Stempel Tanda Cinta
Waktu itu dimalam yang mencekam saat hujan yang turun kebumi begitu derasnya, membuat seisi rumah takut jika tiba-tiba saja angin kencang akan menerbangkan atap rumah. Suasana rumah sangat gelap karena hanya ada penerangan dari sebuah pelita yang banyak dipakai orang-orang tempo dulu, yang ketika kita bangun lubang hidung akan menjadi hitam karena asap hitam yang keluar dari pelita akan terhirup masuk kedalam hidung.
Malam itu terdengar pula tangis seorang anak gadis yang terdengar begitu pilu, namun suara hujan yang turun mengalahkan suara tangisnya.
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan riasan yang sangat mencolok, masuk kedalam kamar anak gadis yang sedang menangis sesenggukan, sambil memeluk kedua kakinya.
"Aku kan sudah bilang, kamu jangan sok akrab sama Kakek Tua itu, Tante tidak suka" Teriaknya sambil menjambak rambut gadis itu. Membuatnya meringis kesakitan.
"Ampun.....sakit" Jawab Gadis itu sambil memegang rambutnya yang terus saja ditarik oleh wanita itu.
"Ampun, ampun, awas kalo kau masih dekat sama Kakek Tua itu, aku tidak segan-segan bakal usir kamu dari sini. Biar sekalian kamu jadi gelandangan" Ucap wanita paruh baya itu dengan suara yang menggelegar, bersamaan dengan suara petir yang bersaut-sautan. Kemudian melempar tubuh gadis malang itu ketembok lalu jatuh terjerembab kelantai, Membuat keningnya ikut terbentur namun syukurnya tidak menyebabkan luka yang serius.
"Bangun" Ucap wanita paruh baya itu menyuruh gadis malang itu untuk segera bangun. Akan tetapi karena tubuhnya masih merasa sakit karena menghantam tembok, membuat gadis itu sangat kesulitan untuk bangkit kembali. Alhasil karena pergerakannya yang begitu lamban, membuat wanita paruh baya itu ingin untuk menyiksanya lagi.
"Sini kamu" Ucapnya lagi, sambil menarik tangan gadis itu.
"Sakit....ampun" Jawab gadis itu memohon belas kasihan.
Plak, Plak, Plak...
Dengan sekuat tenaga, wanita paruh baya itu kemudian menampar wajah dan memukuli gadis itu membabi buta karena sangking kesalnya.
Sesekali gadis itu terlihat meringis menahan sakit diwajah bahkan kini ditubuhnya. Namun ia berusaha untuk menahannya, ia sebenarnya ingin melawan namun apalah daya tubuh mungilnya tak mampu menahan serangan dari wanita itu.
Setelah merasa puas memberikan pelajaran pada gadis itu, wanita paruh baya itu lalu keluar meninggalkan tubuh gadis malang yang kini tergeletak diatas lantai sambil terus menangis.
Sangking lelahnya ia menangis, akhirnya ia pun tertidur. Walaupun sesekali masih terdengar suara sesenggukan oleh gadis itu karena terlalu lama mengeluarkan air matanya.
*
*
*
Dear diary
Menjadi miskin bukanlah sebuah pilihan yang buruk untukku. Kemiskinan mengajarkanku tentang bagaimana seseorang harus lebih banyak bersabar dan lebih giat berusaha.
Malas? Ya, kadang kala akupun juga merasakan satu sifat yang mungkin semua orang pasti pernah merasakannya.
Tidak, aku tak boleh terus bermalas-malasan, jika aku malas, kapan aku akan menjadi seorang yang memiliki finansial yang baik.
Waktu adalah uang, aku harus bisa membuktikan pada dunia, bahwa orang menyedihkan seperti diriku, bisa meraih apapun asalkan ada kemauan.
Semangattt...
Impian 1000% menjadi kenyataan.
🌷🌷🌷
Dinda
Seperti biasa setiap harinya, Dinda akan bangun lebih awal.
Hal yang pertama ia lakukan adalah, menuliskan apa saja yang menurutnya penting di dalam buku diary yang selama ini dia anggap menjadi sahabatnya.
Apa saja akan Dinda ceritakan didalam buku diary itu. Karena Dinda merasa sahabat yang tidak akan pernah menceritakan tentang dirinya kepada orang lain yaitu buku diarynya.
Dinda menyimpan kembali diarynya kedalam lemari pakaian usang yang sepertinya tak lama lagi akan roboh, sangking lamanya lemari itu berada didalam kamar Dinda, dan tak pernah sekali pun berpindah tempat. Suara daun pintu lemari pakaian itu pun juga sudah terdengar sedikit menyeramkan, membuat siapapun tak akan sudi memilikinya.
Setelah menyimpan baik-baik buku diary kesayangannya itu didalam lemari, seperti biasa Dinda akan bergegas menuju ke dapur, menyiapkan makanan untuk Tante dan Sepupunya.
Sudah terbiasa bagi Dinda harus bangun lebih awal dan
mengerjakan semua pekerjaan rumah, setelah itu baru ia akan berangkat kesekolah.
Sarapan telah tersaji rapi diatas meja makan reot, ntah sejak kapan meja itu berada disitu, seingat Dinda meja itu telah ada sejak dirinya masih kecil, namun sepertinya semua perabotan yang ada didalam rumah Tantenya itu sudah sangat lapuk dan tua, gaya dan modelnya pun sudah sangat ketinggalan zaman.
Setelah menyiapkan sarapan, Dinda bergegas kekamar mandi, kemudian bersiap-siap untuk kesekolah.
