"Ini, obat yang biasanya."
"Terimakasih paman."
Setelah keluar dari apotik, Aldrich menatap tajam kearah bangunan yang baru ia masuki itu.
Lagi-lagi menaikkan harga? Kalau saja ada apotik lain yang menjual obat ini lebih murah, meskipun jauh aku rela jalan kaki untuk membelinya. Sayangnya tidak ada.
Aldrich menghembuskan nafas malas.
Dengan langkah kecilnya, Aldrich berjalan melewati banyaknya bangunan liar yang berada dibantaran sungai dengan air yang cukup keruh.
Inilah dunia tempat Aldrich tinggal. Tidak ada kata bersih dan rapi. Yang berada disekelilingnya adalah orang-orang dengan nasib yang sama sepertinya. Pengamen jalanan, preman, dan pencopet adalah tetangganya.
Meskipun hidup di tempat yang tergolong tidak layak, sedari kecil Aldrich sudah merasa ada yang berbeda darinya. Saat teman-teman sebayanya belum bisa membaca dan fokus bermain air di sungai coklat, Aldrich lebih memilih membaca koran bekas yang membahas permasalahan ekonomi dan kerjasama antar negara. Ia hanya diajari satu kali oleh sang ibu tentang abjad, dan entah kenapa Aldrich langsung mengingatnya.
"Aku pulang." Rumah dengan kayu dan kardus yang asal ditempel itu, adalah rumah Aldrich.
Saat masuk di dalam, Aldrich melihat sang ibu yang sedang duduk termenung sembari menatap keluar jendela.
"Ibu sudah makan belum? Kalau sudah bisa langsung minum obat. Aku baru saja membelinya." Aldrich mengeluarkan obat dari kantung plastik yang dibawanya tadi.
"Berapa harganya?" Tanya ibu Aldrich dengan nada dingin.
"Harganya naik lagi dari terakhir kali aku membelinya. Mungkin karena efek kurs mata uang negara kita sempat turun. Menurut koran yang kubaca, negara tetangga mulai membagun deligasi-"
"DIAM!!!"
Klotak!
Sang ibu tiba-tiba melemparkan gelas plastik didekatnya kearah Aldrich. Ekspresinya sangat murka sekarang.
"Kau itu anak usia 10 tahun! Berbicaralah layaknya anak usia 10 tahun! Dengar ya bocah, jangan bicara sesuatu yang rumit seperti itu, apalagi didepan orang asing. Jika aku dengar lagi, akan kujahit mulutmu!"
"Maaf ibu." Aldrich menundukkan kepalanya dengan perasaan bersalah. Kenapa ia selalu begini? Padahal sang ibu sudah mewanti-wantinya untuk tidak menunjukkan sisi pintarnya, tapi ia selalu keceplosan.
"Dasar tidak berguna!" Setelah kembali membentak, tiba-tiba sang ibu memegang dadanya.
Uhuk! Uhuk!
Selesai batuk, terlihat darah segar keluar dari mulut sang ibu. Aldrich langsung terlihat panik.
"Ibu ayo cepat minum obatnya. Tunggu sebentar, akan kuambilkan minum."
Dengan buru-buru Aldrich membuka obat dan mengambil air, lalu membantu ibunya minum.
Sejak Aldrich kecil, ia sudah melihat ibunya sakit-sakitan. Sering batuk darah dan terkadang sampai pingsan. Meskipun Aldrich sudah menabung, sang ibu tetap tidak mau diajak pergi ke dokter. Dan entah kenapa, saat berurusan dengan orang-orang sejenis dokter dan polisi, ibunya selalu terlihat ketakutan.
Setelah minum obat, wanita dengan rambut hitam panjangnya itu kembali melihat kearah jendela, menatap langit yang membentang luas disana.
"Katanya, saat kita melihat langit yang sama, dia akan mencariku.
Aldrich menatap ibunya yang lagi-lagi bicara sendiri dengan aneh. Dari dulu ibunya memang sering seperti itu.
"Kau sudah makan?" Tiba-tiba sang ibu melirik Aldrich.
"Belum." Aldrich menggeleng.
"Hasil jualannya bagaimana? Kenapa baru jam segini sudah pulang?"
"Hehe tadi ada yang memborong daganganku bu. Seorang nona muda yang cantik. Mengendarai mobil BMW 8i, berwarna merah. Dari perawakannya mirip pekerja kantoran."
Ups! Aldrich segera menutup mulutnya. Lagi-lagi ia bicara sok pintar. Ibunya pasti akan marah lagi.
