Arjuna Bimantara, seorang Perwira Polisi yang gagah berani itu tertunduk lesu di samping gundukan tanah yang masih basah dengan bunga segar beraneka rupa di atasnya.
Wajahnya tertunduk memandangi papan bertuliskan sebuah nama di sana Luna Puspita dengan bulan lahir yang sama seperti bulan lahir dirinya, november, hanya saja jika Luna di akhir bulan dirinya di awal bulan, dan dirinya juga tiga tahun lebih awal lahir ke dunia di banding Luna, namun siapa sangka justru Luna lah yang kini duluan pergi meninggalkan dunia.
Seharusnya bunga melati menghiasi kepala Luna hari ini, dan berbagai bunga ini menjadi dekorasi pelaminan mereka, namun kini malah menghiasi pembaringan terakhir wanita cantik yang sebentar lagi berusia 27 tahun itu, tak ada lagi senyum manis dari wanita penyabar yang merupakan seorang guru taman kanak-kanak itu, tak ada lagi tempat Arjuna bermanja.
Ya,,, hanya di sisi Luna pria gagah dan berwibawa itu bisa menunjukan sisi manjanya, sementara di hadapan semua orang dia adalah sosok perwira yang tegas, keras dan pemberani, tak akan ada yang mengira jika sang kapten bahkan masih sering di suapi makan oleh Luna saking manjanya.
"Lun,,, maafkan aku, harusnya tadi malam aku tak mengizinkan mu untuk pergi ke luar, andai semalam aku tak ada rapat penting sialan itu, kamu pasti saat ini terlihat cantik dengan kebaya putih itu dan duduk di samping ku di pelaminan." Sesal Arjuna.
Tadi malam mendadak dirinya di panggil rapat mendadak karena akan ada petinggi yang sidak ke kantor mereka, jadi semua anggota harus hadir, apalagi dirinya sebagai kepala salah satu divisi di kantor itu, jadi sebagai aparat, tak peduli hujan badai dan meskipun esok harinya akan menikah, sebagai perwira yang selalu patuh dia menyempatkan diri datang ke kantor, meski atasannya sudah mengatakan kalau tak apa jika dirinya tak hadir dan mereka bisa mengerti.
Padahal tadinya dia hendak pergi bersama Luna mengambil jas miliknya yang baru sempat akan dia ambil, namun karena panggilan mendadak itu Luna akhirnya mengatakan akan mengambilnya sendiri, padahal Arjuna sudah melarangnya karna dia bisa menyuruh stafnya untuk mengambil, tapi Luna bersikeras ingin mengambilnya sendiri, dia ingin memastikan kalau jas yang akan di pakai suaminya sudah sesuai dengan keinginannya.
Dengan berat hati Arjuna mengizinkan calon istrinya itu untuk pergi ke butik sendirian.
Setengah jam berlalu, rapat pun telah selesai di lakuakan, segala persiapan mendadak untuk menerima kedatangan petinggi ke kantor mereka sudah siap di laksanakan, sambil menunggu Arjuna mencoba menghubungi pujaan hatinya itu, mereka terus berbicara membicarakan apapun malam itu, sampai Arjuna mendengar sebuah suara keras seperti dentuman 'buum' dan setelah itu dia tak mendengar lagi suara Luna, hanya samar-samar terdengan jeritan suara wanita minta tolong, tapi Arjuna yakin jika itu bukan suara kekasihnya.
"Jun, relakan dia pergi, jangan di tangisi lagi, bunda tau kamu hancur, begitu pun bunda, tapi lagi lagi ini semua sudah menjadi takdir Tuhan, kita sebagai manusia hanya bisa menerima semuanya dan harus berusaha untuk ikhlas." Ujar wanita tua berambut putih itu, tangan keriputnya menyentuh pundak kekar Arjuna dan mengelusnya dengan lembut, mata cekungnya karena tak tidur semalaman terlihat bengkak dan sembab karena tak bisa berhenti menangis.
Dia lah Bunda Ami, pemilik panti asuhan dimana Arjuna dan Luna bertumbuh, Bunda Ami adalah orang tua bagi mereka berdua, karena sejak kecil dia lah yang mengasuh mereka.
"Tapi bunda, ini terlalu menyakitkan, Tuhan menghukum ku terlalu berat kali ini, kenapa harus Luna, kenapa harus di malam pernikahan kami?" Arjuna meraih tangan keriput itu dan menempelkannya di pipinya mencoba mencari sumber kekuatan baru untuk dirinya, biasanya tangan bundanya itu selalu bisa membuatnya merasa tenang dan damai, tapi kali ini meski dia memeluk erat tangan bundanya itu, hatinya masih terus merasakan sedih dan gelisah, bahkan sakit di dadanya kini semakin bertambah seiring menit demi menit berlalu.
"Bunda tau, kamu pasti sakit, nak. Tapi selain ikhlas kita bisa apa? Bahkan tangisan darah kita sekalipun tak akan bisa mengembalikan Luna pada kita." Wanita tua itu meberikan wejangannya pada Arjuna, dimana dirinya sendiri pun merasa sangat sakit dan terluka akibat perginya putri asuh kesayangannya itu.
Memang seperti itu biasanya, kita dapat mengatakan sejuta kata menguatkan untuk orang lain, padahal dirinya sendiri belum tentu bisa kuat seperti apa yang di katakannya.
***
Tiga bulan berlalu dari masa berkabungnya yang sangat panjang meski rasa sedih itu rasanya akan terus di rasakannya di sepanjang hidupnya, Arjuna mengajukan cuti panjang, untuk sekedar pergi jauh dari kota yang setiap sudutnya mengingatkan dia pada Luna, beruntung atasannya mau mengerti dan memberinya izin.
Jauh dari keramaian kota tempat dimana dirinya dan Luna bersamatidak lantas ingatan dan bayang-bayang Luna pergi dan menghilang begitu saja dari ingatannya, semua masih sama, masih tampak nyata, tiga tahun hubungan mereka sebagai kekasih memang bisa di katakan sebentar, tapi berpuluh tahun kebersamaan mereka di panti sebelum mereka memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih dan memutuskan untuk menikah tidak bisa di katakan sebentar.
Jutaan memori terekam jelas di benaknya membuat Arjuna tak bisa memikirkan hal lain selain kenangan Luna, Luna dan Luna. Tidak ada kata cukup dan tidak ada kata selesai jika itu berurusan dengan segala hal tentang Luna, namun bukankah hidup harus terus berjalan, dan dia tak bisa terpuruk dalam kesedihan yang tak berujung ini, jalannya masih panjang dan masih harus di lalui meski tanpa Luna di sisinya, banyak hal yang juga harus Arjuna selesaikan di kehidupannya.
Pernah di beri kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan bahagia bersama wanita terhebat dalam hidupnya, bahagia yang di sempurnakan dengan rencana pernikahan, kemudian di sakiti oleh takdir perpisahan, dan kini masih harus di siksa dengan sakitnya kerinduan yang tak terbalaskan dan sangat mendalam.
Arjuna seakan di paksa harus berusaha untuk tersenyum dalam sebuah kehilangan yang menyakitkan, berusaha menerima dan berdamai dengan takdir yang Tuhan berikan untuknya, ironis memang,,,tapi ini kehidupan, dimana setiap manusia sudah punya sekenario hidupnya sendiri-sendiri yang sudah tertulis dalam guratan tangan yang di namai takdir.
Hari ini hari pertama setelah cuti panjangnya Arjuna kembali bertugas, setelah menjauh dari kasus yang menyebabkan calon istrinya tewas dengan tragisnya, langkah Arjuna kini terlihat sangat tegap dan yakin menuju salah satu ruang penjagaan tahanan.
Petugas piket di ruangan itu segera berdiri dan memberikan hormatnya pada Arjuna yang tentu saja pangkatnya jauh lebih tinggi di banding mereka.
"Bawa pembunuh itu ke hadapan ku!" titah Arjuna dengan wajah menahan gejolak amarah yang bergulung-gulung di dadanya.
Selama ini dia bertahan untuk tidak dulu menemui penabrak calon istrinya itu karena dia belum siap melihat wajah yang di anggapnya telah merenggut nyawa belahan jiwanya itu.
Jari-jari tangan Arjuna spontan mengepal kuat sampai ruas-ruasnya terlihat memutih, rahangnya pun mengeras dengan gigi yang bergemerutuk menahan ledakan emosi, saat dari kejauhan terlihat dua orang penjaga membawa pelaku mendekat ke arahnya, sepertinya tinju tangannya sudah siap mendarat di wajah pelaku itu dan tak sabar ingin menghancurkan wajahnya sampai tak di kenali lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
queen
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2023-03-06
2