Hestia membuka matanya di kamar hotel setelah itu. Lebam-lebam di tubuhnya mulai terasa sakit luar biasa hingga ia meringis.
Karena sudah terbiasa, Hestia mengabaikan sakitnya dan memaksakan diri bangun. Ia berniat mengambil air di nakas ketika menemukan secarik kartu nama berikut note di atasnya.
Aku harus kembali lebih dulu.
Hubungi aku.
Pria baperan.
Hestia mengabaikan note itu, minum sambil bercermin untuk melihat lebih jelas.
Sudah pasti kemarin Eros melihat semua ini. Dia tidak banyak tanya, sesuai kabarnya, dia irit bicara dan tidak pedulian.
Meski cukup mudah dirayu sampai meninggalkan kartu nama.
Keheningan hotel itu menemani Hestia duduk termenung. Mengingat saat-saat pertama kali ia mendapat pukulan dari Darius karena kesalahannya semasa berada di sekolah.
"Papa, aku akan jadi juara satu di kelas dan membuat Papa bangga!"
Darius tersenyum mendengar hal itu. "Kamu berjanji?"
"Janji."
Dan ketika Hestia tak sengaja memberikan gelar juara satu pada rivalnya di kelas, senyum Darius berubah dingin.
"Kamu berjanji. Anak saya harus nomor satu. Kamu anak sulung. Adik-adikmu mencontoh kamu. Tidak boleh gagal. Kamu mengerti?"
Hestia dipaksa mengerti oleh kekerasannya.
"Tapi dia belum menelepon," gumam Hestia saat sadar belum ada panggilan sesi kedua 'Papa Sangat Marah'. "Mungkin dia mati?"
Hestia terkekeh dengan suaranya sendiri.
Lantas teralihkan oleh suara ponsel yang membuatnya seketika berpikir baru juga bersyukur.
Ternyata bukan Darius. Itu dari ajudannya yang mengurus pekerjaan Hestia jika ia tak turun tangan langsung.
"Ada apa?"
"Bukan hal penting, kalau kamu ingin istirahat. Seseorang dari Delhi datang mencarimu. Dia ingin membeli barang kita dan kurasa cukup banyak."
Barang yang dimaksud Wija adalah litium. Benda itu memang cukup banyak diminati oleh pembeli-pembeli asing dan kerap meminta hingga jumlah ton padahal stok milik mereka masih terbilang sedikit.
Bahkan Hestia hanya sering menjual kiloan untuk menghindari risiko kehabisan barang.
"Baiklah. Lakukan negosiasi awal dan jangan beri di atas jumlah dua puluh kilo. Aku akan bersiap sekarang."
Sepertinya sesi 'dimarahi Papa' kali ini harus batal.
Uang nomor satu, kekerasan nomor dua. Itu adakah prinsip Darius.
Hestia mandi dan bermaksud langsung pergi. Namun matanya sempat tersita oleh pemandangan kartu nama yang ditinggalkan Eros. Daripada bingung, ia mengambil benda itu dan berangkat untuk mencari uang demi Papa.
Itu adalah nasibnya.
*
Selama satu bulan belakangan, Hestia nyaris tak punya waktu pulang atau bersenang-senang. Ia bolak-balik ke luar negeri hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja.
Selama ia bekerja, Papa tidak akan marah padanya. Selama ia melakukan sesuatu yang menguntungkan keluarga, Papa tidak akan protes pada tindakannya.
Baru hari ini Hestia bisa duduk santai bersama Wija. Duduk di halaman rumah pria itu, bertemankan piano yang diletakkan di bawah teduhnya pohon sambil ia memainkan melodi lembut.
"Hei, aku memikirkan ini sekarang. Bukankah kamu jadi agak jelek, Nona Muda?"
Hestia langsung mendesis. "Apa maksudmu?"
"Hm? Entahlah. Kamu bercermin tadi? Kamu terlihat sangat jelek dan buruk rupa."
"Baj*ngan." Tapi Hestia buru-buru menyalakan fitur kamera ponselnya untuk memastikan apakah benar itu.
Yang sialan, itu benar.
"Aku hanya kelelahan."
"Hm? Benarkah? Baguslah kalau begitu." Lalu Wija bersandar pada piano dan Hestia kembali memainkannya. "Bicara soal itu, kamu tidak menemui Eros lagi?"
"Apa perlu?"
"Kudengar dia beberapa kali menanyakanmu pada Iris."
"Aku tidak tertarik. Aku melepas keperawananku padanya karena kupikir dia akan membuat ayahku marah, tapi aku keburu meredam marahnya dengan penjualan litium hari itu."
"Otakmu memang gila. Benci namun menikmati."
"Aku memang sudah gila sejak jadi anak Darius."
Hestia mengisi keheningan selanjutnya dengan nyanyian. Satu-satunya hal yang bisa ia jadikan hiburan diluar pekerjaan hanya musik.
Meski ayahnya menghalangi keinginan Hestia pada musik karena menganggap itu tidak semenguntungkan jadi pebisnis.
Di tengah kenyamanan akan melodinya sendiri, tiba-tiba Hestia menoleh. Rasa mual tiba-tiba datang dan memintanya untuk muntah.
"Hestia."
"Hah?"
"Kamu hamil?"
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Warijah Warijah
Wah ternyata Hestia pembisnis hebat ya...tp kenapa ayahnya egois begituya..
2023-09-20
1
Liliana_Lily
litium itu apa
2023-01-19
0
Nina Nina
sampai di sini bacanya tp saya blm mengerti alurnya,,,,
2022-12-16
1