"BMW 8i?! Mobil semahal itu... Pasti bukan milik pekerja biasa, pasti Ceo!" Tiba-tiba sikap ketakutan itu kembali. Ibu Aldrich mencengkram kedua bahu anaknya dengan kuat. "Aldrich, jangan dekati mereka. Jangan dekati Ceo! Ingat perkataan ibu."
"Iya ibu. I-ini sakit." Aldrich melirik tangan sang ibu yang masih mencengkram bahunya.
"Jangan dekati Ceo, jangan dekati Ceo." Wanita yang masih terlihat cantik itu tiba-tiba mencengkram kepalanya dan menarik rambutnya dengan kuat. Seolah-olah itu bisa meredakan rasa ketakutannya.
"Ibu ada apa?"
"Anakku... Jangan ambil anakku." Tiba-tiba sang ibu menangis, membuat Aldrich kebingungan.
"Ibu, Aldrich disini."
"Aldrich anakku!" Sang ibu langsung memeluk Aldrich dan kembali menangis.
Uhuk! Uhuk!
Ibu Aldrich kembali batuk dengan hebat. Kali ini batuk yang terdengar berbeda. Suaranya lebih serak dan berat dari biasanya.
"Ibu?"
Uhuk! Uhuk!
"Astaga darahnya kenapa banyak sekali?!" Aldrich mulai panik saat melihat tangan ibunya yang dipakai menutupi mulut saat batuk, penuh dengan darah.
"Sial! Waktuku sudah habis." Ibu Aldrich tersenyum tipis kemudian menatap Aldrich. "Anakku. Dengarkan perkataan terakhir ibu."
"Terakhir? Tidak! Tidak ada kata terakhir!" Aldrich mulai meneteskan air mata. Selama ibunya sakit, belum pernah ia mendengar perkataan ini.
"Dengarkan saja!" Bentak sang ibu, dan Aldrich hanya bisa mengangguk sambil menangis. "Ayahmu..."
Uhuk! Uhuk!
Aldrich terkejut, selama ini sang ibu tidak pernah membahas sesuatu tentang ayahnya. Jika Aldrich bertanya, ia akan dimarahi habis-habisan. Ibunya hanya pernah sekali saat sedang marah, secara misterius menyebut seseorang. "Kau mirip seperti ayahmu! Sangat menyebalkan!" Aldrich yang sepanjang hidupnya belum pernah bertemu dengan sang ayah, sangat senang saat dibentak ibunya seperti itu. Karena ia jadi tahu seperti apa ayah yang dirindukannya.
Tapi sekarang, kenapa tiba-tiba membahas ayahnya? Benarkah ini yang terakhir?
"Ayahmu adalah seorang Ceo dari keluarga yang sangat berpengaruh di negara ini. Sangat sangat berpengaruh hingga membuatku, Yunna Alisya, lulusan terbaik dari Universitas ternama di Inggris menjadi seperti gelandangan."
Aldrich terkejut mendengarnya. Ternyata ayahnya adalah seorang Ceo, dan selama ini ibunya adalah orang yang sangat pintar.
"Aldrich, meskipun ibu melarangmu mendekati Ceo manapun, tapi mungkin takdir akan berkata lain. Dan saat takdir itu membawamu pada ayahmu, sampaikan permintaan maaf ibu. Sudah 10 tahun lamanya, mungkin sekarang ayahmu sedang mencarimu. Temuilah dia, lalu perlihatkan tanda lahir di bahu kananmu. Dia akan segera mengenalimu."
"Tidak! Aku mau bersama ibu saja." Aldrich sudah menangis sejadi-jadinya. Melihat ibunya yang seperti menunggu ajal, membuatnya tidak kuasa menahan tangis.
"Maaf waktu ibu sudah tidak lama lagi. Racun ini, sudah tidak bisa kutahan."
Racun?
"Nenek... Maafkan aku." Sang ibu kembali melihat langit dengan wajah sayu.
"Maaf... Aldrich."
Bruk!
Tubuh sang ibu jatuh.
"Ibu! Ibu!" Aldrich mulai menggoncangkan tubuh ibunya dengan perasaan campur aduk. Bingung, sedih, takut. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan ibunya sekarang.
"Ibu! Ibu jawab aku! Ibu!" Aldrich dengan panik mencoba membuat ibunya sadar.
Saat semua cara yang Aldrich gunakan gagal, dengan takut ia mencoba mendekatkan jari kecilnya ke hidung sang ibu.
Tidak ada lagi hembusan nafas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Metana
mau sekarat aja masih bisa ngebentak/Sweat/ tenaga terakhir yah bu.
ya Allah maafkan hambamu ini
2025-02-05
1
Metana
sini aku angkat jadi anakku/Sob/
2025-02-05
1
Metana
/Speechless/
2025-02-05
1