Kenyataan pahit

"Sayang, maaf. Hari ini aku gak bisa jemput Lean, jalanan macet banget, parah."

"Oh, iya, Mas. Aku nanti pesan grab aja. Kamu langsung aja pulang ke rumah buat siap-siap berangkat kerja."

"Oh, oke. Maaf, ya, Sayang."

"Gak apa-apa, kok. Lagi pula pasienku hari ini sedikit. Aku bisa jemput Lean secepatnya. Sampai ketemu di rumah, ya."

"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan."

"Kamu juga."

Pembicara pun terputus.

"Sus, ada berapa pasien lagi?"

"Tinggal dua, Dok."

"Oke."

Arini kembali mengerjakan kewajibannya hingga pasien terakhir pun selesai diperiksa. Dokter cantik itu segera mencuci tangan dan berganti pakaian untuk pergi menjemput anak semata wayangnya.

Taksi online pun tiba. Setelah memberikan alamat tujuan, mobil pun melaju. Tidak berapa lama dia sampai di sekolah. Lean ataupun yang lainnya belum terlihat karena jam keluar sekolah masih ada 5 menit tersisa.

"Pak, tunggu sebentar ya. Anaknya belum keluar."

"Baik, Bu."

5 menit berlalu, anak-anak mulai bermunculan dari balik pintu utama. Para orang tua sudah menunggu di luar. Termasuk Arini.

Lean pun muncul. Dia melambaikan tangan sambil berlari menghampiri Arini. Pelukan hangat pun diberikannya pada sang ibu.

"Bagaimana hari ini?"

"Menyenangkan, aku dan teman-teman melukis buah. Lihat, bajuku kotor terkena noda. Gak apa-apa 'kan, Ma?"

"Gak apa-apa, sayang. Itu bisa dicuci yang penting kamu happy."

Mereka berjalan sambil berpegangan tangan menuju mobil.

"Loh, papa mana?" tanya Lean saat melihat mobil lain yang menjemputnya.

"Papa kena macet, jadi dia langsung pulang ke rumah, kan nanti malam mau berangkat lagi."

"Yaaah, padahal baru aja sebentar udah mau pergi lagi."

"Sabar, ya, Nak. Ini semua juga demi kita semua. Kalau papa gak kerja, kamu juga gak akan mungkin bisa sekolah di sini, iya 'kan? Kamu juga gak akan bertemu Helen."

"Oh, iya. Helen katanya gak akan sekolah di sini lagi, Ma. Dia mau pindah."

"Pindah? Kenapa?"

"Aku gak tau," jawab bocah itu sambil makan cokelat yang Arini bawa. Mobil melaju ke toko mainan. Arini akan membeli kado untuk pasien yang waktu itu datang.

Setelah membeli mainan, mereka pun langsung pulang ke rumah.

"Bi, Bapak mana?" tanya Arini yang merasa aneh melihat rumah terasa sepi dan juga tidak ada mobil Farhan di depan.

"Belum datang, Bu."

"Belum datang?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ma, ayo. Kita nanti telat loh. Lihat jam."

Arini menoleh pada jam dinding. Jika mereka tidak bersiap, makan akan terlambat datang ke acara ulang tahun pasiennya. Itu pun akan berdampak pada jam keberangkatan Farhan.

Sambil berganti pakaian, sesekali Arini menelpon suaminya namun tidak aktif. Karena dikejar waktu, Arini pun memutuskan untuk menghubungi Farhan di lain waktu.

Arini membawa mobilnya sendiri menuju hotel yang dituju.

Setelah bertanya pada pekerja di sana, Arini pun diantar ke lantai lima di mana pesta diselenggarakan.

Sepanjang lorong dihiasi balon cantik dan foto-foto keluarga yang berulang tahun. Ibunya terlihat sangat cantik, pun dengan putrinya yang begitu lucu. Tidak beda dengan suaminya yang nampak gagah.

Arini tersenyum melihat kemesraan dan keharmonisan keluarga itu.

Pintu ballroom terbuka, keramaian khas pesta ulang tahun pun menyeruak menghiasi telinga.

Sang pemilik acara pun terlihat sumringah melihat kedatangan Arini. Saat sedang berbicara dengan tamu lain pun langsung dia tinggalkan dan menghampiri Arini.

"Makasih loh, dok. Ya ampun, saya kira tidak akan datang."

"Saya sempatkan. Bagaimana putrinya? Sudah sehat?"

"Berkat dokter."

"Saya hanya perantara, Mam."

Mereka pun saling menggenggam dama canda tawa. Sementara Lean asik bermain di Playground yang disediakan oleh pemilik acara.

Saat Arini datang, acara tiup lilin dan rangakaian lainnya sudah selesai, mereka kini hanya sedang bermain dan makan.

"Dok, saya tinggal sebentar. Tamu istimewa saya datang."

"Oh, iya. Silakan."

Reflek, Arini membalikkan badan mengikuti arah ke mana wanita itu pergi menyambut tamunya.

Jantung Arini seperti berhenti berdetak, nafasnya hilang untuk sesaat begitu melihat siapa tamu istimewa yang dimaksud.

Farhan.

Dia menggandeng seorang wanita dengan dua putri yang bersamanya. Satu putri digenggam wanita itu, dan satunya digenggam Farhan.

Pun dengan Farhan yang begitu syok dan pucat pasi melihat Arini ada di sana.

"Ma." Arini menoleh pada sumber suara, Lean. Insting Arini mengatakan jika Lean tidak boleh melihat apa yang dia lihat saat ini. Spontan Arini berlari menghampiri Lena dan langsung memeluk anaknya dengan mendekap wajahnya erat. Tidak ada celah untuk Lean melihat apa pun.

"Ma, kenapa? Aku sesak."

Arini tidak mempedulikan ucapan anaknya, dia terus mendekap anaknya sampai keluar ruangan.

Panggilan dari pemilik acara pun tidak dia indahkan. Bagi Arini saat ini hanyalah harus sejauh mungkin pergi menghindari Farhan.

Arini menepikan mobilnya karena dia merasa sudah tidak sanggup menyetir dalam keadaan pikirannya yang kacau balau. Konsentrasinya buyar entah ke mana.

Beberapa kali Arini menggelengkan kepala dan berusaha menenangkan hati dan kepalanya. Hatinya berusaha mengatakan jika itu hanyalah mimpi, jika itu mungkin saja teman atau sodaranya.

Namun, logika Arini mengatakan gestur tubuh mereka tidak menunjukkan bahwa hubungan mereka hany sebatas teman atau sodara.

"Tidak mungkin. Mas Farhan tidak mungkin selingkuh bukan? Mustahil! Dia begitu mencintaiku dan Lean. Ini pasti hanya salah faham."

Arini terus berusaha menenangkan dirinya dengan argumen dari hasil duga menduga.

Sesampainya di rumah, Arini menemani Lean berganti pakaian. Membacakan dongeng dengan harapan bisa mengalihkan pikirannya.

Tidak. Itu sama sekali tidak berhasil karena tangan Arini terus bergetar saat melakukan semua hal.

Lean tertidur. Arini pun kembali ke kamarnya. Dia duduk termenung di ujung kasur sambil membayangkan bagaimana Farhan masuk dengan wanita dan dua anak perempuan bersamanya.

Hatinya memanas. Tentu saja, siapa yang tidak cemburu melihat suaminya bergandengan mesra dengan wanita lain.

Arini mengambil ponsel, dia membuka galeri dan melihat video kebersamaannya dengan Farhan dan Lean.

Arini tersenyum meski tangannya bergetar. Matanya berlinang sambil menggigit bibi bawahnya.

Jam dinding menunjukkan jika saat ini sudah lewat tengah malam. Namun, mata Arini masih saja terbuka, dia tidak henti-hentinya melihat beberapa video yang ada di ponselnya. Diputar berulang-ulang secara terus-menerus .

Ponsel itu pun dia letakkan saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Terdengar pintu pagar dibuka. Dia langsung berlari karena dia tahu itu adalah Farhan.

Benar saja, Farhan terlihat turun dari mobilnya.

"Mas." Arini berlari dan berhamburan ke dalam pelukan Farhan yang tak di balas oleh suaminya itu.

Arini merasa heran karena Farhan hanya diam.

"Mas, ada apa?" tanyanya. Arini ingin bertanya akan tetapi dia tidak sanggup mendengar jawaban dari Farhan. Dia memutuskan untuk tetap diam dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ayo, masuk. Udah malam, Mas." Arini menarik tangan Farhan. Laki-laki itu tetap diam bahkan tubuhnya seolah menolak ajakan Arini.

Arini bukan wanita bodoh yang tidak tahu arti dari sikap suaminya. Pertahanan dan keyakinan Arini runtuh. Dia tidak lagi bisa bersikap pura-pura tidak mengerti.

Dokter baik hati itu ambruk ke tanah dan menangis sekeras mungkin. Meluapkan apa yang sejak tadi dia tahan di dalam dadanya.

Terpopuler

Comments

Riana

Riana

catrin ya

2023-04-06

0

Windarti08

Windarti08

kirain selingkuhan Farhan si Chatrin, ternyata tamunya.
berarti ucapan Farhan kemaren saat di sekolah Lean itu clue, kalo Ayah Helen kurang pintar karena selingkuh di rumah sendiri, selingkuh itu ya di rumah selingkuhannya. wow keceplosan dia

2023-03-02

0

amalia gati subagio

amalia gati subagio

bodoh gak ogeb bebal he eh 🤔

2022-12-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!