Luccane

Luccane

Bab 1 : Dinginnya Hembusan Napas sang Malam

Bulan sabit terlihat bersinar terang setelah hujan sepanjang hari mengguyur kota Bandung, membuatku sebal setengah mati karena menyebabkan kegiatan pindahanku jadi tertunda.

Sekarang sudah pukul setengah sebelas malam namun acara pindahan belum juga selesai, sanak keluargaku yang membantu aku dalam acara pindahan ini sibuk membawa barang-barang milikku dengan tergesa.

"Neng Visha, ini mau ditaruh di mana?" Mang Ujang pamanku sekonyong-konyong datang padaku dengan televisi tujuh belas inchi di tangannya.

"Ayo, Mang, kalau gitu bantu saya taruh TV-nya di dinding," jawabku seraya mengarahkan Mang Ujang untuk masuk ke dalam rumah.

Namaku Vishabea Lazuardi, mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Bandung.

Aku berasal dari Palembang yang iseng-iseng mengikuti seleksi penerimaan calon mahasiswa baru di universitas tersebut, namun diluar dugaan aku malah menjadi salah satu peserta tes dengan nilai akhir tertinggi.

Mang Ujang dan istrinya adalah satu-satunya keluargaku di sini, dan untungnya dengan senang hati mau membantu acara pindahan yang cukup merepotkan ini.

Awalnya Mang Ujang dan Bibi ingin aku ikut tinggal di rumah mereka sebab pasangan suami istri yang telah menikah selama tiga dekade itu tidak memiliki anak perempuan namun aku menolaknya secara halus mengingat Andri, anak bungsu mereka yang seusia denganku kerap mengeluhkan kedua orang tuanya karena terlalu disiplin dan tegas mendidiknya.

Tapi sejujurnya aku memang tidak mau merepotkan mereka terlepas dari alasan pertama hingga akhirnya memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah dengan harga sewa murah di sekitaran kampus.

Usai menaruh televisi di tempat yang aku inginkan, Mang Ujang, Bibi Reni serta Andri pamit pulang karena semua barang-barang milikku sudah ditaruh pada tempatnya sesuai kemauanku.

Malam juga sudah semakin larut, aku buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi bersiap tidur.

Aku membuka pintu kamar mandi perlahan, menghasilkan suara derik yang cukup mengganggu apalagi menurut penuturan sang pemilik rumah kontrakan ini memang sudah cukup lama kosong.

Kaki kiriku masuk lebih dulu ke dalam kamar mandi, menyentuh dinginnya ubin berwarna biru lantai kamar mandi namun yang terjadi berikutnya sungguh membuatku kaget bukan kepalang karena aku mendapati sosok wanita berambut panjang tengah berdiri dengan posisi menunduk di belakang pintu kamar mandi.

Ah, aku sudah menduga ini. Karena memiliki kepekaan terhadap hal-hal tak kasat mata jadi aku sudah menebak kalau rumah ini memiliki sesuatu sehingga pemiliknya menyewakannya dengan harga miring walau rumah ini berukuran besar.

Aku buru-buru menyembunyikan ekspresi kagetku, bertingkah seolah tidak melihat apa-apa lantas menyelesaikan kegiatanku.

Merasa sudah sangat lelah aku beringsut menuju kamarku dan langsung merebahkan diri di atas kasur tanpa mempedulikan sosok yang tengah menatapku dengan sorot sendu dari pojok ruangan.

...****************...

Rasa dingin tiba-tiba menjalari kedua telapak kakiku membuatku sontak terjaga.

Tak hanya telapak kakiku, kini sekujur tubuhku merasa sangat dingin seperti sedang berada di dalam freezer.

Dengan kelopak mata yang masih amat berat karena kantuk, aku memberanikan diri melihat ke arah kakiku guna mencari tahu apa yang menyebabkannya menjadi terasa sangat dingin. Pelan-pelan aku menyingkap selimutku hingga sepersekian detik berikutnya pupil mataku melebar setelah mendapati ada sosok pria dengan kulit putih pucat seperti orang Eropa tengah meringkuk di bawah kakiku sambil terus memandang wajahku.

Aku melirik jam digital yang terduduk di atas nakas, masih menunjukkan pukul tiga dini hari membuatku mendesah malas tidak aku sangka kalau dia akan usil seperti itu.

Dengan enggan aku beranjak dari kasur menuju saklar lampu yang terletak di sebelah kiri pintu kamar sementara pandangan sepasang mata biru miliknya masih tetap terpaku padaku.

Ini sungguh menjengkelkan namun aku tak punya pilihan lain selain mengintrogasi makhluk astral satu itu.

"Apa maumu?" tanyaku ketus pada sosok pria berambut cokelat terang itu.

Dia tersenyum tipis, begitu tampan dengan sepasang mata biru lengkap dengan alis tegas serta hidung runcing miliknya.

Bibirnya juga ranum berwarna merah bagaikan kelopak bunga mawar yang sedang bermekaran.

Sungguh sebuah visual yang sangat memesona bagaikan seorang pangeran dari negeri dongeng sukses membuatku tercenung.

Pesona macam apa ini? Apa mungkin ada hantu yang sangat tampan seperti ini? Sejak kecil aku hanya melihat hantu dengan perawakan yang menyeramkan seperti sosok yang aku temui di kamar mandi tadi.

"Aku tidak mau apa-apa darimu, maaf telah mengganggu tidurmu."

Oh tidak, suaranya sangat rendah terdengar begitu nyaman untuk didengar bahkan lebih indah ketimbang suara para penyiar radio yang pernah aku dengar seumur hidupku.

"Siapa kau?" aku kembali bertanya setelah menetralkan detak jantungku yang sempat tidak karuan karena ketampanan milik sosok itu.

Dia bangkit dari posisi tidurannya kemudian duduk menghadap padaku.

"namaku Luccane, senang bertemu denganmu nona Vishabea."

"Kenapa kau ada di kamarku?"

"Aku sudah berada di rumah ini sejak lima puluh tahun terakhir," sahutnya enteng seakan tanpa beban.

Aku lantas mengambil posisi duduk di meja belajarku. "kalau begitu kau tidak boleh mengganggu aku dan jangan sampai penghuni lain dari rumah ini tahu kalau aku bisa melihatmu."

"Tapi sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku bisa terus mengganggumu," godanya dengan senyum misterius.

Aku mendecak sebal. "aku sungguh tidak tertarik dengan hantu. sepertinya usiamu juga jauh lebih muda dariku."

"Usiaku saat mati adalah sembilan belas tahun, mana mungkin lebih muda darimu yang baru berusia delapan belas? kau juga perlu ingat kalau aku sudah bergentayangan selama lebih dari dua ratus tahun," papar Luccane santai sambil menatapku penuh minat.

"Itu artinya kau hidup di era zaman penjajahan?" tanyaku antusias, mengingat jurusan kuliah yang kupilih memanglah sejarah.

Luccane mengangguk. "kamu menebaknya dengan sangat tepat."

Dilihat dari penampilannya Luccane memang nampak seperti bangsawan Eropa yang hidup di era abad pertengahan dengan pakaiannya yang nampak mewah berbahan sutra.

Kulit putihnya yang pucat terlihat begitu menawan dibalut dengan pakaian serba hitam.

"Aku memang banyak mempelajari sejarah," balasku sekenanya.

Luccane tersenyum lagi, memusatkan perhatiannya padaku. "jika kamu berpikir bahwa aku akan mengganggu atau membuatmu celaka maka itu adalah salah besar."

"Mana mungkin aku bisa percaya begitu saja dengan hantu yang baru saja aku temui?"

Pertanyaan ketusku lagi-lagi ditanggapi Luccane dengan senyuman menawan. "aku tidak memiliki pilihan lain selain tetap menjaga kamu selama masa studimu."

"Apa alasanmu melakukan itu?"

Aku jelas penasaran bagaimana bisa ada hantu setampan Luccane yang tiba-tiba muncul dan berkata ingin menjagaku selama masa kuliahku yang tidak mungkin sebentar itu.

"Kamu boleh percaya atau tidak tapi aku merasa sangat tertarik dan ingin sekali selalu berada di sisimu, nona Vishabea."

Episodes
1 Bab 1 : Dinginnya Hembusan Napas sang Malam
2 Bab 2 : Dia, Luccane.
3 Bab 3 : Lentera Merah
4 Bab 4 : Perbincangan di Tengah Kelam
5 Bab 5 : Luccane dan Sejuta Misteri
6 Bab 6 : Keseharian Di Rumah
7 Bab 7 : Perjalanan Ajaib
8 Bab 8 : Het Bloeien van Rozen
9 Bab 9 : Paars en Rood
10 Bab 10 : Hari Pertama di Kampus
11 Bab 11 : Cemburu
12 Bab 12 : Meneer Kerkoof
13 Bab 13 : Kebun Bunga Luccane
14 Bab 14 : Indahnya Bintang di Multiverse
15 Bab 15 : Kisah Dibalik Sepotong Kue Kastengel
16 Bab 16 : Benang Merah Pengikat Takdir
17 Bab 17 : Pilar Penyanggah Keluarga
18 Bab 18 : Romansa Dua Dunia
19 Bab 19 : Bukan Sekedar Ancaman
20 Bab 20 : Dimulainya Gangguan
21 Bab 21 : Senandung Pembawa Petaka
22 Bab 22 : Mawar Hitam Yang Layu
23 Bab 23 : Amarah Sang Mawar Hitam
24 Bab 24 : Kekhawatiran Luccane
25 Bab 25 : Air Mata Kepedihan Luccane
26 Bab 26 : Pembalasan Luccane
27 Bab 27 : Langit Bandung yang Kelam
28 Bab 28 : Mencari Alasan
29 Bab 29 : Masa Pemulihan
30 Bab 30 : Regen in Stukjes Hart
31 Bab 31 : Akhir Masa Pemulihan
32 Bab 32 : Misteri Baru
33 Bab 33 : Kesaksian Jansen
34 Bab 34 : Kembali ke Rutinitas
35 Bab 35 : Keraguan Besar
36 Bab 36 : Zwart Gordijn
37 Bab 37 : Tangis sang Mawar Ungu
38 Bab 38 : Semerbak Wangi Cinta
39 Bab 39 : Kehidupan Seorang Sinyo
40 Bab 40 : Berkencan Dalam Dimensi yang Berbeda
41 Bab 41 : Buku Harian
42 Bab 42 : Godaan
43 Bab 43 : Siapa itu Vin?
44 Bab 44 : Kelam?
45 Bab 45 : Kebenaran Tak Terduga
46 Bab 46 : Mengenang Kembali
47 Bab 47 : Paris van Java
48 Bab 48 : Pure Liefde in Parijs van Java
49 Bab 49 : Di Bawah Cakrawala Bandung
50 Bab 50 : Perpisahan Yang Perih
51 Bab 51 : Petunjuk Dari Buku Tua
52 Bab 52 : Darah Dari Masa Kelam
53 Bab 53 : Mula Investigasi
54 Bab 54 : Penuntun Misterius
55 Bab 55 : Sepasang Netra Penghubung Jiwa
56 Bab 56 : Satu Titik Kebenaran
57 Bab 57 : Tersingkapnya Tirai Kebenaran
58 Bab 58 : Keputusan Yang Berat
59 Bab 59 : Membiasakan Diri
60 Bab 60 : Hartverscheurend Liefdesverhaal
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Bab 1 : Dinginnya Hembusan Napas sang Malam
2
Bab 2 : Dia, Luccane.
3
Bab 3 : Lentera Merah
4
Bab 4 : Perbincangan di Tengah Kelam
5
Bab 5 : Luccane dan Sejuta Misteri
6
Bab 6 : Keseharian Di Rumah
7
Bab 7 : Perjalanan Ajaib
8
Bab 8 : Het Bloeien van Rozen
9
Bab 9 : Paars en Rood
10
Bab 10 : Hari Pertama di Kampus
11
Bab 11 : Cemburu
12
Bab 12 : Meneer Kerkoof
13
Bab 13 : Kebun Bunga Luccane
14
Bab 14 : Indahnya Bintang di Multiverse
15
Bab 15 : Kisah Dibalik Sepotong Kue Kastengel
16
Bab 16 : Benang Merah Pengikat Takdir
17
Bab 17 : Pilar Penyanggah Keluarga
18
Bab 18 : Romansa Dua Dunia
19
Bab 19 : Bukan Sekedar Ancaman
20
Bab 20 : Dimulainya Gangguan
21
Bab 21 : Senandung Pembawa Petaka
22
Bab 22 : Mawar Hitam Yang Layu
23
Bab 23 : Amarah Sang Mawar Hitam
24
Bab 24 : Kekhawatiran Luccane
25
Bab 25 : Air Mata Kepedihan Luccane
26
Bab 26 : Pembalasan Luccane
27
Bab 27 : Langit Bandung yang Kelam
28
Bab 28 : Mencari Alasan
29
Bab 29 : Masa Pemulihan
30
Bab 30 : Regen in Stukjes Hart
31
Bab 31 : Akhir Masa Pemulihan
32
Bab 32 : Misteri Baru
33
Bab 33 : Kesaksian Jansen
34
Bab 34 : Kembali ke Rutinitas
35
Bab 35 : Keraguan Besar
36
Bab 36 : Zwart Gordijn
37
Bab 37 : Tangis sang Mawar Ungu
38
Bab 38 : Semerbak Wangi Cinta
39
Bab 39 : Kehidupan Seorang Sinyo
40
Bab 40 : Berkencan Dalam Dimensi yang Berbeda
41
Bab 41 : Buku Harian
42
Bab 42 : Godaan
43
Bab 43 : Siapa itu Vin?
44
Bab 44 : Kelam?
45
Bab 45 : Kebenaran Tak Terduga
46
Bab 46 : Mengenang Kembali
47
Bab 47 : Paris van Java
48
Bab 48 : Pure Liefde in Parijs van Java
49
Bab 49 : Di Bawah Cakrawala Bandung
50
Bab 50 : Perpisahan Yang Perih
51
Bab 51 : Petunjuk Dari Buku Tua
52
Bab 52 : Darah Dari Masa Kelam
53
Bab 53 : Mula Investigasi
54
Bab 54 : Penuntun Misterius
55
Bab 55 : Sepasang Netra Penghubung Jiwa
56
Bab 56 : Satu Titik Kebenaran
57
Bab 57 : Tersingkapnya Tirai Kebenaran
58
Bab 58 : Keputusan Yang Berat
59
Bab 59 : Membiasakan Diri
60
Bab 60 : Hartverscheurend Liefdesverhaal

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!