Sepanjang jalan, Fatimah hanya bisa menangis dalam diam. Dia juga beristigfar dalam hati untuk mengurangi rasa takutnya. Entah dirinya mau di bawa kemana, sudah berjam-jam mereka berada di dalam mobil. Bahkan saat mereka mengisi bensin pun, Fatimah tidak bisa berteriak meminta tolong karena mulutnya di bekap oleh orang yang duduk di sampingnya.
Tak ada yang Fatimah kenal, mereka semuanya berwajah datar, Fatimah takut, namun ia juga tak bisa meminta tolong kepada siapapun selain pada Tuhan.
Pikirannya saat ini sangat kacau sekali, memikirkan dirinya yang kini sudah di jual oleh ayah tirinya. Memikirkan nasib sang Ibu ke depannya bagaimana. Dan memikirkan bagaimana agar ia bisa kabur dan menyelamatkan Ibunya dari kekejaman sang Ayah tiri.
Memikirkan semua itu membuat kepala Fatimah berdenyut sakit. Ia hanya bisa memegang kepalanya dengan erat untuk mengurangi rasa sakitnya, namun rasa sakit itu bukannya berkurang malah semakin bertambah. Sedangkan sang sopir yang melihat Fatimah seperti kesakitan pun tak bisa berwajah apa-apa, walaupun dalam hatinya ia merasa khawatir melihat wajah pucat Fatimah.
Sedangkan orang yang duduk di samping Fatimah, hanya menampakkan wajah datarnya, ia bahkan tidak memperdulikan Fatimah yang mulai merintih kesakitan.
Hingga pada akhirnya Fatimah tidak tahan menahan rasa sakitnya, ia mulai menjatuhkan kepalanya di kursi dan tak sadarkan diri.
Perjalanan terus berlanjut, laki-laki yang duduk di samping Fatimah bahkan tidak melirik sedikitpun. Ia juga tidak merasa panik sama sekali. Ia seperti sudah terbiasa berhadapan dengan hal seperti itu.
Sedangkan sang sopir mulai merasa khawatir, tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa, hanya sesekali ia melihat ke arah Fatimah dari kaca spion yang ada di hadapannya.
"Fokus menyetir, jangan pedulikan apapun yang terjadi!" ucapnya dengan suara dingin, membuat bulu kuduknya merinding. Akhirnya sang sopir pun tak lagi melihat ke arah spion dan fokus menyetir. Namun di dalam hati, ia berharap jika FAtimah tidak kenapa-napa.
Setelah hampir sepuluh jam menyetir, mereka pun sampai ke mension megah dengan luas dua hektar, sangat megah sekali dan mension itu jauh dari perkampungan. Di sekelilingnya pun penuh dengan pepohonan yang sangat lebat.
Fatimah yang masih pingsang pun, belum juga sadarkan diri.
Tuan Ray turun dari mobil pertama dan menoleh ke mobil kedua di belakangnya.
"Bawa dia ke dalam!" ucapnya dingin.
Rio pun segera menggendong Fatimah yang belum sadarkan diri itu. Lalu membawanya masuk ke dalam mension. Tuan Ray meminta Rion membawa Fatimah ke kamar yang ada di sebelah kamar utamanya dan menaruhnya di atas kasur.
Rion pun melakukannya tanpa banyak bantahan. Dan setelah itu, Tuan Ray meminta Rio segera pergi dari sana.
Lalu Tuan Ray memanggil kepala pelayan.
"Pak Han, suruh Bibi Aisyah datang ke sini. Lima menit!" ujarnya.
Pak Han pun segera memanggil Bibi Aisyah melalui telephon agar menghemat waktu. Lalu tak lama kemudian Bibi Aisyah datang.
"Mandikan dia, dan pakaikan baju istriku yang ada di dalam lemari. Dandani dia seperti dulu kamu mendandani istriku. Aku tunggu dalam satu jam ke depan sudah harus selesai semuanya."
Tanpa menunggu lagi, Tuan Ray langsung pergi dari sana menuju kamarnya sendiri. Lalu ia mengunci pintu itu dari dalam. Sedangkan Bibi Aisyah, ia melihat ke arah Fatimah yang masih belum sadarkan diri.
Pak Han yang ada di sana pun ikut pergi dan meninggalkan Bibi Aisyah berdua bersama Fatimah di kamar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments