" Adiba? Kamu disini?.." Wanita itu tersenyum tanpa dosa.
Adiba berdecak sinis, menyadari pandainya Farah dalam berakting. Ia tak menyangka wanita itu bekerja dikantor yang sama dengan suaminya. Kini dia mengerti kenapa Haki bisa kembali pada masa lalunya.
" Sepertinya kamu lebih cocok menjadi aktris daripada pekerja kantoran." Ucapnya membuat Farah nampak terkejut, namun detik berikutnya menyeringai lebar.
" Kamu sudah tau rupanya, baguslah jadi aku gak perlu lagi berpura-pura. Yah, sepertinya sekarang aku harus membuatmu sadar diri, kenapa Haki menikahiku."
Farah tersenyum mengejek, namun hanya dibalas Adiba dengan tatapan jengah. Ia tak lagi akan menangis, sudah cukup semalam dia membuang-buang waktu dan air matanya hanya untuk dua orang tak punya hati nurani itu.
" Hem, aku selalu sadar. Karena dari dulu memberi tahu lalat jika bunga lebih wangi dari pada sampah adalah hal yang sulit."
" Maksud kamu apa? Ha!."
Pintu lift terbuka, Adiba keluar tanpa memperdulikan Farah yang berteriak memanggilnya. Rupanya wanita itu tak menyerah, Farah mengejarnya dengan tergesa.
" Berhenti!." Farah menarik tangan Adiba dengan kasar. Membuat wanita itu terpaksa berhenti.
Teriakan itu membuat mereka menjadi pusat perhatian para karyawan yang ada disana. Adiba tersenyum puas melihat Farah tersulut emosi.
" Apa maksud perkataan kamu tadi? Kamu ngatain aku sampah?."
Adiba menatap sekeliling, dimana beberapa karyawan tengah menjadikan mereka tontonan gratis. Ia mendekat kearah Farah, lantas berbisik pelan.
" Kamu baru saja mengakuinya."
Ia berbalik dan pergi dengan puas, rupanya membuat seorang pelakor tak berkutik adalah hal yang menyenangkan.
Tepat saat ia selesai menapaki beberapa anak tangga dibangunan kantor, seorang pria yang amat dikenalnya datang dengan beberapa pria lain. Adiba acuh, memilih tak menghiraukan keberadaan Haki yang tengah menatapnya dengan heran.
Baru saat sampai digerbang kantor, ia menyadari jika dirinya tak membawa motor. Namun ia dibuat terkejut saat seorang satpam membawakan kendaraan roda dua yang amat dikenalnya kearahnya.
" Pak ini?."
" Mba-nya namanya Adiba bukan?."
" I-iya Pak."
" Nah berarti ini motornya Mba, silahkan." Satpam itu menyerahkan kunci motor padanya.
" Kenapa motor saya bisa ada dibapak?."
" Saya kurang tau Mba, pokoknya tadi ada orang yang bawa motor ini kesaya suruh dijagain dan pemiliknya namanya Mba Adiba."
Adiba berpikir sejenak, mungkinkah Sakha menyuruh orang untuk mengambil motornya. Ia tersenyum lega, rupanya pria itu masih memiliki hati nurani.
Adiba memilih tak ambil pusing, dia menaiki motornya dan pergi dari sana. Dia berniat menuju TK untuk mengajukan pengunduran diri. Ia yakin tak akan sulit karena cukup banyak pengajar disana.
Tiba-tiba dia teringat dengan Nia, anak murid yang begitu pendiam dan hanya dekat dengannya. Rasa tak rela berpisah dengan anak itu kemudian muncul, namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Karena dia tak mungkin mengajar TK sekaligus bekerja diperusahaan.
Butuh beberapa menit sampai dia tiba ditempat tujuan. Jam pelajaran tengah berlangsung, dia langsung menuju ruang kepala sekolah untuk mengajukan pengunduran diri.
" Kamu yakin mau ngundurin diri?." Bu Endang, kepala sekolah TK itu tampak enggan melepasnya.
" Iya Bu, mohon maaf."
" Padahal kamu ini bagi saya guru terbaik disini loh Adiba. Anak-anak lebih ceria kalau kamu yang ngajar."
" Saya mengerti Bu, tapi sekali lagi mohon maaf."
" Baiklah, saya akan mengurus surat pengunduran diri kamu sekarang."
" Terima kasih Bu, kalau begitu saya akan berpamitan dengan anak-anak."
" Iya."
Adiba masuk disela jam pelajaran yang tengah dilakukan oleh rekannya. Dia meminta waktu sejenak, lantas mulai mengatakan maksudnya.
" Bu Guru..." Nia berlari mendekat dan memeluknya erat setelah ia selesai bicara, disusul anak muridnya yang lain.
Adiba menjelaskan secara sederhana pada anak-anak yang ia didik itu, kemudian meminta mereka kembali ketempat duduknya. Hanya Nia yang masih mendekapnya erat, membuat Adiba semakin terasa berat untuk pergi. Sayangnya, dia sama sekali tak memiliki pilihan.
Ia izin mengajak Nia keluar sebentar pada rekannya, menuntun anak itu duduk dibangku panjang didepan kelas.
" Kenapa Bu Guru pergi? Nia gak mau Bu Guru pergi..." Bocah itu mulai menangis, membuat Adiba merasa terenyuh.
Ia mengusap kepala bocah itu pelan, lantas memeluknya dengan erat.
" Maaf ya sayang, tapi Bu Guru memang harus pergi. Nia gak boleh nangis, kan masih ada Bu Guru Anggi dan Bu Guru lainnya?."
Yah, ada cukup pengajar disana, hingga Adiba bisa langsung berhenti setelah mengajukan resign.
" Tapi Nia maunya Bu Guru Adiba, bukan yang lain."
" Bu Guru cuman pergi dari sekolah ini sayang, bukan pergi dari Nia. Bu Guru akan sering kerumah Nia. Oke?." Ucapnya.
Dia memang sudah tau dimana rumah anak itu, pasalnya dia sering datang kesana sebagai perwakilan kelas jika Nia tidak masuk.
" Janji?." Nia menunjukkan jari kelingkingnya.
Adiba tersenyum, lantas kembali memeluk anak itu.
" Akan Ibu usahakan." Dia sadar, jika menepati janji adalah keharusan. Sedangkan memikirkan permasalah rumah tangganya bisa saja membuatnya melupakan janjinya pada Nia. Jadi dia berkata sejujurnya, untuk mengusahakan.
Untungnya, bocah itu tak menuntut, Adiba bisa sedikit merasa lega sekarang.
Kini Adiba tengah menuju pengadilan untuk mengajukan gugatan cerai setelah sebelumnya pulang menyiapkan berkas dan dokumen yang diperlukan.
Yah, dia sudah memutuskan hal ini. Menjadi janda dan merawat anaknya jauh lebih baik daripada membuat anaknya hidup dalam keluarga toxik dan memiliki dua ibu. Setidaknya dia tak perlu tersiksa setiap hari melihat Haki dan Farah.
Bukanlah hal yang mudah melakukannya, mengingat berapa lama dirinya dan Haki saling mengenal. Terutama perasaannya untuk pria itu yang telah lama bersemayam. Namun nyatanya, cinta yang ia berikan pada Haki tak cukup membuat pria itu bertahan padanya, pada pria yang masih mencintai cinta pertamanya.
Setelah selesai dipengadilan, Adiba memilih mengunjungi makam ibunya. Sudah lama dia tidak kesana, jadi hari ini dia ingin kesana.
Didekatinya nisan dengan nama Nirmala Sari, Adiba menabur bunga yang dibelinya pada pedagang diluar pemakaman. Ia berdoa sejenak, kemudian mengeluarkan unek-uneknya.
" Bu, sebentar lagi Diba akan menjadi janda. Ibu mungkin sudah tau, jika Mas Haki melakukan hal yang sama dengan ayah, sebuah pengkhianatan. Diba memilih mundur Bu, Diba tak mau diduakan dan bertahan dalam pernikahan yang hanya akan membawa luka." Adiba menatap nisan itu penuh kesedihan, teringat bagaimana ibunya menggantung diri adalah hal yang selalu ingin ia lupakan.
Wanita itu terisak, tak lagi dapat menahan kesedihan yang berusaha ia hilangkan. Nasib yang dahulu ibunya rasakan, kini tengah ia rasakan. Bedanya, ia masih berpikir waras, mengedepankan logika dan akal sehat.
Entah berapa lama dia menangis hingga sadar dimana dirinya berada. Adiba bangkit dari duduk jongkoknya, dan menyadari seseorang tengah memperhatikannya. Sorot mata tajam itu membuat Adiba merasa tak nyaman.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Red Velvet
siapa lagi tuh yg menatap dgn sorot mata yg tajam.
2023-02-11
0