Luccane
Bulan sabit terlihat bersinar terang setelah hujan sepanjang hari mengguyur kota Bandung, membuatku sebal setengah mati karena menyebabkan kegiatan pindahanku jadi tertunda.
Sekarang sudah pukul setengah sebelas malam namun acara pindahan belum juga selesai, sanak keluargaku yang membantu aku dalam acara pindahan ini sibuk membawa barang-barang milikku dengan tergesa.
"Neng Visha, ini mau ditaruh di mana?" Mang Ujang pamanku sekonyong-konyong datang padaku dengan televisi tujuh belas inchi di tangannya.
"Ayo, Mang, kalau gitu bantu saya taruh TV-nya di dinding," jawabku seraya mengarahkan Mang Ujang untuk masuk ke dalam rumah.
Namaku Vishabea Lazuardi, mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Bandung.
Aku berasal dari Palembang yang iseng-iseng mengikuti seleksi penerimaan calon mahasiswa baru di universitas tersebut, namun diluar dugaan aku malah menjadi salah satu peserta tes dengan nilai akhir tertinggi.
Mang Ujang dan istrinya adalah satu-satunya keluargaku di sini, dan untungnya dengan senang hati mau membantu acara pindahan yang cukup merepotkan ini.
Awalnya Mang Ujang dan Bibi ingin aku ikut tinggal di rumah mereka sebab pasangan suami istri yang telah menikah selama tiga dekade itu tidak memiliki anak perempuan namun aku menolaknya secara halus mengingat Andri, anak bungsu mereka yang seusia denganku kerap mengeluhkan kedua orang tuanya karena terlalu disiplin dan tegas mendidiknya.
Tapi sejujurnya aku memang tidak mau merepotkan mereka terlepas dari alasan pertama hingga akhirnya memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah dengan harga sewa murah di sekitaran kampus.
Usai menaruh televisi di tempat yang aku inginkan, Mang Ujang, Bibi Reni serta Andri pamit pulang karena semua barang-barang milikku sudah ditaruh pada tempatnya sesuai kemauanku.
Malam juga sudah semakin larut, aku buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi bersiap tidur.
Aku membuka pintu kamar mandi perlahan, menghasilkan suara derik yang cukup mengganggu apalagi menurut penuturan sang pemilik rumah kontrakan ini memang sudah cukup lama kosong.
Kaki kiriku masuk lebih dulu ke dalam kamar mandi, menyentuh dinginnya ubin berwarna biru lantai kamar mandi namun yang terjadi berikutnya sungguh membuatku kaget bukan kepalang karena aku mendapati sosok wanita berambut panjang tengah berdiri dengan posisi menunduk di belakang pintu kamar mandi.
Ah, aku sudah menduga ini. Karena memiliki kepekaan terhadap hal-hal tak kasat mata jadi aku sudah menebak kalau rumah ini memiliki sesuatu sehingga pemiliknya menyewakannya dengan harga miring walau rumah ini berukuran besar.
Aku buru-buru menyembunyikan ekspresi kagetku, bertingkah seolah tidak melihat apa-apa lantas menyelesaikan kegiatanku.
Merasa sudah sangat lelah aku beringsut menuju kamarku dan langsung merebahkan diri di atas kasur tanpa mempedulikan sosok yang tengah menatapku dengan sorot sendu dari pojok ruangan.
...****************...
Rasa dingin tiba-tiba menjalari kedua telapak kakiku membuatku sontak terjaga.
Tak hanya telapak kakiku, kini sekujur tubuhku merasa sangat dingin seperti sedang berada di dalam freezer.
Dengan kelopak mata yang masih amat berat karena kantuk, aku memberanikan diri melihat ke arah kakiku guna mencari tahu apa yang menyebabkannya menjadi terasa sangat dingin. Pelan-pelan aku menyingkap selimutku hingga sepersekian detik berikutnya pupil mataku melebar setelah mendapati ada sosok pria dengan kulit putih pucat seperti orang Eropa tengah meringkuk di bawah kakiku sambil terus memandang wajahku.
Aku melirik jam digital yang terduduk di atas nakas, masih menunjukkan pukul tiga dini hari membuatku mendesah malas tidak aku sangka kalau dia akan usil seperti itu.
Dengan enggan aku beranjak dari kasur menuju saklar lampu yang terletak di sebelah kiri pintu kamar sementara pandangan sepasang mata biru miliknya masih tetap terpaku padaku.
Ini sungguh menjengkelkan namun aku tak punya pilihan lain selain mengintrogasi makhluk astral satu itu.
"Apa maumu?" tanyaku ketus pada sosok pria berambut cokelat terang itu.
Dia tersenyum tipis, begitu tampan dengan sepasang mata biru lengkap dengan alis tegas serta hidung runcing miliknya.
Bibirnya juga ranum berwarna merah bagaikan kelopak bunga mawar yang sedang bermekaran.
Sungguh sebuah visual yang sangat memesona bagaikan seorang pangeran dari negeri dongeng sukses membuatku tercenung.
Pesona macam apa ini? Apa mungkin ada hantu yang sangat tampan seperti ini? Sejak kecil aku hanya melihat hantu dengan perawakan yang menyeramkan seperti sosok yang aku temui di kamar mandi tadi.
"Aku tidak mau apa-apa darimu, maaf telah mengganggu tidurmu."
Oh tidak, suaranya sangat rendah terdengar begitu nyaman untuk didengar bahkan lebih indah ketimbang suara para penyiar radio yang pernah aku dengar seumur hidupku.
"Siapa kau?" aku kembali bertanya setelah menetralkan detak jantungku yang sempat tidak karuan karena ketampanan milik sosok itu.
Dia bangkit dari posisi tidurannya kemudian duduk menghadap padaku.
"namaku Luccane, senang bertemu denganmu nona Vishabea."
"Kenapa kau ada di kamarku?"
"Aku sudah berada di rumah ini sejak lima puluh tahun terakhir," sahutnya enteng seakan tanpa beban.
Aku lantas mengambil posisi duduk di meja belajarku. "kalau begitu kau tidak boleh mengganggu aku dan jangan sampai penghuni lain dari rumah ini tahu kalau aku bisa melihatmu."
"Tapi sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku bisa terus mengganggumu," godanya dengan senyum misterius.
Aku mendecak sebal. "aku sungguh tidak tertarik dengan hantu. sepertinya usiamu juga jauh lebih muda dariku."
"Usiaku saat mati adalah sembilan belas tahun, mana mungkin lebih muda darimu yang baru berusia delapan belas? kau juga perlu ingat kalau aku sudah bergentayangan selama lebih dari dua ratus tahun," papar Luccane santai sambil menatapku penuh minat.
"Itu artinya kau hidup di era zaman penjajahan?" tanyaku antusias, mengingat jurusan kuliah yang kupilih memanglah sejarah.
Luccane mengangguk. "kamu menebaknya dengan sangat tepat."
Dilihat dari penampilannya Luccane memang nampak seperti bangsawan Eropa yang hidup di era abad pertengahan dengan pakaiannya yang nampak mewah berbahan sutra.
Kulit putihnya yang pucat terlihat begitu menawan dibalut dengan pakaian serba hitam.
"Aku memang banyak mempelajari sejarah," balasku sekenanya.
Luccane tersenyum lagi, memusatkan perhatiannya padaku. "jika kamu berpikir bahwa aku akan mengganggu atau membuatmu celaka maka itu adalah salah besar."
"Mana mungkin aku bisa percaya begitu saja dengan hantu yang baru saja aku temui?"
Pertanyaan ketusku lagi-lagi ditanggapi Luccane dengan senyuman menawan. "aku tidak memiliki pilihan lain selain tetap menjaga kamu selama masa studimu."
"Apa alasanmu melakukan itu?"
Aku jelas penasaran bagaimana bisa ada hantu setampan Luccane yang tiba-tiba muncul dan berkata ingin menjagaku selama masa kuliahku yang tidak mungkin sebentar itu.
"Kamu boleh percaya atau tidak tapi aku merasa sangat tertarik dan ingin sekali selalu berada di sisimu, nona Vishabea."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments