“Mau pesan apa, Bu Livia?” tanya salah satu koki dikantin itu.
“Saya mau sup tulang sapi aja, Bu Tisa. Dan nasi hangat sedikit saja.” Pesannya kepada Bu Tisa kepala koki dikantin itu, “Kamu mau apa, Ndra?”
“Seperti biasanya saja.”
“Tambah nasi goreng teri, dengan telur ceplok setengah matang. Minta dua orange jusnya juga ya, Bu.”
“Siap, Bu!” jawab Bu Tisa.
“Eh, lihat-lihat. Bu Livia sampai hapal dong, makanan kesukaannya Mas Andra. Iiihhh . . . jadi kabar itu benar dong, ya. Iri . . .” bisik beberapa karyawan perempuan yang masih duduk makan didalam kantin.
“Hust! Kamu ndak punya hak iri. Lihat kamu siapa? Bu Livia itu putri raja, sedangkan kamu upik abu.” Balas lainnya dengan masih tetap berusaha mengecilkan suara mereka. Namun tetap saja, pembicaraan seru itu tak luput dari telinga Andra dan Livia saat keduanya berjalan menuju meja kursi kosong.
“Maaf, aku membuatmu jadi bahan gosip karyawan lainnya.” Ucap Andra pelan-pelan.
“Tak apa. Biarkan saja mereka.” Jawab Livia dengan suara yang juga sangat pelan.
“Bagaimana kabar ibumu dikampung?” tanya Livia, setelah makanan disajikan dimeja mereka.
“Ibuku baik-baik saja. Ibuku menitip salam padamu. Aku diminta untuk mengucapkan terimakasih kepadamu."
“Hm? Untuk apa?” tanya Livia bingung.
“Karena kamu telah menolong kehidupan keluarga kami.”
“Aku hanya membantumu. Sedangkan keluargamu yang lain, semua karena jirih payahmu. Kerja kerasmu, Ndra.”
“Emm . . . ibuku juga kemarin sempat menanyakan kapan aku mengenalkan calon istriku padanya.” Andra diam-diam melirik dan menghentikan makannya untuk memperhatikan reaksi apa yang akan Livia tunjukkan padanya.
“Makanya cepat menikah, biar ibumu tidak kesepian dikampung.” Jawab Livia santai. Entah kenapa ada kekecewaan yang tiba-tiba menyerang di hati Andra. Sejak lama sekali, sebenarnya Andra memendam perasaan kepada gadis cantik yang masih asik makan didepannya itu. Tapi perasaannya tidak pernah berani ia ungkapkan, karena tahu jika dia hanya dari golongan orang biasa, dan berkat keluarga Livia-lah, sekarang Andra bisa memperbaiki perekonomian keluarganya yang sempat jatuh akibat kecelakaan ayahnya yang sampai merenggut nyawa.
“Kamu . . . apa masih tidak ingin menikah, Liv?”
“Menikah? Tidak. Aku sama sekali tidak tertarik untuk menikah.”
“Selamanya?”
“Semampuku menolak permintaan kakek. Kamu tahu sendiri, jika sudah beberapa bulan ini kakek selalu memintaku untuk kencan buta.”
“Tidak ingin mencobanya?”
“Emmm, mungkin nanti jika aku sudah terdesak. Untuk saat ini, aku masih menikmati hidupku.”
“Jika kamu tidak ingin menikah, maka aku akan selamanya berada disisimu.”
“Hah? Jangan! Untuk apa kamu mengorbankan dirimu sendiri. Carilah calon istri, dan berbahagialah.”
“Karena aku mencintaimu, Liv.” Jawab Andra dalam hati. “Jika tidak ada aku, siapa yang akan menemani dan menghiburmu lagi? Aku tahu jika aku yang terbaik.”
“Kamu sangat percaya diri sekali, Bung!”
“Tentu saja. Jika aku bisa menjadi orang kepercayaan dari Livia Zahra, artinya aku harus mempunyai kekuatan dan keyakinan pada diri sendiri.”
“Apa aku orang yang serumit itu?” tanya Livia dengan menyipitkan matanya.
“Terkadang. Terkadang aku tak mengerti ada apa dengan dirimu.”
“Hahahahaha . . . ternyata aku orang seperti itu. Aku selesai.” Livia meletakkan sendok dan garpunya karena makanan di piringnya sudah tandas tak bersisa.
“Apa kamu sudah selesai makan, Ndra?”
“Seperti yang Ibu lihat.” Andra menunjukkan piringnya yang juga telah bersih.
“Ibu?” Livia memperhatikan sekitar karena beberapa dari pelanggan kantin mulai merasa tertarik memperhatikan interaksi antara pimpinan dan sekretaris itu. “Oh, baiklah.” Livia mengerti kenapa Andra kembali bersikap formal.
“Setelah ini tidak ada jadwal luar, Bu.”
“Ok. Saya akan akan menyelesaikan pekerjaan saya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments