Sinar mentari yang memaksa masuk kedalam kamar melalui celah tirai, berhasil mengusik wanita yang terbaring diranjangnya dengan mata yang sembab. Adiba berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket, pasalnya dia tak bisa tidur semalam, dan baru tidur menjelang jam 4 pagi.
Yah, siapa istri yang bisa tidur nyenyak setelah tahu suaminya berselingkuh? Entahlah, meski ini hanya asumsinya semata, tapi Adiba benar-benar merasa terluka.
Dilihatnya ranjang disisinya yang masih kosong, membuatnya mengerti jika Haki tak pulang sama sekali.
" Mungkinkah kamu semalaman bersama wanita lain, Mas..."
Rasa mual yang terasa mengocok perut memaksanya turun dari tempat tidur dan masuk kekamar mandi. Adiba membasuh mulut dan menatap cermin didepannya.
Memperhatikan setiap inci wajahnya sendiri adalah apa yang tengah wanita itu lakukan. Ia merasa tak ada yang berubah, dia jelas merawat dirinya dengan baik agar selalu tampil cantik dan segar. Namun pada dasarnya, pria memang tak bisa puas dengan satu wanita, hingga tetap mendua meski dirinya sebagai istri selalu melakukan yang terbaik.
Menggelengkan kepalanya cepat, berusaha mengusir pikiran negatif yang sejak semalam mengusiknya. Adiba memilih mandi dan bersiap untuk memulai rutinitasnya, mengajar menjadi Guru TK.
Sebenarnya pekerjaan ini jelas bertentangan dengan jurusan yang diambilnya saat menempuh pendidikan tinggi. Wanita itu memilih jurusan fashion designer saat kuliah, karena cita-citanya adalah menjadi designer terkenal dan memiliki butik sendiri.
Namun permintaan sang suami adalah alasan utamanya berhenti bekerja dikantor. Haki tak ingin dirinya kelelahan, dan bisa fokus mengurus keluarga kecil mereka.
Pun karena aturan kantor yang melarang hubungan antar karyawan, hingga dia akhirnya menuruti permintaan suaminya.
Ya, sebelumnya dia sekantor dengan Haki. Pria yang dikenalnya sejak SMA, dan semakin dekat dengannya saat ia memutuskan tinggal terpisah dengan keluarga toxik ayahnya.
Menjadi Guru TK pun karena dia memaksa ingin bekerja, dengan alasan bosan dirumah. Padahal sebenarnya karena dia harus menghidupi keluarga baru ayahnya.
Selesai bersiap, Adiba keluar rumah dan menaiki motor matic kesayangannya. Motor yang dibelinya saat masih bekerja paruh waktu disebuah restoran, sebelum menikah dengan Haki.
Butuh beberapa menit lebih lama untuk sampai karena jalanan yang amat padat dipagi hari. Akhirnya Adiba memarkirkan motornya diarea TK. Wanita itu tersenyum pada beberapa wali murid yang ia lewati.
" Bu Guru!." Seorang anak dengan kepang dua dikepalanya langsung memeluknya entah darimana.
Nia, satu-satunya anak muridnya yang selalu tampak murung dibanding teman sebayanya. Bocah itu lebih sering memilih duduk ditaman sekolah sendirian daripada bermain dengan temannya.
Mungkin itu yang menjadikan Nia sangat dekat dengannya dibanding anak lain. Karena dia satu-satunya orang luar yang bisa membuat Nia merasa nyaman, selain seorang pengasuh paruh baya yang bersama Nia tentunya.
" Bibi mana?." Ia menanyakan pengasuh Nia yang entah berada dimana.
" Itu."
Adiba mengikuti arah telunjuk Nia, hingga wanita yang biasa dipanggilnya Bi Ijah itu datang dengan tergopoh.
" Maaf Bu Guru, tadi saya kebelet banget." Jelas Bi Ijah tanpa diminta, Adiba mengangguk tanda mengerti.
" Ya udah, yuk masuk kelas sama ibu."
Nia mengangguk patuh, keduanya masuk kedalam kelas, sementara Bi Ijah tinggal diluar kelas.
Ia mendudukkan Nia dikursinya, membelai pelan rambut gadis berusia 7 tahun itu.
" Kenapa sayang?." Pertanyaan yang rutin ia lontarkan itu selalu memiliki jawaban yang sama, namun dia tak bosan bertanya. Karena itu salah satu hal yang membuat Nia nyaman dengannya.
" Kata Bibi hari ini ada pertemuan orang tua, tapi Papa..."
" Ssshht, jangan sedih." Adiba mengentikan ucapan bocah yang menunduk itu. Atau air mata Nia akan kembali menetes seperti biasanya.
