SAMUDRA GROUP, namanya membuat sanubari bergetar seketika. Perusahaan besar yang konon katanya sang pemilik hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk membuatnya berjaya sampai detik ini. Perusahaan terbaik dari sepuluh perusahaan di Asia dengan bangunannya modern, bertingkat-tingkat yang pasti pencakar langit. Di usia yang masih muda perusahaan ini sudah memiliki cabang dimana-mana, hebat bukan. Menjadi bagian dari perusahaan ini merupakan anugerah luar biasa. Bahkan yang santer terdengar, dari ribuan orang yang layak melakukan interview hanya beberapa orang saja termasuk dirinya.
Tapi, mereka harus menjalani seleksi ketat lainnya dan yang terpilih pasti satu atau dua orang beruntung saja. Itulah yang membuat Ara nervous.
Jantung Ara berdebar-debar sejak pertama menginjakkan kaki disini. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Ara menarik nafas mencoba untuk tidak panik dia harus tenang. Yang membuat Ara panik begitu melihat orang yang habis interview keluar dengan menangis, teriak-teriak tidak jelas, dan marah-marah. Sebenarnya apa yang ditanyakan oleh mereka?
“Rara Raditya, silahkan masuk!”
Deg! Namanya dipanggil. Ara kembali menarik nafas dalam-dalam. Baiklah, dia bergumam. Ara mulai melangkah sepanjang mata memandang banyak sekali Pandang mata menyorot tidak suka. Ara tidak peduli.
Ada tiga orang yang mewawancarai. Satu perempuan dan dua laki-laki.
“Silahkan duduk.”
“Terimakasih.”
Salah satu dari mereka membaca surat lamaran kerja milik Ara. Matanya terbelalak kaget melihat nama universitas yang tercantum di surat lamaran kerja Ara. Yang membuat mereka tambah kaget lagi, nilai akreditas Ara diatas rata-rata bahkan segudang prestasi diborong olehnya. Paket lengkap. Demi terlihat profesional mereka kembali pada mode wajah serius.
“Kami cukup terpukau melihat skill academic yang kau miliki. Kau sangat berpotensi dan cocok dengan kriteria pekerja yang kami cari. Hanya saja, itu semua tidaklah cukup.”Ara menjadi tegang.
“Kami mencari pekerjaan paket lengkap mulai dari skill, wajah dan juga penampilan. Kau mungkin menang jika berdasarkan skill. Akan tetapi.. kau mengerti kan maksud kami apa?”
Ara mengangguk. Penampilannya tidak terlalu menarik dan dia juga tidak terlalu cantik. Ara tidak memusingkan semua itu, setiap perusahaan memiliki kriteria pekerja masing-masing. Sekarang hanya keberuntungan yang Ara harapkan.
“Kau jangan berkecil hati. Kau beruntung kami menyukaimu saat pertama kali bertemu. Kami akan memberi kesempatan kepadamu dengan syarat kau menjawab pertanyaan dari kami, bagaimana?”
Tentu saja Ara setuju. Itu yang diharapkan. “Terimakasih. Aku tidak akan mengecewakan kalian.”
“Aku menyukai percaya dirimu.”
“Apa kau siap?”
Ara mengangguk.
“Baiklah, ayo kita mulai. Seandainya kau sudah diterima bekerja di sini, disaat perusahaan mewajibkan setiap staf atau karyawan untuk menghadiri rapat umum, tiba-tiba kau mendapat telepon dari keluargamu yang mengatakan salah satu keluargamu mengalami kecelakaan. Pertanyaannya adalah apa yang akan kau lakukan, tetap mengikuti rapat atau berlari menemui keluargamu yang kecelakaan?”
Ara tertegun. Pertanyaannya ini sangatlah sulit diantara keduanya dia harus memilih salah satu. Ara harus konsentrasi dan memberikan jawaban yang memuaskan dan tepat.
Si wanita yang mengajukan pertanyaan tersenyum tipis. Tidak banyak orang bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Mereka terlalu memikirkan emosi semata.
“Menurutmu dia akan memilih apa?”bisik lelaki yang memakai dasi biru garis-garis kepada lelaki di sebelahnya yang tampak berpikir.
“Aku tidak yakin. Pertanyaan yang Rissa lontarkan itu sulit.”
“Benar juga. Rissa memang pantas disebut staf profesional.”
“Sudah jangan berisik. Kita lihat saja apa yang dia pilih.”
Lima menit telah berlalu dan Ara masih belum menjawab pertanyaan tersebut.
“Kau menyerah?”
“Aku tidak memilih keduanya.”
“Jelaskan!”
“Itu hanya perumpamaan saja. Walaupun aku memilih salah satunya menurutku itu tidak adil. Kedua-duanya sangat penting bagiku. Akan tetapi, demi keprofesionalan selaku karyawan disini aku akan mementingkan pekerjaan.”
Mereka terdiam. Raut wajah mereka sama sekali tak terbaca membuatnya sempat menerka-nerka tanggapan mereka. Ara tidak berharap banyak karena keputusan berada di tangan mereka. Setelah larut dalam diam. Wanita yang mengajukan pertanyaan akhirnya membuka suara. Hal itu membuat Ara berdebar-debar.
"So, setelah kami pikir-pikir kami memutuskan..."Rissa menjeda kalimatnya. Ara tambah deg-degan campur aduk.
"... Selamat kau diterima!"Rissa dan rekannya berdiri, lalu mengulurkan tangan.
Ara kaget. Anggota badannya bergetar secara alami. "Aku... Aku diterima..?"
Mereka mengangguk.
Aaaaaaa! Ingin rasanya Ara berteriak saking kagetnya. Dia lantas menjabat tangan mereka. Akhirnya mimpi Ara untuk bergabung disini terwujud.
-0oo0-
"Kakek, aku pulang."
Ara masuk rumah. Meletakkan sepatu ke rak sepatu. Sepasang matanya ia edarkan ke sekeliling rumah, tapi tidak mendapati sosok kakek. Mungkin kakek berada di kamar makanya nggak jawab ucapan Ara. Lantas dia berjalan untuk mencarinya. Derap langkah Ara berhenti di depan pintu kamar kakek.
Tokk! Tokk! Tokk! Ara mengetuk pintunya.
"Kek? Kakek? Ada di dalam, ya?"Akan tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Ia mengerutkan kening, biasanya kakek selalu menjawab. Pasti orang tua itu sedang tidur. Ara mengangguk pelan. "Kakek nggak jawab, aku masuk nih. Masuk ya..? Yaudahlh masuk."
Saat sudah dibuka pintunya Ara tidak melihat kakek di kamar, kamar itu kosong melompong kayak kartu rekening Ara sekarang.
"Ke mana perginya kakek? Di kamar nggak ada. Ah...!"
Ara langsung keluar. Kini dia berjalan menuju halaman belakang dan sialnya kakek tidak ada, begitu juga di ruang lainnya. Ara menggaruk pipi, bingung mencari kakek. Tiba-tiba matanya melotot sempurna.
"Jangan-jangan.. kakek keluar rumah dan tersesat..?! Akh!"
Ara menepuk dahi. Kakeknya ini kalo sudah pergi keluar rumah dan berjalan-jalan di sekitar pasti tidak balik lagi dikarenakan penyakit pikun yang sudah menjamur mengingat usianya sudah tua yang akibatnya lupa jalan pulang. Nah, sekarang Ara harus mencarinya dan tidak ingin sesuatu terjadi padanya.
Ara keliling sekitar kompleks. Kadangkala dia bertanya pada orang yang ditemuinya siapa tahu saja melihat kakek.
"Maaf, Tante, lihat kakek aku tidak?"
"Pak Rachmat? Tante nggak liat tuh. Emang nggak bilang mau pergi kemana?"ujar wanita paruh baya itu.
"Nah, justru itu! Ara nggak tau soalnya Ara baru pulang."keluh Ara.
"Oh, begitu ya."
"Ya, sudah, Tante aku mau cari kakek dulu. Terimakasih."
"Iya, iya, kalo Tante melihat kakekmu nanti Tante kasih tau kamu."
"Makasih, Tante!"
Wanita paruh baya itu menatap punggung Ara yang semakin menjauh. Dia tersenyum perlahan-lahan menggelengkan kepala pelan, lalu pergi. Komplek tempat tinggalnya ini banyak sekali gang bisa membuat orang kebingungan. Bahkan orang lama pun kadang kali suka tersesat, dia cemas kakek tersesat. Syukur-syukur bertemu orang baik yang mau mengantarkan kakek. Ara berhenti. Nafasnya terengah-engah. Dia menghirup udara guna menetralkan nafasnya.
"Udah sejauh ini masih juga belum bertemu kakek. Sebenarnya kakek dimana sih. Semoga saja kakek baik-baik saja."
Ara menengok ke arah barat. Ia berkerut kening. Tujuan meter didepan ada lelaki tua sedang duduk di kursi taman melihat kearah lain. Bola mata Ara melebar sempurna.
"Sepertinya itu kakek! KAKEKKK!"
Ara berlari menghampiri lelaki tua tersebut dan langsung memegang bahunya. Dia menoleh. Ternyata benar lelaki tua itu adalah Kakeknya.
"Kakek sedang apa disini? Aku dari tadi nyariin Kakek. Kakek tau seberapa khawatirnya aku mengetahui kakek tidak ada di rumah. Aku sampai keliling dan bertanya kepada orang-orang, aku takut kakek kenapa-kenapa,"ucap Ara cemas. Menatap kakek dari atas sampai bawah.
Kakek terkekeh. "Kakek baik-baik saja jangan khawatir."
Ara mendengus. "Bagaimana aku tidak khawatir, kakek pergi dari rumah tanpa mengabari aku. Untungnya aku pulang cepat."
Kakek terbengong melihat Ara mengomelinya.
"Pokoknya aku nggak mau tahu lagi kakek pergi dari rumah tanpa memberi tahu aku.. aku takut terjadi sesuatu sama kakek. Nanti kakek diculik gimana coba? Terus penculiknya minta tebusan gimana? Kan aku pusing sendiri nantinya."Oceh Ara panjang lebar ditambah ekspresi menggemaskan membuat siapa saja mungkin akan tertawa melihatnya.
