Danu meletakkan ranselnya di atas kasur begitu saja. Setelah itu dia mengambil kotak rokoknya, dan duduk di kursi kerjanya yang menghadap jendela. Dia menarik tuas, hingga kaca nako di samping mejanya itu terbuka. Setelah itu dengan posisi bersandar dan kaki lurus diatas meja. Dia mulai menyalakan rokoknya.
Sekali... dua kali... dia menghembuskan asap rokok yang dia hisap. tidak pasti dengan yang ada di kepalanya, sampai suara ring tone HP nya terdengar memanggil. Dia meletakkan rokoknya di asbak sebelum bergerak meraih HP di saku celananya.
"Halo... " Salamnya spontan setelah menarik tombol hijau ke atas.
"... "
"bukannya besok?"
"... "
"Ya, lihat nanti deh..."
Setelah mendengar salam penutup dari si penelepon, Danu langsung memutuskan sambungan.
HP dia letakkan di atas meja. Menghisap kembali rokoknya sekali, kemudian kembali dia taruh di asbak. Setelah itu, dia bangkit dari duduknya. Melepas kemeja yang sudah dia pakai seharian ini, lalu melangkah dan meraih handuk yang baru (dicuci) dari lemari.
Danu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Tanpa dia tahu, saat dia berada di sana, Santi, ibunya masuk ke kamar mencarinya.
"Danu... Danu...!" Panggilnya. Tapi suara gemericik air mengaburkan panggilannya. Danu tidak mendengar panggilan itu. Tapi Santi tahu, kalau anaknya sudah pulang dan sedang mandi.
Sambil menunggu, Santi mengedarkan pandangan ke seputar ruangan. Rapih. Seperti biasanya. Hanya keberadaan ransel di atas kasur itu saja yang tidak pas.
Santi meraih ransel itu untuk di letakkan di atas meja. Dia juga merapihkan meja itu. Membuang isi asbak ke tempat sampah dan meletakkan bungkusan rokok di sampingnya.
Sambil menunggu anaknya keluar dari kamar mandi, Santi duduk di kursi yang tadi di duduki Danu. Tangannya meraih foto berbingkai kayu yang terpajang di sana. Sebuah foto lawas bergambar tiga orang anak laki-laki, berdiri berjajar saling merengkuh bahu saudaranya.
Yang ditengah, yang paling tua adalah anak sulungnya. Bagas. Seingat Santi, waktu itu Bagas sudah kuliah, semester empat kalau enggak salah. Wajahnya terlihat begitu muda dan penuh semangat. Sungguh sangat berbeda dengan Bagas sekarang.
Tanpa terasa, setitik air mata jatuh di pipi Santi. Dia merasa nelangsa mengingat anak sulungnya yang kini hanya bisa duduk di kursi roda.
"Oalah, Le... mugo-mugo uripmu bejo lan mulyo mbesok..."
Gumamnya pelan sambil mengusap gambar wajah Bagas.
(\=Oalah, Nak... aku harap kamu memiliki kehidupan yang baik dan bahagia di masa depan...")
Pandangannya kemudian beralih pada sosok pemuda yang di sebelah kanan. Itu anaknya yang nomor dua. Satrio namanya. Dia sekarang sedang menyelesaikan pasca sarjananya di Australia.
Waktu foto itu diambil, Satrio masih kelas tiga SMA. Masa-masa penuh kenakalan dengan ego yang tinggi, menurutnya.
Santi ingat. Satrio pernah mengamuk, gara-gara kamarnya dia rapihkan, dan ternyata menemukan sebungkus rokok terselip diantara buku-bukunya.
Dalam kondisi normal, mustinya yang marah itu dia kan, sebagai ibunya? Tapi ini enggak.... sebelum dirinya marah, Satrio sudah marah duluan. Katanya dia mengganggu privasinya. Santi sampai geleng-geleng kepala karenanya.
Waktu itu dia tidak banyak bicara, karena takut Darmawan, suaminya mengetahui kelakuan anaknya yang ternyata sudah mulai merokok. Walau kesal, Santi tidak mau anaknya kena amuk bapaknya karena soal itu.
Sejak itu, dia mulai lebih ketat mengawasi anak panengahnya. Kalau soal rokok, dia masih bisa mentolerir, karena sulit juga menyuruh anaknya untuk tidak merokok, sementara di lingkungan rumahnya, orang-orang melakukannya dengan bebas.
Asal tidak menyalahi aturan lain, Santi masih bisa memaafkan. Mengingat itu, ada seulas senyum terbentuk di bibirnya. Bukan senyum senang... Hanya sebuah senyum kelegaan, karena anaknya itu sudah selamat melalui fase remajanya. Senakal-nakalnya Satrio, dia tidak pernah melampaui batas.
Kini anaknya itu sudah dewasa. Santi tidak bisa begitu saja membatasi ruang gerak anaknya. Dia hanya bisa berdoa dan berharap, agar Satrio diberikan perlindungan dan petunjuk dari Gusti Allah, agar dia selalu selamat, dimanapun dia berada.
"Le... mugo-mugo sampean tansah pinaringan sehat.... ndang mari lek kuliah... ibu kangen, Le..." Do'a nya.
(\=Le... semoga kamu sehat selalu.... Bisa segera menyelesaikan kuliahnya... ibu kangen, Le...")
Beralih pada si bungsu di sebelah kiri. Senyum Santi semakin lebar. Wajah Danu di foto itu masih terlihat kekanakan. Seingatnya, waktu itu Danu masih SMP kelas dua.
Santi ingat, dulu Danu sering mengeluh padanya karena sering merasa tersisih dari para kakaknya. Dia sering merasa diabaikan jika para lelaki itu sedang berbincang.
"Masa, sih?" Tanya Santi waktu itu.
"Iya, ibu... kalau mereka sedang ngobrol gitu... aku enggak pernah diajak ngomong... aku tanya enggak di jawab... " Jawab Danu dengan wajah merengut.
"Lah, mereka sedang ngomongin apa?" Tanya Santi lagi.
"Ya enggak tahu... tapi nyebut-nyebut nama Wulan gitu..."
Mendengar jawaban Danu, seketika Santi menutup mulut menahan tawa.
Ya, pasti saja Danu enggak ikutan diajak ngomong... Lah mereka sedang ngomongin masalah pacarnya, masa iya diskusi masalah cewek dengan anak SMP?
"Loh... ibu... ibu sedang apa?" Tanya Danu yang ternyata baru keluar dari kamar mandi.
"Oh... kamu sudah selesai mandi?" Santi malah balik bertanya.
"Ya, sudahlah bu. Masa belum selesai sudah keluar kamar mandi." Sahut Danu sambil melangkah ke lemari untuk mengambil pakaian ganti.
"Ibu ada apa kemari?" Ulang Danu sambil memakai kaosnya.
"Emmm cuma mau kasih tahu, bapak menunggu untuk makan malam bersama." Ucap Santi.
"Lah, iya... kan memang sudah biasanya begitu?" Ucap Danu pura-pura enggak tahu.
Salah satu kebiasaan yang sudah dan harus tetap berlangsung di rumah ini adalah... mereka harus selalu makan malam bersama. Mau apapun kegiatan yang sedang dilakukan, harus selalu bisa meluangkan waktu untuk itu.
Satu hal lagi... kegiatan makan malam ini dilakukan sebelum maghrib. (Jadi tidak malam juga sebenarnya) 🤭 Karena biasanya, selepas maghrib, selalu saja ada kegiatan atau pekerjaan yang memakan waktu lama... hingga tengah malam kadang. Jadi, dari pada telat makan, maka jam makan mereka majukan. Dan penetapan jam makan malam yang lebih awal ini, sudah berlangsung sejak jaman kakeknya masih ada. Jadi akan sulit sekali merubah kebiasaan itu.
Danu menatap ibunya menunggu jawaban.
"Emm, di depan ada pak Su'eb..." Santi menjawab.
Kalimat jawaban dari ibunya itu berarti banyak untuk Danu.
Pak Su'eb itu bukan tamu biasa. Dia merupakan salah satu orang terpandang di desa ini, walaupun kekayaannya tidak sebanyak Darmawan, tapi dia juga rekan kerja keluarga mereka. Dan hal itu memberi dua alasan Danu untuk bersikap hormat padanya.
"Bapak mau menjual atau mau membeli?" Tanya Danu lagi.
Urusan dengan pak Su'eb ini biasanya tidak jauh dari masalah jual beli Sapi. Karena pak Su'eb ini adalah seorang blantik.
"Enggak tahu pasti... Tapi pak Su'eb datang bersama keluarganya... "
...🍓bersambung🌶...
Please... please my all reader.
do give me your LIKE... 🙏🙏🙏
Thanks B4 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-04-12
0
Om Rudi
lanjut Yani
2023-01-02
0
Jhuwee Bunda Na Alfaa
amiennnn 🙏🙏🙏🤗🤗
2022-12-16
1