Matt Hamilton adalah calon pewaris dari Hamilton group. Menurut kabar yang pernah Emma dengar, Hamilton group belum memilih calon pewaris yang sah, dengan alasan yang misterius. Entah apa yang terjadi dengan keluarga terkaya di negara ini. Hidup mereka sangat rumit.
Matt Hamilton sudah berusia 31 tahun sekarang, tapi Matt belum menikah. Sifatnya yang dingin, membuat para wanita enggan untuk mendekatinya, dan beberapa dari mereka menyerah sebelum mencoba. Sungguh sangat disayangkan, mengingat Matt adalah laki-laki yang sangat tampan.
Emma yang baru saja tiba di kantornya, buru-buru diarahkan oleh salah satu pegawainya menuju ke ruang tempat Matt Hamilton menunggu. Emma tidak tahu kenapa Matt ingin mencarinya.
Saat sampai diruangan yang dimaksud, seorang laki-laki duduk dengan angkuhnya. Kakinya menyilang dan tangannya menyangga pipi tirus yang memiliki ekspresi tegas. Dialah Matt Hamilton.
"Selamat siang tuan Matt. Ada apa mencari-"
"Lama." Sela Matt sebelum Emma mengatakan sapaan basa-basinya.
Apa-apaan dengan sikap orang ini? Meskipun dia kaya raya, tapi posisi kita sama-sama Ceo. Kenapa bersikap begitu arogan?
"Tuan Matt mencari saya? Ada apa?" Emma duduk di sofa dekat Matt.
"Hanya ingin meminta bantuan." Ucap Matt dengan acuh tak acuh.
Meminta bantuan? Bukankah seharusnya dia berkata dengan lembut sambil memohon? Jangan mentang-mentang anak orang kaya jadi bisa bersikap sesukanya.
"Bantuan? Apa itu?" Emma pura-pura tersenyum sambil menahan emosinya.
"Aku ingin mencari seorang anak. Umurnya kisaran 10 sampai 11 tahun. Dia memiliki tanda lahir di bahu kanannya." Matt mengganti posisi kakinya, meletakkannya diatas meja kaca didepan Emma dengan sepatu kotornya. "Aku sudah mengatakan ini di banyak perusahaan lain, karena anak ini sangat penting. Kalau kau melihatnya, segera-"
"Turunkan kakimu." Emma berdiri dari tempatnya duduk.
"Hah? Kau bilang apa?" Matt memiringkan kepalanya dengan sombong.
"Aku bilang, turunkan kakimu dasar tidak sopan!"
"Kau menggunakan nada tinggi padaku?"
"Memangnya kenapa? Ini perusahaanku, aku Ceo nya. Bahkan aku bisa mengusirmu dari sini." Balas Emma.
"Aku ini dari keluarga Hamilton." Matt ikut bangun dari kursinya.
"Lalu?"
"Aku bisa membeli perusahaanmu ini."
"Coba saja! Pergi! " Emma melempar bantal sofa di dekatnya kearah Matt.
"Kau ingin melawanku?" Matt ikut melempar bantal sofa pada Emma.
"Rasakan ini!" Emma tidak mau kalah.
"Kau yang rasakan!" Matt terus membalas.
Tiba-tiba seorang pegawai datang. "Silahkan minumnya-"
Bugh!
Pegawai itu terkena serangan bantal yang salah alamat. Alhasil minuman yang ia bawa tumpah di nampan.
"Ah! Nina, maaf." Ucap Emma sambil mendekati pegawainya yang malang.
"Tidak apa-apa nona. Ini hanya baju yang baru saja kubeli kemarin dengan harga setengah gajiku. Sumpah, tidak apa-apa kok." Nina menahan air matanya.
Itu berarti ada apa-apanya!
"Baiklah akan kuganti ya." Emma mengelus kepala Nina.
"Itulah akibat dari sifat kekanakanmu." Matt membenahi posisi jasnya sambil menyembunyikan bantal sofa yang hendak ia lemparkan kearah Emma tadi.
"Kau juga kekanakan!"
Matt hanya membuang mukanya. Sebenarnya tadi ia merasa cukup seru melakukan perang bantal.
"Tuan Matt, kita harus pergi lagi. Masih ada tiga perusahaan yang harus kita datangi, lalu anda memiliki jadwal rapat dengan pemegang saham." Seorang laki-laki dengan kacamata persegi panjangnya, menatap kearah Matt.
"Jangan ingatkan aku lagi, Ryker." Matt berjalan mendekati Emma untuk keluar. "Ingat pesanku." Ucapnya pada Emma.
Dih, seorang Ceo tiba-tiba mencari anak? Apakah itu hasil hubungan gelap? Ck ck ck sangat tidak etis.
"Iya iya aku tahu." Jawab Emma dengan ogah-ogahan.
Sungguh perempuan yang menyebalkan, Matt diam-diam tersenyum.
"Ayo Ryker, kita pergi."
Matt dan orang laki-laki cerewet tadi akhirnya pergi.
Emma langsung menendang udara dengan membayangkan sosok Matt.
"Dasar sombong! Kepala duri! Kemari lagi, akan kutendang wajah arogannya itu!" Umpat Emma.
"Serius?" Nina menatap Emma tidak percaya.
"Tentu saja tidak, hehe." Emma menggaruk tengkuknya sambil tersenyum.
Nina hanya menghela nafas. Bossnya ini memang suka besar mulut, tapi sebenarnya dia orang yang sopan dan lemah lembut.
"Kenapa nona begitu galak pada tuan Matt? Bukankah dulu kalian satu sekolah saat SMA? Kalian bertemu lagi setelah sekian lama, tapi tidak ada salam haru atau yang lainnya."
"Dia hanya kakak kelasku, dan kita tidak pernah bicara satu sama lain. Untuk apa salam haru?" Emma mengambil salah satu gelas di nampan Nina. "Lumayan masih ada sedikit, kuminum ya."
"Oh iya nona. Tadi tuan Nolan datang, dan berkata ingin mencabut sahamnya."
Uhuk! Uhuk!
Emma yang sedang minum langsung batuk karena terkejut.
"Ini pasti gara-gara masalah itu." Emma mengambil ponselnya dari dalam tas dengan tergesa-gesa, lalu menelpon salah satu asistennya.
[Wayne, kau dimana? Ada hal yang sangat penting, kenapa kau tidak berada disini?] Tanya Emma dengan panik.
[Nona, anda meninggalkan saya di pom bensin.] Suara seorang laki-laki yang terdengar sangat kesal keluar.
[Benar juga, tadi aku pergi bersamamu. Hahaha maaf ya, aku sedang banyak pikiran. Jadi lupa haha.] Emma kembali menggaruk tengkuknya.
[Saya sudah hampir sampai di kantor. Ini sedang naik taksi.]
[Baiklah.] Emma menutup panggilan dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Uang ganti rugi?" Nina menengadahkan tangannya kearah Emma.
"Ya ampun, tidak sabaran sama sekali. Ini!" Emma menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu pada Nina.
"Terimakasih." Nina mengipas-ngipasi dirinya dengan uang sambil berjalan menjauh.
Nina sangat suka bekerja disini, karena Emma. Bossnya itu sangat baik hati, bahkan dengan pegawai rendahan seperti dirinya. Tidak ada lagi Ceo seperti Emma.
Tidak berselang lama, sosok Wayne terlihat. Laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matangnya itu, berlari memasuki gedung setelah membayar taksi.
"Nona!" Wayne mengejar Emma yang sedang berjalan menuju lift.
"Oh Wayne. Maafkan aku soal tadi." Emma menyatukan telapak tangannya sambil tersenyum.
"Tidak masalah, itu hanya pom bensin. Masih lebih parah yang dulu, anda meninggalkan saya di luar negeri." Wayne ingat betul bagaimana sialnya ia saat itu. Apalagi uang yang ia bawa saat itu tidak cukup untuk naik pesawat, dan ter-sialnya lagi kartu kreditnya tertinggal di rumah. Alhasil ia menelpon temannya untuk meminjam uang, dan menggantinya saat sampai rumah.
"Hahaha jangan dibahas lagi. Aku hanya lupa."
Wayne mengangguk. Ia paham, meskipun Emma sangat pintar, tapi dia tidak peka pada sekitar. Jika ada lomba Ceo paling aneh, Emma akan menduduki peringkat teratas.
"Jadi ada apa? Kenapa anda panik saat di telepon?" Tanya Wayne sambil mengikuti Emma masuk ke dalam lift.
"Aku ingin mengadakan rapat untuk memecahkan masalah kita. Agar tidak ada pemegang saham yang ingin pergi."
"Tapi masalah kita cukup rumit." Wayne terlihat khawatir.
"Percaya atau tidak, aku sudah menemukan solusinya." Emma tersenyum dengan bangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Metana
gpp yah gpp nanti nabung lagi, /Joyful/
2025-02-05
1
Kang Yumire
wkwkw parah bgt 😭
2023-08-10
2
SionSiona
kasihan woi!
2023-04-05
1