Aku sama sekali tidak boleh lengah. Satu gerakan salah bisa saja fatal. Aku mengatur nafasku, bergerak hati-hati sembari tetap membungkuk rendah. Fokus pada satu rencana yang telah aku susun sebelumnya. Mendekat menuju kelompok Goblin yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang.
Tapi mereka bukan tujuanku. Targetku adalah White Leaf Rabbit. Makhluk yang sekarang terkurung dalam kandang bambu, meringkuk lemah dikelilingi tiga Goblin yang tertidur.
Sepasang telinga tipis yang menyerupai hijaunya dedaunan, berbulu putih lebat, berekor pendek, dengan mata merah berkilat. Jika melihatnya di jarak sedekat ini, aku bisa memperkirakan panjangnya setidaknya sekitar 30 centi, sepertinya dia masih muda, jika sudah dewasa panjang raganya bahkan bisa melewati 1 meter.
Menemukan White Leaf Rabbit di hutan Pasmere yang sering menjadi tempat berburu petualang seharusnya nyaris mustahil. Entah bagaimana kelompok Goblin mampu menemukannya.
Aku tidak perlu mengkhawatirkan bau ketiakku lagi, karena aku sudah mandi sebelumnya di sungai tidak jauh dari tempat kami berkemah tadi malam. Aku menggosok badanku dengan batu kali sebersih mungkin, tidak memperdulikan akibatnya yang kini membuat kulitku iritasi. Ya setidaknya aku yakin 80 persen daki dan 70 persen bau badanku sudah berkurang.
White Leaf Rabbit, daging yang tidak berbau, rasa yang agak manis, ditambah karena kelangkaannya kini ia menjadi bahan makanan mewah. Menyantapnya merupakan impian yang menjadi kenyataan bagi Thief kere sepertiku.
Ada berbagai cara menyajikannya, tapi menurutku cara yang paling mudah adalah dengan dipanggang, apalagi kalau sebelumnya di balut rempah-rempah. Membayangkannya saja sudah membuatku meneteskan air liur.
Aku jalan berjinjit, melangkahi kaki Goblin yang menghalangi. Tanganku menjalar perlahan, jemariku mengangkat kandang bambu pelan tapi pasti. Aku menahan nafas, melangkah mundur, lalu perlahan berbalik.
Tadinya aku pikir menahan nafas sesaat adalah ide yang cemerlang, tapi ternyata hal itu merupakan bumerang. Mungkin karena masuk angin atau mungkin juga akibat terlalu banyak makan jamur liar.
Sekitar tujuh puluh Desibel atau hampir setara dengan suara bising Vacuum cleaner. Satu setengah menit atau hampir menyamai rekor dunia Bernard Clemmens.
Kentut ternyaring dan terpanjang yang pernah aku buat.
Tiga Goblin yang tertidur seketika terbangun kaget. Kepala bergerak ke kanan dan ke kiri, mata kuning berputar-putar mencari asal suara.
Aku menjatuhkan kandang bambu, lalu langsung menarik belati milikku. Menggunakan Skill Fast Retreat, dengan cepat aku menyeret telapak kakiku tiga langkah ke belakang.
Satu dari tiga Goblin langsung menyerang. Makhluk hijau cebol dengan kuku yang tajam memanjang, dia menjerit seraya melesat menuju tempat aku berdiri.
Dengan sigap aku memanfaatkan Skill Ankle Break. Aku bergeser sedikit kesamping, maju satu langkah, membungkuk, lalu mengayunkan kakiku ke depan, tepat kearah tumit Goblin yang menyerang.
Dia tersungkur jatuh, aku pun melompat cepat dan tanpa ampun seketika membenamkan ujung belatiku pada ubun-ubun nya.
Dua Goblin lainnya meloncat dan mengayunkan sepasang golok kecil berkarat secara bersamaan.
Aku mengendurkan otot kakiku bermaksud mengaktifkan Skill Feint, merendahkan bahuku ke kiri, namun sepersekian detik berikutnya, aku meliuk ke kanan dan dengan mudah menghindari serangan kedua Goblin itu.
Tak sampai disitu, ketika dua Goblin kelihatan goyah dan bingung karena tak menemui sasarannya. Aku langsung melancarkan dua serangan beruntun, Skill Double Strike aku gunakan, belati milikku mengiris cepat leher kedua Goblin yang tersisa.
Aku menghela nafas panjang, kemudian menjatuhkan diriku ke tanah. Beristirahat sejenak memandangi bayangan dedaunan yang bergoyang-goyang diantara kilatan terik cahaya matahari siang.
Rencanaku tidak berjalan mulus, tapi kan setidaknya aku tidak mati.