" Kan ada Bi Ijah, ada Bu Guru juga."
Nia mengangguk dengan wajah sendu, membuat Adiba akhirnya memeluknya.
" Papakan sibuk buat Nia juga, jadi Nia harus jadi anak yang baik." Adiba melerai pelukan mereka. " Oke?." Dia menunjukan tanda jempol.
" Oke." Nia melakukan hal yang sama.
Jujur, Adiba selalu merasa iba melihat bocah seperti Nia. Dilahirkan dari keluarga kaya tak selalu menjadikan seorang anak bahagia. Seperti Nia, gadis kecil itu bergelimang harta sejak kecil, memiliki pengasuh dan supir pribadi. Namun yang Nia inginkan bukan itu, melainkan kasih sayang orang tuanya.
Dia mengetahui, jika ayah Nia adalah seorang single parent. Dan ia tahu itu tidaklah mudah. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah menghibur bocah itu agar mengerti ayahnya.
Sepulang sekolah, Adiba tidak langsung pulang, melainkan mengajak Nia jalan-jalan ketaman kota.
" Bu Guru, mau beli itu." Nia menunjuk tukang es krim yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
" Biar saya belikan Non."
" Gak mau!." Pekik Nia mencegah langkah Bi Ijah yang berniat pergi.
" Loh katanya mau es krim?." Tanya Adiba heran.
" Iya, tapi maunya beli sendiri sama Bu Guru." Jawab Nia dengan tatapan memelas.
Adiba dan Bi Ijah saling pandang tersenyum gemas.
" Ya udah ayo."
Keduanya berjalan menuju tukang es krim itu.
" Rasa strawberry Pak."
Tiga kata yang sama persis diucapkan serentak oleh Adiba dan seorang wanita yang juga baru mendekati gerobak es krim.
Wanita yang tak lain adalah Farah, sipengirim pesan itu tersenyum smirik melihat Adiba, terlebih karena Adiba membawa anak yang ia yakini bukan anak Haki.
" Istrimu ini sangat bodoh, Mas." Batinnya.
Sementara Adiba yang tak menyadari siapa wanita didepannya itu memilih fokus dengan es krim yang tengah disiapkan sipenjual. Ia bahkan tak mengingat wajah wanita yang dikenalnya saat SMA.
" Ini." Pak penjual itu menyodorkan es krim tepat diantara Nia dan anak yang bersama Farah.
Kedua bocah itu langsung berebut.
" Aku duluan!."
" Enggak! Aku yang duluan!."
" Aku kesini duluan!."
" Gak mau! Ini punya aku!."
" Punya aku!."
" STOP!." Serentak Adiba dan Farah berucap, keduanya saling pandang dan kembali mengalihkan perhatian pada dua anak yang masih berebut.
" Tolong cepat buatkan satu lagi Pak." Pinta Adiba pada penjual es krim yang mengangguk.
Nia dan bocah bernama Chika itu masih sibuk berebut. Namun es krim yang nyatanya benda rapuh itu sudah hampir tak berbentuk karena remasan Nia dan Chika.
Keduanya masih memperebutkan es krim rusak itu hingga penjual es krim menyodorkan yang baru. Kompak keduanya menjatuhkan es krim tadi, dan kembali berebut es krim baru.
Nia yang tampak sudah sangat kesal akhirnya menjatuhkan es krim itu diwajah Chika. Membuat Chika menangis histeris.
" Tolong ya Mba, anaknya diajarin sopan santun." Teriak Farah kesal, bisa-bisanya anak lain melempari anaknya dengan es krim.
" Ada apa ini?." Bi Ijah datang dengan panik. Wanita itu terengah-engah karena berlari.
" Gak papa Bi..." Adiba tersenyum kecil, Kemudian meminta Nia meminta maaf pada Chika.
Namun Nia yang terlanjur kesal merajuk, dan tak mau meminta maaf.
" Kan Nia yang lempar es krimnya, ayo minta maaf sayang." Bujuk Adiba lagi, dan akhirnya Nia mengalah dan meminta maaf pada Chika.
Adiba meminta Bi Ijah membawa Nia kembali kemobil setelahnya, sementara dirinya mengulang maaf pada Farah.
" Sekali lagi saya mohon maaf soal Nia."
" Baiklah, tapi lain kali anaknya diajarin yang bener ya..." Balas Farah memasang senyuman tulus. Ia merasa tak perlu lagi mempermasalahkan hal ini. Toh jika dia bisa berteman dengan Adiba akan menjadi hal yang menarik.
Mempermainkan istri dari pria yang akan menikahinya, pasti akan sangat menyenangkan.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Red Velvet
Farah ini udh punya anak ya, Haki sepertinya kau bakalan rugi disini🤔
2023-02-11
0