengawasmu selama menempuh pendidikan di sini," ucap Luccane tegas.
"Baik, Tuan Luccane," candaku, mengejek sikap sok tegasnya Luccane.
Luccane tergelak. "mungkin jika aku masih hidup aku benar-benar akan menjadi seorang jenderal."
"Apa dulu kau belajar bahasa Inggris? bagaimana pelajaran di sekolah pada masa itu?" lagi-lagi aku iseng bertanya, siapa tahu mendapatkan informasi yang menarik seputar kehidupan pada masa itu.
"Ya. selain bahasa Indonesia aku juga bisa berbahasa Inggris, Mandarin dan Belanda. dulu semasa di sekolah kami menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bersekolah," jawab Luccane yang semakin membuatku penasaran. Anehnya, pertanyaan apa pun yang aku tanyakan padanya Luccane selalu dapat menjawabnya dengan memuaskan meski kadang dia juga sok misterius.
"Orang seperti apa yang dulu diperbolehkan untuk sekolah?" tanyaku lagi penuh minat.
Kapan lagi bisa mendapatkan kesempatan belajar sejarah langsung dari saksinya? hehe.
"Tentunya orang Belanda, Eropa, timur asing seperti bangsa China dan Arab serta pribumi yang memiliki kedudukan tinggi seperti bangsawan atau para petinggi yang bekerja pada Belanda. Nah, anak-anak dari merekalah yang boleh bersekolah," jelas Luccane secara runtut, mirip seperti seorang guru yang sedang mengajar.
Luccane memandang langit-langit rumah.
"karena ketatnya persaingan dalam pendidikan, makanya Ayahku sangat tegas padaku berbeda dengan Ibu yang selalu melimpahkan banyak kasih sayang padaku."
Aku mengangguk paham. "terima kasih sudah menjawab semua pertanyaan dariku dengan sangat memuaskan. berkatmu sekarang aku mendapatkan ilmu tambahan yang sedikit tidak umum."
"Kalau begitu apa aku juga boleh bertanya?" Luccane mengalihkan atensinya kepadaku.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Soal perasaanmu terhadap lawan jenis," ucap Luccane ragu-ragu.
Aku merotasikan bola mata. "tanyakan secara spesifik kalau tidak aku tak mau menjawab pertanyaanmu."
"Baiklah, baiklah," Luccane menghela pendek.
"adakah pria yang kamu sukai sekarang?"
Kepalaku refleks menggeleng. "tidak ada. bagaimana denganmu?"
"Sepertinya aku sangat terlambat jatuh cinta, padahal masa hidupku sudah sangat lama berakhir. Tapi kurasa ini adalah bentuk dari kebaikan hati Tuhan," jawaban Luccane yang ambigu membuatku jadi bingung.
Aku menaikkan alis kiriku. "apa maksudmu?"
Sepasang obsidian biru menawan milik Luccane memandangku lurus. "dulu aku pernah berdoa kepada Tuhan. aku meminta padanya untuk mempertemukan aku dengan seorang gadis yang bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Patrish
🌹🌷❤❤❤
2022-12-21
2