Ben Dixon Harefa, mulanya dia adalah seorang Atheis, tapi karena pertemuannya dengan sang istri, dia menjadi mualaf yang perlahan mengenal islam.
Sosok Shanum benar-benar membimbing dan mampu merubah Ben menjadi seorang pria yang percaya akan adanya Tuhan.
Pria yang lahir di Macau ini memilih pindah ke Hongkong semenjak sang istri pergi meninggalkannya, sebab begitu banyak kenangan manis yang Shanum tinggalkan di negri Casino. Termasuk putri manis yang terpaksa ia sembunyikan dari ayah dan ibu mertuanya.
Bukan tanpa alasan Ben mengatakan pada Anita serta Emir bahwa bayinya tidak selamat saat terlahir ke dunia, itu karena pria berusia tiga puluh lima tahun ini marah ketika tidak di ijinkan bertemu dengan istrinya yang saat itu mengalami kecelakaan dan di rawat di rumah sakit.
Hingga lima tahun berlalu, Ben bahkan masih belum bisa melupakan Shanum. Dia terlalu marah, benci atau mungkin kecewa karena Shanum tidak pernah datang untuk sekedar menengok putri kandungnya.
Tidak pernah sama sekali.
Entah ada apa gerangan, wanita yang sangat faham dan mengerti tentang ajaran Islam, justru melupakan putrinya dengan begitu tega. Tapi Ben sendiri memilih berprasangka baik karena mungkin mertuanyalah yang telah melarang istrinya untuk menemui dirinya.
Ah entahlah ... dia tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan wanitanya, dia harus fokus bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga, terutama fokus membesarkan putri kesayangannya.
Mikayla Ralline Harefa, seorang anak yang tumbuh dan di besarkan oleh daddy, grandma, aunty serta unclenya itu kini menjadi anak yang cerdas dan pemberani, yang seolah tak pernah takut dengan bahaya.
Padahal, sang daddy bekerja sebagai asisten dari Jhon Divan yang memiliki banyak musuh serta pesaing bisnis yang tidak biasa.
Adik dari ibunya Ben ini melakukan bisnis ilegal di bidang pertambangan emas. Banyak rival yang seakan-akan memata-matai kehidupan Jhon termasuk kehidupan Ben.
Alasan itu pula yang membuat Ben harus menyembunyikan Mikayla dari mata publik.
Ben memilih Hongkong sebagai tempat tinggal yang aman untuk putri dan keluarganya. Sebuah apartemen yang cukup mewah, dan bisa di jadikan tempat bermain untuk sang putri.
Sebenarnya, awalnya bisnis itu adalah bisnis legal milik papahnya Ben, namun dengan licik sang paman mengambil alih bisnis itu ketika dia masih kecil, dan entah bagaimana menjalankannya, bisnis tambang emas itu mendadak menjadi bisnis ilegal.
"Daddy, ayo bangun! Sudah siang daddy, kita olah raga" Mereka memang tinggal di Hongkong, tapi Ben serta keluarganya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Ia menggunakan bahasa Canton hanya ketika berbicara dengan warga lokal.
"Daddy masih mengantuk sayang, Kay pergi sama ancle Leo ya"
"Nggak mau, Mikayla mau sama daddy" Anak itu terus saja memaksa daddynya.
"Atau sama aunty Allea"
"Mau sama daddy!" tegasnya.
"Okay-okay" Ben akhirnya keluar dari balik selimut karena Mikayla terus saja menggoyang-goyangkan tubuhnya, pria itu lalu duduk menatap sang putri dalam-dalam. "Kalau Kay mau olah raga sama daddy, berarti nanti siang daddy nggak temani Kay main, tapi kalau Kay pergi sama aunty atau uncle sekarang, nanti siang boleh main sama daddy"
Anak gadis itu terdiam, mengarahkan bola mata ke langit-langit atap kamar.
Mungkin Mikayla tengah berfikir atau menimbang-nimbang pilihan mana yang lebih menguntungkan baginya.
"Gimana sayang?" Ben mengangkat kedua alis dengan seringai menggoda. Dia sangat yakin kalau putri kecilnya pasti akan memilih pergi berolahraga bersama tante atau pamannya.
"Okay daddy! Sekarang juga daddy ganti baju, Kay tunggu di luar" sebelum turun dari ranjang, anak gadis yang beberapa bulan lagi akan menginjak usia ke lima, mengecup pipi kiri Ben penuh sayang.
"Kay tetap mau pergi sama daddy?" Ben menegaskan selagi sang anak belum benar-benar keluar dari kamarnya.
"Yes daddy, I want run with daddy" Sahutnya sambil menyentuh gagang pintu.
"Pikirkan baik-baik, nak. Nanti siang nggak bisa main sama daddy kalau sekarang Kay ajak daddy lari pagi"
"No daddy, keputusan kay sudah final"
Terdengar pintu di tutup sedetik setelah Mikayla mengatakan itu.
Dia memang sudah bulat untuk mengajak daddynya berolahraga di pagi ini, sebab Leo dan Allea sudah menolaknya mentah-mentah, mereka sudah terlalu di buat pusing oleh tingkah keponakannya dari hari senin sampai sabtu.
Mikayla sendiri sudah faham trik Ben bahwa itu hanya alibinya saja untuk menghindarinya. Gadis itu sangat yakin meski sekarang pergi berolah raga dengan sang daddy, di siang hari nanti, dia juga akan bisa bermain dengan daddynya pula.
Sementara Ben yang menatap daun pintu dengan mata setengah terpejam serta rambut terlihat acak-acakan, kini tatapannya beralih pada photo berukuran 75×100cm yang menggantung di dinding.
Sebuah photo pernikahan yang selalu ia tatap saat menjelang tidur.
"Lihat putrimu! Dia sangat nakal, tidak hanya pagi ini Mikayla menggangguku, dia selalu membuatku pusing di setiap paginya"
Ben menatap foto itu dengan tatapan kelam.
"Andai kamu bersama kami, kamu pasti tidak akan pernah membiarkannya menggangguku, kamu pasti akan menghandlenya, bukan?"
"Apa kamu tidak merindukannya? Tidak ingin bertemu dengannya? Asal kamu tahu Sha, putrimu itu sangat manis, sangat lucu dan pintar sepertimu. Kamu pasti akan menyesal jika tidak bisa bermain dengannya seumur hidupmu"
Mendengkus lirih di susul tarikan nafas berat, Ben menyugar rambutnya sebelum kemudian bangkit lalu melangkah menuju kamar mandi.
Hanya butuh waktu limabelas menit untuk dia melakukan aktivitasnya di dalam sana, ia pun keluar dengan kondisi wajah yang sudah lebih segar dari sebelumnya.
Mengenakan pakaian khas olah raga lengkap dengan sepatu sport, ia berulang kali menggerutu seakan-akan tengah mengomel.
"Anak gadismu, Sha ... Benar-benar pembuat onar. Kamu pasti juga akan pusing di buatnya" Ia mengabaikan teriakan Mikayla yang terus memanggilnya 'daddy'.
"Aku kira kamu sangat pendiam, tapi tidak! Kamu sangat cerewet, disiplin, dan sangat jeli. Sama seperti anak itu. Kamu benar-benar sempurna menutupi sifatmu dengan pakaian anggunmu, pakaian yang tidak pernah memperlihatkan seperti apa lekuk tubuhmu di hadapan orang lain. Pakaian yang membuat orang lain berfikir bahwa kamu adalah wanita aneh yang tidak tahu apapun. Cerewetmu, buasmu, dan keras kepalamu tersimpan begitu rapi di balik gaunmu" Ben menggeleng-gelengkan kepala seraya mengikat tali sepatu.
Dia mendesah, lalu mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Diam tapi menghanyutkan"
"Daddy!"
"Yes!"
Dan satu hal yang membuat Ben kian gugup.
Teriakan Mikayla yang terus mendengung di telinganya.
"Daddy!!!! Faiti, emkoi!" Suaranya cemreng, membuat Ben mendengkus kasar. "Emkoi-emkoi" imbuhnya yang terdengar menggemaskan.
"Hai my cute baby. Sabar, okay! Anak sabar di sayang_"
"Di sayang mommy" Sambar Mikayla memenggal cepat kalimatnya yang belum tuntas.
Sekian detik kemudian, pria itu akhirnya melangkahkan kaki ke arah pintu.
Dia yang baru saja membuka pintu kamar, langsung di sambut oleh Mikayla yang tahu-tahu berdiri di hadapannya dengan kepala terdongak.
"Zhunbei haole, daddy?" tanyanya polos dengan senyum penuh kemenangan.
"Hai, siuce"
"Okay, lets go!" Mikayla menggandeng tangan Ben, lalu berpamitan pada neneknya.
"Bye genma"
"Bye" Wanita berusia lima puluh sembilan tahun itu tersenyum simpul melirik sang cucu sambil mengoleskan selai kacang di roti tawarnya.
****
Siang harinya, matahari masih betah bersembunyi di balik awan. Shanum yang baru saja keluar dari area bandara internasional Hongkong menatap sebuah poster pesawat bertuliskan Cathay pacific, pesawat yang membawanya sampai di negri yang saat ini sedang berada di musim gugur.
Cuaca sejuk dan angin sepoi seakan mengingatkan dia pada sesuatu yang sepertinya pernah ia rasakan. Tapi mustahil, karena ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di bumi dengan perekonomian maju.
Huuhh...
Ia melepesakan hembusan nafas pelan.
Kenapa aku merasa pernah ke tempat ini sebelumnya? Cuacanya begitu menenangkan dan membuatku seperti mengulang masa-masa indah.
Masa indah? Apa? Wanita itu tersenyum dalam hati.
Aku saja baru kali ini datang kemari.
"Nona Shanum, taxi sudah datang" Suara Nonik mendadak membuat lamunannya berantakan. Ia lekas mamusatkan atensinya pada sang asisten kemudian beralih ke mobil berwarna merah yang entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sudah berada di depannya.
"Kopernya, Nik" tanya Shanum ketika tak mendapati kopernya.
"Sudah di masukkan bagasi sama sopir taxinya, non"
"Oh" Naik ke dalam taxi, kemudian memasang sabuk pengaman.
Ia memberitahukan tujuan mereka pada sopir taxi.
"Tsim Tsa Tsui, Mr" Shanum menyerahkan kartu alamat apartemen ke sopir taxi.
"Okay, siuce!"
Taxipun melaju dengan kecepatan stabil menuju tempat tujuan.
Shanum dan Nonik memilih diam dengan pandangan masing-masing menoleh ke kaca mobil di sampingnya untuk menikmati view kota Hongkong yang tampak begitu megah dengan bangunan beton yang luar biasa indah.
Bersambung...
Akan ada bahasa cantonese atau bahasa yang umum di gunakan oleh masyarakat Hongkong yang aku selipin.
Jika ada tempat atau nama yang sama, mohon maaf, ini hanya novel fiksi yang jauh dari kata nyata. Tapi sebisa mungkin saya akan buat cerita ini sesuai dengan latar belakang dan setting tempat.
Up ceritanya tergantung respon pembaca ya, kalau mau kasih rating bintang dua atau tiga, aku saranin lebih baik nggak usah kasih rate, soalnya justru akan membuat cerita ini perfomanya turun.
Nggak perlu kasih vote atau hadiah, yang penting ikutin terus ceritanya, dan beri reaksi atau tanggapan yang positif. Bisa like & komen (Komentar yang membangun atau bisa disisipi sebuah nasehat, atau mungkin komentar lucu biar aku juga terhibur setelah koleng menghalu) 😀😀
Big love..😚😚
Note :
Faiti : Cepat sedikit.
Emkoi : Bisa permisi, bisa Please. Tergantung kalimatnya.
Zhunbei haole : Apakah sudah siap?
Hai, siuce : Ya, Nona
Hai : Iya
Siuce : Nona.
Tsim Tsa Tsui : Nama kota di Hongkong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
MeTha Pratiwi
hadir semoga up y sering jd g gantung baru bab 1 sudah menarik
2022-11-30
1
Arsia
lanjut
2022-11-27
0
Paula Abdul
Masih nyimak thor, cemungutz 😘😘💪💪
2022-11-26
0