"Kentutku memang dahsyat," aku terkekeh geli.
Aku lalu membawa kandang White Leaf Rabbit dan kemudian kembali ke tempat dimana kedua gadis dan satu Rubah ekor sembilan menungguku.
"Tapi aku sedikit kasihan jika kita harus memakannya.... Dia cukup lucu," setelah melihat sebentar hasil buruanku yang tidak berdaya, ekspresi sang Putri tampak murung.
"Sayang sekali tuan Putri, saat ini kita tidak bisa pilih-pilih makanan," balasku sembari menarik belati bermaksud segera menyembelih kelinci didepanku.
"Bukannya White Leaf Rabbit sudah jarang ditemui di hutan Pasmere?" Gina menepuk-nepuk seragam Maid yang ia kenakan.
"Ya, mereka hampir punah, kita cukup beruntung menemukannya," kataku seraya membuka pintu bagian atas kandang bambu.
"Kalau memang begitu. Yaz, sepertinya aku ingin melepasnya," sang Putri memelas, menampilkan wajahnya yang mempesona. Mata berbinar-binar, bibirnya yang tipis sengaja ia gulung ke dalam. Beberapa saat aku tidak bisa berkedip, tersihir kecantikannya yang bersinar benderang. "Ini titah pertamaku sebagai Ratu; mulai sekarang semua perburuan White Leaf Rabbit dilarang!" Putri Corona bertolak pinggang.
"Kamu juga belum jadi Ratu," kataku mencari argumen.
"Tidak, menurut peraturan kerajaan. Saat Luminas dalam keadaan terancam, Titah Putri pewaris tetap sah menjadi hukum yang mengikat," Gina memotong.
Sang Putri berdiri, akan tetapi matanya masih tertuju kepadaku. Mencoba menghiraukannya, aku lekas menyelipkan lenganku ke dalam kandang bambu, meraih buruan kami yang sudah menyerah, kemudian menenteng White Leaf Rabbit dengan cara menggenggam telinga panjang yang menyerupai sulur daun. Tubuhnya cukup berisi, dagingnya pasti membuat kami berempat kenyang. Tiga hari telah kami lalui, bertahan hidup hanya dengan memakan jamur dan buah-buahan. Melepaskan daging gemuk nan lezat begitu saja, tentu saja sangat berat bagiku.
Akan tetapi ketika memandangi mata bulat besar kelinci di depanku, entah mengapa aku bisa menangkap sebuah kesedihan yang tersirat. Nafas White Leaf Rabbit yang berat dan suara rendah yang terdengar samar, membuatku terjebak dalam dilema rumit.
"Jadi bagaimana?" pertanyaan Gina ditujukan untukku, namun pandangannya terkunci pada Putri Corona.
Mataku ikut bergeser, memandang lagi paras bulat Putri muda kerajaan Luminas. Aku pun terjerat lagi pada pesonanya. Raut melankolis Putri Corona terlalu imut untukku. Setelah menghirup nafas panjang, aku akhirnya menyerah atas kuasanya.
Aku meletakkan kelinci itu ke tanah secara perlahan. Mataku otomatis terpejam karena merasa berat melepas daging nikmat yang seharusnya menjadi makan siangku.
"Wah! Dia sepertinya tidak mau pergi, dia ingin berterima kasih," suara riang Putri Corona membuat mataku kembali terbelalak.
"Kiii?" White Leaf Rabbit berguling beberapa kali ke kanan dan ke kiri. Di dekat kakiku dia merentangkan raganya, terlentang menunjukkan perutnya yang bercorak titik bulat kehijauan.
"Responnya sama seperti Kono. Tuan Thief sangat disukai binatang," Putri Corona melempar senyum ke arahku. Dia kemudian berjongkok dan mulai membelai perut White Leaf Rabbit. "Lihat Gina warna bulu polkadot ini terlihat sangat unik ya?"
"Iya--ya..." Gina sepertinya ingin ikut-ikutan mengelus bulu White Leaf Rabbit. Namun setelah menyadari tatapanku, dia malah menghentikan tangannya yang hampir menyentuh si kelinci, membuang mukanya, lalu mengembungkan pipinya tanpa sebab yang aku mengerti.
"Ada cerita menarik dari coraknya, motif dari bulunya merupakan identitas unik dari individu White Leaf Rabbit. Tidak ada satupun corak yang sama. Coraknya yang beraneka ragam ialah tanda pengenal yang khusus dari binatang yang hampir punah ini," aku menenteng kandang bambu dengan satu tangan. "Aku melihat beberapa ikan pingsan mengambang saat aku mandi tadi pagi. Mungkin saja aku bisa menangkap ikan dengan kandang bambu ini, tapi jangan berharap banyak ya. Setelah bermain dengan kelinci, beristirahatlah sebentar di gua tempat kita berkemah semalam," ucapku seraya melambaikan tangan.
