Seperti yang sudah direncanakan, Haki akan mengantar Adiba memeriksakan kandungannya, kini keduanya tengah berada dalam perjalanan menuju rumah sakit.
" Aku gak sabar pengin tahu berapa umur anak kita." Adiba bertanya dengan antusias, memeluk perutnya sendiri.
" Iya." Hanya itu yang Haki katakan. Tepatnya karena dia tak tahu harus mengatakan apa.
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai disalah satu rumah sakit swasta. Adiba duduk dikursi yang berada dilobi rumah sakit, sementara Haki menghampiri resepsionis untuk mendaftar.
Setelah beberapa menit menunggu, tiba giliran keduanya untuk masuk keruang dokter obgyn itu.
" Selamat pagi." Sapa seorang dokter wanita dengan ramah. Menyambut pasangan suami istri yang kemudian duduk dikursi yang berhadapan dengannya.
" Pagi Dok." Balas Adiba dan Haki bersamaan. Keduanya tersenyum ramah.
" Ada keluhan apa Bu?."
" Ini Dok, saya mau tau kondisi anak saya. Eum... Sebenarnya saya baru tes kehamilan dengan tespack, jadi ingin memastikannya."
" Baiklah, kalau begitu mari ibu berbaring disini."
Adiba menuruti petunjuk dokter, berbaring dibrangkar itu. Dokter kemudian menutup tirai penghalang.
" Oh maaf, Bapaknya bisa ikut lihat." Ucapnya melihat Haki masih diam ditempat duduknya.
Haki lantas beranjak, berdiri dibelakang dokter yang memeriksa istrinya.
" Permisi ya Bu..." Dokter itu membuka pakaian Adiba, lantas meletakan gel yang terasa dingin diperutnya. Lantas menggeseknya dengan transducer yang tersambung dengan layar disisi ranjang.
" Lihat, janinnya baru sebesar biji kacang ya Bu..." Jelas dokter saat mereka melihat sesuatu yang mengisi rahimnya.
Adiba menatap Haki yang juga tersenyum padanya.
" Usianya sekitar 6 minggu." Dokter membersihkan gel diperutnya. Mereka kemudian kembali duduk ditempat semula.
" Alhamdulillah, berarti saya positif hamil ya Dok?."
" Iya Bu, selamat ya..."
Dokter itu lantas mengambil buku dalam lemari yang ada disana, sebuah buku KIA. Adiba mengamati dengan serius saat dokter mencatat hal-hal yang tak ia pahami. Yang kemudian meresepkan beberapa obat padanya.
Sedangkan Haki masih terdiam, harusnya berita kehamilan itu menjadi hal yang paling membahagiakan bagi suami manapun didunia. Namun tidak dengannya, dia merasa kehamilan Adiba datang disaat yang tidak tepat.
Selesai memeriksakan kandungan, mereka keluar dari rumah sakit. Adiba tak hentinya menebar senyum pada setiap orang yang berpapasan dengannya.
Keduanya langsung kembali kerumah, Haki menuntun Adiba ketempat tidur.
" Mulai sekarang kamu harus banyak beristirahat, jadi jangan memaksakan diri untuk bekerja."
" Iya Mas. Tapi aku masih boleh mengajar kan Mas?."
" Terserah kamu saja, kalau kamu mau tetap bekerja juga tidak papa. Tapi kalau berhenti itu lebih bagus."
" Aku mau tetap bekerja kalau begitu."
" Baiklah, asal kamu senang. Mas kekamar mandi dulu ya..." Haki memegang perutnya pertanda sakit, Adiba mengangguk mengizinkan.
" Jika kamu menduakanku, aku harap kamu berhenti Mas. Dan jika kamu hatimu baru mulai berpaling, aku harap Allah mengembalikanmu kejalan yang benar." Gumamnya dengan hampa, tanpa sadar air mata menetes dipipinya.
Mengusap perutnya dengan penuh kasih, berharap anaknya akan lahir dengan sehat dan tanpa kekurangan suatu apapun, dengan keluarga yang bahagia.
Dia tak ingin, anaknya sampai mengalami hal yang sama dengan dirinya, yaitu hidup ditengah keluarga yang berantakan. Cukup sudah dirinya yang menjadi korban karena hadirnya orang ketiga, jangan sampai anaknya mengalaminya.
Ditengah pikirannya yang kalut sendiri, ponselnya berdering. Panggilan dari nomor yang baru saja disimpannya.
" Halo?."
" Halo Adiba, Kamu ada waktu gak sekarang?." Tanya Farah disebrang telpon.
" Em... Ada, kenapa ya?."
" Bisa gak kamu kesini, aku lagi pilih-pilih perhiasan buat nikah, dan masih bingung, jadi aku nelpon kamu deh. Sekalian biar kita semakin akrab gitu..."