"Iya, iya, Ara memang terbaik. Lihatlah kakek baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka sama sekali."ujar kakek meyakinkan Ara.
"Pokoknya Ara marah."Ara merajuk.
Kakek menggeleng sambil tersenyum lembut. Lalu mengelus rambut Ara dan berucap; "Kakek minta maaf, jangan marah lagi ya?"
Ara mengerucutkan bibir. Apabila kakeknya sudah membujuknya dia tidak bisa apa-apa selain tidak marah lagi.
"Kali ini Ara maafin kakek, tapi lain kali jangan harap."
"Baiklah, baiklah."
Saking sibuk mengomeli kakek Ara sampai tidak sadar ada orang lain yang berdiri tepat di sebelah Kakek yang sedari diam-diam tertawa pelan melihat cara dia memarahi kakek seperti seorang ibu mengetahui anaknya main hujan-hujanan. Lelaki jangkung itu berdehem. Mereka tergugah. Ara menyipitkan mata. Pemuda ganteng darimana ini? Tampaknya usianya masih muda. Pakaian rapi, jam tangan mahal, serta gesture wibawa tampaknya orang ini bukan sembarang orang. Jika Ara tidak salah menduga dia pasti seorang pengusaha atau selebritis. Ara mengangguk-angguk pelan. Inilah kelebihan Ara menilai sesuatu begitu melihatnya.
"Kau siapa?"
Kakek menengahi. "Oh ya, Ara, kakek sampai lupa memberitahumu siapa pemuda ini. Habisnya kau tidak memberikan kakek kesempatan untuk bicara sih."
Ara mendelik. "Itu salah kakek."
"Sudahlah. Nak Arkan, ini Ara, cucu kakek."kakek memperkenalkan Ara kepada lelaki yang bernama Arkan ini. Lelaki itu tersenyum tipis. "Untunglah kakek bertemu nak Arkan yang baik ini. Jika tidak, mungkin beda ceritanya."
"Ah, kakek tidak perlu memuji. Aku kebetulan lewat saja."
Ara memberi tatapan intensif. Dari cara dia bicara dan tertawa? Umm, sangat mencurigakan. Aku harus berhati-hati.
"Ahahaha, nak Arkan terlalu merendah. Memang benar nak Arkan ini pemuda yang sangat baik dan juga tampan benar tidak Ara?"Kakek menoleh ke arah Ara.
Ara tertegun. Nah! Nah! Ada apa ini. Kenapa harus meminta jawaban padanya. Semua orang yang melihat juga pasti akan mengatakan dia tampan, tampan dan ganteng. Kakek menyenggol lengan Ara lalu tertawa garing.
"Ah, iya.. tampan."
"Hahaha, kakek dan nona Ara bisa saja memujinya. Tapi terimakasih lho."
Ara terdiam sambil membatin sedangkan kakek sudah seperti penjilat saja dengan mengangkat-ngangkatnya menggunakan pujian super pupuk.
"O...ya, kakek tadi aku membelikan mu minum."Pemuda ini memberikan kantong berisi minuman.
"Ah! Tidak perlu repot-repot. Tapi nak Arkan sudah membelikannya sudah sepatutnya kakek menerimanya."Sahut kakek tidak tahu malu. Saat hendak mengambil bungkusan minuman tersebut tiba-tiba suara Ara terdengar.
"Tunggu dulu. Minuman apa ini?!"Ara merebutnya dan langsung mengeceknya. Minuman dengan pemanis buatan.
"Ara!"
"Tidak boleh. Kakek tidak boleh meminum minuman dengan pemanis buatan karena tidak baik untuk kesehatannya. Tolong ambil lagi."Ara menyerahkan. Pemuda itu terdiam.
"Ah, maaf, aku tidak tahu."
"Ara jangan terlalu kasar."ucap Kakek menegurnya tapi sayang Ara tidak menggubrisnya.
"Aku akan membawa kakek pulang, terimakasih kasih kau sudah menjaganya. Selamat tinggal."Kata Ara berterimakasih. "Ayo, kakek."
"Nak Arkan jangan diambil hati perkataan Ara barusan ya. Dia sebenarnya wanita baik, itu semua karena terlalu khawatir padaku."Kakek Memberi pengertian kepada sang pemuda.
"Tidak apa-apa. Wajah nona Ara mengatakan itu. Aku yang terlalu gegabah."
"Kau lelaki baik. Ya sudah, kami pulang. Selamat tinggal."
Arkan mengangguk. Kakek segera menyusul Ara tiga meter didepan.
"Apa yang kakek bicarakan?"
"Bukan apa-apa."ucap Kakek dingin.
"Mengapa ucapan kakek terdengar seperti sedang marah padaku?"gumam Ara. Dia menghela nafas, mengejar langkah kakek lalu menuntunnya meskipun kakek kadang menolak.
Sementara pemuda itu belum mengalihkan pandangan matanya pada mereka berdua. Tiba-tiba dia tersenyum aneh.
"Menarik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Vitamincyu
👍👍👍
2024-09-20
1