Aku pun menyisir jalan yang sebelumnya pernah aku lewati. Menajamkan pendengaranku demi mencari arah dimana sungai berada. Aku mengusap perutku yang sudah sangat menderita, mencuri White Leaf Rabbit dari Goblin juga sangat menguras mental.
Dalam perjalanan menuju sungai aku memutuskan memetik beberapa Berry Hijau. Karena perpaduan rasanya yang asam dan manis, aku bisa menjadikannya bumbu jika dapat menangkap satu atau dua ikan, kalaupun tidak berhasil, aku masih bisa memakannya untuk mengganjal perut. Aku juga menemukan bunga Lili hitam yang tumbuh dibeberapa sela batu kali. Jika ditumbuk, Lili hitam bisa digunakan sebagai pengganti garam. Di dunia ini garam ialah barang mewah, aku sering memanen bunga Lili hitam dan mengolahnya menjadi makanan. Selain aku lahap sendiri, beberapa makanan yang aku ciptakan aku jual dengan harga mahal. Tentu saja aku merahasiakan resep yang aku dapatkan. Aku juga tidak menjualnya ke sembarang orang. Dalam sejarah tempat aku berasal, garam merupakan faktor penyebab terjadinya perang di beberapa sudut bumi di masa lampau. Aku tidak mau terjadi pertumpahan darah karena kecerobohanku sendiri.
"Gruuu!"
"Ah apa kau mau ikut? Atau kau merasa cemburu karena Putri Corona menyukai kelinci itu?"
"Gruuuuu..." tuan Kono merintih pelan.
"Kau lapar rupanya. Mari sama-sama berjuang kalau begitu, aku mengandalkanmu!"
Arus sungai tidak terlalu deras, hanya saja suhu air terasa sangat dingin. Tuan Kono bertugas menemukan ikan memanfaatkan indra penglihatan dan pendengarannya yang tajam. Mencari riak air atau pergerakan ikan yang berenang liar. Dia menunjukkan arah ikan dengan menekuk ekor dan satu kaki ke depan bak anak panah. Aku jadi mengingat episode kartun klasik saat ia melakukannya.
Tugasku sendiri adalah menggiring ikan ke pinggir sungai, menjebak ikan menuju tempat yang lebih dangkal, kemudian menangkapnya menggunakan kandang bambu yang sebenarnya tidak dibuat untuk menangkap ikan.
"Kerja bagus tuan Kono! Kita beruntung hari ini!"
Diluar dugaan kami berhasil panen besar. Kerjasama kami sepertinya membuahkan hasil. Atau mungkin ini berkah dari karma baik karena melepaskan White Leaf Rabbit beberapa saat yang lalu. Apapun alasannya, aku sangat gembira karena akhirnya aku bisa pensiun jadi vegan.
Empat ekor ikan besar sepanjang 30 senti, dua ekor ikan sepanjang 15 senti serta sepuluh ekor ikan berukuran kecil. Sungguh menakjubkan, seumur hidupku aku tidak bisa mendapatkan ikan sebanyak ini. Tak lupa juga aku berterima kasih kepada tuan Kono dengan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.
Sebelum petang menjelang, aku dan Tuan Kono sudah kembali ke goa tempat persembunyian sementara kami. Sang Putri langsung menyambut kami dengan wajah yang cerah. Gina di sisi lain masih tampak tertarik dengan kelinci imut yang berada dalam dekapan sang Putri. Apa putri Corona berniat memeliharanya? Aku sih tidak masalah, kelinci itu bisa menjadi persedian makan darurat kami.
"Oh! Kono selamat datang kembali!" Putri berlari lalu melompat memeluk Kono. "Wah Yaz kamu berhasil menangkap banyak ikan!" masih berjongkok, mata Putri yang berbinar menoleh cepat, dia memandang ikan yang ku bawa dalam kandang bambu. "Bagaimana kita mengolahnya?"
"Fiuh, untung saja kamu tidak beranggapan kalau ikan ini lucu. Aku khawatir kamu akan menyuruhku melepaskannya lagi," aku tertawa lemah seraya menggaruk pipiku menggunakan telunjuk.
"Tentu saja tidak Yaz! Aku sesekali juga pernah memakan ikan sisa jamuan kerajaan. Rasanya sangat enak! Walaupun sudah lama sekali aku tidak merasakannya lagi, aku tidak pernah melupakan kelezatannya!"