Seragam kebanggan yang hampir setiap hari Dinda pakai kini mulai usang karena tak pernah diganti, namun Dinda tak patah semangat, itu bukanlah penghalang buat Dinda. Bukankah ia kesekolah untuk menimbah ilmu, agar kelak ia bisa mewujudkan impian 1000% yang menurutnya sangat sulit untuk diraih.
Dinda melangkah keluar dari kamar menuju ke meja makan untuk ikut sarapan bersama Tante Indah dan Siska. Namun sesampainya di meja makan, terlihat semua makanan yang tadi Dinda masak telah dihabiskan oleh tante Indah dan juga Siska.
Dinda kaget melihat 2 orang yang memiliki badan yang terbilang kecil, namun mampu menghabiskan makanan yang menurut Dinda lumayan banyak.
Suara gemuruh perut Dinda, membuat Tante Indah dan Siska menoleh kearahnya dengan tatapan sinis.
"Hari ini kau tak dapat jatah sarapan, masakanmu hari ini kurang enak" Ucap tante Indah sambil memainkan kuku-kuku panjang nan cantik miliknya yang setiap hari dipoles dengan kutek berwarna-warni.
"Kalo tidak enak kenapa makanannya malah habis, bahkan tak bersisa sama sekali" Ucap Dinda dalam hatinya. Merasa heran dengan apa yang Tantenya katakan.
Dinda terkadang heran mengapa seorang pembantu seperti tante Indah boleh merawat kukunya tetap cantik. Padahal setiap hari Dinda melihat jika majikan Tantenya termasuk orang yang sedikit tempramental, selain itu tante Indah juga mengerjakan pekerjaan yang lumayan berat dirumah majikannya. Gaya dan cara berpakaian tante Indah juga tidak mencerminkan jika dirinya adalah seorang pembantu.
"Kenapa diam saja, cepat bersihkan piring-piring ini, setelah itu kau boleh kesekolah" Ucap tante Indah dengan pongahnya.
Sedangkan Siska hanya tersenyum sinis melihat wajah tak berdaya Dinda.
Malang sekali nasib anak yatim seperti Dinda, setelah ditinggal meninggal oleh Ibunya, Ayahnya yang merantau untuk mengadu nasib agar bisa merubah kehidupan tak sekalipun ada kabarnya. Kini tinggallah Dinda seorang diri berjuang untuk terus tetap bertahan hidup.
Dengan langkah gontai, Dinda melangkah kemudian mengangkat satu persatu piring yang kini tandas tak bersisa.
Sesekali Dinda meringis karena perih dilambungnya yang meminta segera di isi karena sejak tadi malam ia tidak makan.
Dinda memegang perutnya yang kini mulai terasa perih, lalu melangkah kebelakang untuk membawa piring kotor tersebut.
Tak hilang akal, Dinda lalu mengambil gelas yang ada dirak piring kemudian meminum air sebanyak-banyaknya untuk mengurangi rasa laparnya.
Perut Dinda terasa penuh dengar air, namun setidaknya itu bisa mengurangi sedikit rasa perih diperutnya. Walaupun kini Dinda merasa seperti mulai kembung karena meminum air terlalu banyak.
Dinda kemudian bergegas untuk kesekolah setiap hari menggunakan angkutan umum. Dengan langkah yang bersemangat Dinda memulai harinya berharap hari ini bisa lebih baik dari hari sebelumnya. Berharap keajaiban akan datang, walaupun tak tau kapan datangnya.
Dinda terus melangkah hingga tepat diperempatan jalan, sudah ada seorang siswa yang memakai seragam sama seperti Dinda sedang menunggunya.
Dengan senyum merekah Dinda lalu menghampiri sahabatnya itu.
"Selamat pagi Juna" Ucap Dinda memberi salam pada Juna yang sedang duduk dipinggiran trotoar jalan sedang menunggu angkutan umum untuk membawa mereka pergi kesekolah.
"Pagi juga Dindaku" Jawab Juna dengan senyuman yang dipaksakan diwajahnya. Membuat Dinda tertawa melihat wajah sahabatnya itu.
Arjuna Dirgantara, sahabat Dinda sejak mereka masih bersekolah disekolah dasar. Nama Arjuna sendiri terinspirasi dari nama pemain film kolosal India Mahabarata yaitu Arjuna yang memiliki wajah yang sangat tampan. Ibu Juna memberikan nama itu karena saat hamil dirinya sangat mengidolakannya. Mungkin itulah juga sebabnya mengapa wajah Juna menjadi sangat tampan.
Orang tua dulu bilang, jika kita menginginkan wajah anak kita tampan maupun cantik, kita harus memikirkan dan mendoakan anak yang ada dalam perut ibunya seperti orang yang kita idolakan. Agar jika anak itu lahir wajahnya akan seperti orang yang selalu kita pikirkan.
Akan tetapi, Dinda merasa tidak mengerti dengan pemikiran-pemikiran orang tua dulu. Dinda berpikir, jika faktor seseorang bisa memiliki wajah yang tampan dan cantik itu semua karena faktor gen dari kedua orang tuanya. Kalopun kedua orang tuanya memiliki wajah yang tidak tampan ataupun tidak cantik, tetapi anaknya terlahir malah berbanding terbalik dengan wajah kedua orang tuanya, mungkin saja itu faktor keberuntungan, ntah lah, batin Dinda dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Ceritanya bagus, terus semangat thor 💪💪💪
2023-02-05
0
Friasta
Bagus ide ceritanya 💕
2022-12-05
0
mocha217
baru sempat mampir nih kak😅
2022-11-30
0