" Bisa-bisa, aku juga masih senggang. Lagian hari libur kaya gini aku memang lebih santai."
" Baguslah, kalau gitu aku kirim lokasinya sekarang ya..."
" Iya..."
Panggilan tertutup, Adiba tersenyum setelahnya. Ia merasa Farah adalah teman yang baik, mungkin wanita itu bisa menjadi sahabatnya nanti.
" Kenapa senyum-senyum sendiri?." Goda Haki menjawil hidung istrinya.
" Ini, aku dapat teman baru. Dan dia minta aku temenin dia buat pilih perhiasan pernikahannya." Jelas Adiba.
" Oh ya, siapa namanya?."
" Farah."
DEG!
" Fa-Farah?." Haki bertanya dengan tergagap, memastikan jika pendengarannya tidak salah.
" Iya Farah, Farah Annisa. Mas kenal?." Tanya Adiba dengan heran, ia merasa reaksi suaminya terlalu berlebihan.
Jantung Haki serasa dipaksa berpacu dengan cepat. Nama itu jelas amat dikenalnya. Bagaimana bisa Adiba mengenal Farah? Setaunya Adiba hanya mengenal Farah saat mereka masih SMA, pun hanya sekedar kenal, tidak sampai akrab. Sepertinya Adiba tak menyadari hal itu.
" E-enggak, Mas kira karyawannya Mas, ternyata bukan. Memangnya kamu kenal dimana?." Haki ingin mengorek informasi, jangan-jangan Farah sengaja mendekati Adiba.
" Oh itu, aku nemenin anak didikku buat beli es krim, dan kebetulan ada ibu satu anak yang pesen barengan. Anak muridku sama anaknya rebutan. Ya pokoknya gitulah, kita akhirnya kenalan dan tukeran nomor ponsel."
Haki semakin dibuat gelisah mendengar penjelasan Adiba, ia yakin jika Farah yang tengah ia pikirkan sama dengan yang Adiba bicarakan.
" Jadi gimana Mas? Aku boleh pergi kan?."
" I-iya, Mas izinkan. Tapi apa kamu akan pergi sendiri?."
" Iya, naik motor." Jawab Adiba.
" Mas antar saja ya, mau?." Sejujurnya, Haki ingin menegur Farah, yang dengan beraninya mengajukan pertemanan pada Adiba.
" Kenapa Mas, aku bisa pergi sendiri kok?."
" Ya kamukan lagi hamil, jadi Mas ingin memastikan kamu baik-baik aja."
" Gak usah Mas, beneran. Lagian akukan pengin kenal temen baru aja, aman."
" Baiklah." Haki hanya bisa pasrah, tapi dia tak akan menyerah, dia akan mengikuti Adiba.
Adiba mulai bersiap, lantas menuju motornya. Wanita itu pergi meninggalkan rumah, yang langsung diikuti oleh Haki. Tapi karena tak ingin Adiba curiga, dia meminjam motor satpam rumahnya.
Adiba sendiri fokus menyetir, hingga tak menyadari sedang dibuntuti. Tak butuh waktu lama, ia telah sampai disebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar.
Adiba masuk kedalam, lantas menghubungi Farah untuk memastikan lokasinya. Wanita itu menuju lantai yang Farah arahkan, hingga sampailah dia pada Farah yang tengah berada ditoko perhiasan.
" Lama ya?." Tanya Adiba.
" Enggak kok, aku juga masih bingung nih milih-milih." Farah melihat cincin dibalik etalase.
" Menurut kamu yang mana?."
" Eum, itu bagus tuh." Adiba menunjuk satu cincin dengan permata yang cukup banyak.
" Eh ngomong-ngomong, kemana calon suami kamu? Kok gak nemenin?." Tanya Adiba yang baru menyadari hal itu.
" Oh itu...." Farah melirik Haki yang bersembunyi tak jauh dari mereka. Ia sudah menduga pria itu akan mengikuti Adiba.
" Dia sibuk." Ucap Farah cepat saat melihat Adiba hampir menoleh.
" Ooh..."
" Eum Adiba..."
" Iya?."
" Aku ketoilet bentar ya..."
" Baiklah."
Adiba kembali melihat-lihat aneka bentuk cincin di etalase, ia menunjuk sebuah cincin dengan beberapa permata.
" Tolong ambilkan yang ini."
Adiba menoleh saat seseorang menunjuk cincin yang tengah berada dalam pandangannya, ia membelalak melihat seorang wanita paruh baya yang amat ia benci.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Red Velvet
Farah benar2 licik, Haki juga benar2 egois. Kalian berdua harus mendapat balasan atas kelakuan kalian ini ke Adiba.
2023-02-11
1