Malang sekali nasibnya, padahal masih anggota kerajaan, tapi malah makan makanan sisa. Itu pun seperti perkataannya, ia sangat jarang menikmati makanan enak. Luminas benar-benar gila telah membuat salah satu Putrinya yang manis ini menderita. Tenang saja tuan Putri jika keadaan Luminas memburuk, aku tidak keberatan menerimamu menjadi salah satu selirku.
"Ehem... Jadi apa tugasku?" Tanya Gina sembari menginjak kakiku.
"Mungkin kamu bisa menggeser kakimu terlebih dahulu," kataku, tapi sebaliknya Gina justru menginjaknya lebih keras. "Tolong Nona Maid yang cantik! Tolong bantu aku membersihkannya. Aku akan membuat bumbunya!" Aku berusaha menahan rasa sakit sambil menampilkan senyum tulus ke arah Gina.
Gina merebut kandang bambu berisi ikan dariku seraya membuang muka.
"Kalau aku!? Kalau aku!?" Sembari melompat-lompat Putri Corona mengangkat lengan kanannya setinggi mungkin.
"Mungkin Tuan Putri bisa mengawasi perapian. Menjaganya tetap menyala," aku tidak ingin menyinggung perasaannya, jadi aku memberikan tugas yang cukup mudah.
"Siaaaap!!!" Putri merespon penuh semangat. Dia segera berlari menuju perapian yang masih membara. Namun hanya berselang beberapa langkah kemudian, dia berbalik menatapku. "Yaz bisakah kau memanggilku Corona saja, lagipula aku tidak cocok dipanggil tuan Putri."
"Apa boleh?" aku mengerling ke arah Gina.
"Kita dalam pelarian, mungkin lebih baik menyembunyikan indentitas yang mulia. Tapi ingat jangan terlalu dekat! Ingatlah perbedaan statusmu, Yaz si mesum," ketus Gina.
"Baik istriku---Eh maksudku Corona. Kau boleh memanggilku Babe, hunnybunny, Kakanda atau belahan jiwaku, tentu saja Gina juga sama," aku menjatuhkan pandanganku bergantian ke arah Corona dan Gina.
Corona memiringkan kepalanya, sementara Gina memalingkan wajah dengan jutek.
"Yaz saja!" Seru Corona tersenyum manis
Aku meletakkan pelepah daun pada sebuah bidang batu cekung, lalu mulai menggiling Berry Hijau bersama daun-daun beraroma harum yang aku pungut sehari sebelumnya. Butuh kesabaran ekstra karena biji Berry Hijau sedikit sulit untuk dihancurkan. Aku berkali-kali menyeka keringatku, kadang berhenti sejenak akibat pergelangan terasa pegal.
Setelah terasa merata aku mulai menumbuk bunga Lili hitam dalam daun terpisah sampai halus. Gina mengantarkan ikan yang sudah bersih tidak berselang lama setelah aku selesai menumbuk bunga Lili hitam.
Aku mengucapkan terima kasih kepada sang Maid dan mulai melumuri ikan dengan tumbukkan Lili hitam. Aku kemudian membakar ikan yang sudah berbalut Lili hitam selama beberapa saat. Untuk ikan berukuran kecil, aku memutuskan untuk mengasapinya saja. Aku akan menyimpannya untuk bekal kita esok hari.
Sambil menunggu, berulang kali aku mengamati Corona yang menjatuhkan air liurnya. Aku juga menikmati wajah panik Gina yang kesulitan menyeka tetesan air liur Corona. Hanya Tuan Kono yang tampak kalem berbaring di samping White Leaf Rabbit.
Setelah warna ikan mulai berubah menjadi agak kecoklatan. Aku menyajikan jatah makan kita berempat secara merata. Aku tidak akan memberikan makanan kepada si kelinci karena aku tidak terlalu yakin ia akan memakannya. Kelinci di dunia ini juga seharusnya hanya makan sayur-sayuran, iya kan?
Setelah menyajikannya ke dalam wadah daun melengkung yang aku buat, aku menuangkan saus Berry Hijau secara hati-hati. Bau harum menyatu bersama aroma sedap ikan yang terbakar. Air liur Corona pun kian mengucur deras.
"Enaaak! Sangat Lezaaaaaat!!! Yaz mungkin diterima menjadi koki kerajaan!!!" pujian polos Corona datang setelah gigitan pertama. "Aku merasa terberkati. Menjadi pelarian tidak begitu buruk!" meski senyum mengembang sempurna, pada gigitan kedua entah mengapa Corona mulai menitihkan air mata.
"Aku benci mengakuinya, tapi ucapan yang mulia ada benarnya. Ini makanan terenak yang pernah aku makan," balas Gina seraya menjilat bibir. Keremangan tak bisa menyembunyikan senyum manisnya. Ini pertama kalinya ia tersenyum tanpa beban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments