Api menyembur melalui moncong pelantak tubruk yang berhasil menembus pintu benteng. Prajurit terhempas dan terlindas, sementara sebagian lainnya berlarian panik dengan tubuh terbakar. Tangisan, teriakan serta tawa kegilaan semuanya menjadi tumpang tindih.
Di kedua sisi benteng kota, musuh sudah berhasil merapatkan menara dorong ke dinding benteng. Pasukan yang bertahan mulai kewalahan, tak lagi mampu menahan terjangan sabetan pedang dan kampak lawan. Lusinan prajurit jatuh terjerembab dari ketinggian, darah merembes membanjiri parit.
Para penduduk yang tak sempat mengungsi hanya bisa pasrah, meringkuk di dalam rumah atau sudut-sudut ibukota. Kebencian, ketakutan serta keputusasaan menaungi pihak yang rentan.
Meski demikian sisa pasukan kerajaan Luminas masih tak mau menyerah. Pasukan Elite segera bergegas mundur ke dalam istana demi melindungi anggota kerajaan. Para Priest berusaha menyembuhkan prajurit yang terluka, White Knight gagah berani menerobos kerumunan lawan demi mengulur waktu. Mage merapalkan sihir ilusi dan tanah berupaya membuat bingung lawan dengan sisa Mana yang masih tersisa. Sedangkan Archer dan Hunter mengintai pergerakan musuh dengan seksama, sembari sesekali memberikan tembakan bantuan dari menara-menara istana yang tinggi menjulang.
Tapi kenyataannya aksi heroik mereka hanya upaya putus asa. Semua demi melindungi secercah harapan dari kebangkitan kerajaan tersebut suatu hari nanti. Para prajurit yang tersisa dengan senang hati akan menukar nyawa mereka demi hidup pewaris tahta.
Kekalahan Luminas sudah diputuskan, setelah ibukota kerajaan terkepung 700 ribu pasukan bersenjata lengkap.
Malam terakhir untuk Kerajaan makmur, Negara yang mencintai perdamaian lebih dari negara manapun. Kemalangan yang sama sekali tidak diduga siapapun.
"Tapi yah, apa peduliku?"
Mungkin aku akan kehilangan lapak untuk mencari kepingan emas, tapi aku tidak terlalu bodoh untuk ikut-ikutan melindungi kerajaan orang, toh aku juga bukan orang asli sini. Tepatnya--Bukan dari dunia ini.
Beruntung aku tak sengaja menemukan jalan rahasia melalui gorong-gorong. Jalan yang aku temukan ketika berburu Giant Rat beberapa hari lalu. Kabar buruknya aku tidak sempat menyelamatkan barang-barangku yang masih tertinggal di penginapan. Ya daripada mati membusuk di sini, lebih baik aku kehilangan barang yang tidak seberapa.
Dalam hati aku berharap, semoga master Yuri juga bisa selamat. Dia adalah Thief veteran yang mengajarkan aku banyak hal. Dari bagaimana cara bertahan hidup di dunia asing ini, ilmu pertarungan jarak dekat, penguasaan medan ketika berburu, cara mendeteksi bahaya serta berbagai hal penting lainnya. Aku tidak akan pernah melupakannya, dia juga satu-satunya orang yang mengetahui asal-usulku yang sebenarnya.
Yuri merupakan guru yang keras. Aku pernah berulang kali dibanting karena kesulitan menguasai jurus Ankle Break. Saat pelajaran tehnik Backstab pun dia juga mematahkan beberapa tulang rusukku. Mungkin sebagian besar kenangan yang aku ingat adalah rasa sakit, namun aku tahu semua itu sangat berarti. Aku bisa bertahan sejauh ini semua karena jasa-jasanya.
Meski kodratnya guruku adalah seorang wanita, Yuri tak pernah menonjolkan daya tariknya. Aroma alkohol pekat selalu tercium saat berada di dekatnya. Rambutnya hitam, kusut, dan tak terawat. Kelopak mata yang menyerupai panda akibat jarang tidur. Meski begitu beliau adalah wanita baik. Saat aku hampir menyerah, dia selalu memberiku pijaran semangat. Kadang menghapus air mataku saat hari mulai terasa berat. Serta merawatku tanpa bayaran ketika terluka parah.
Jangan mati Yuri. Aku belum menyampaikan perasaanku yang terpendam.
Aku sebelumnya menandai cabang lorong dengan bekas goresan. Jadi seharusnya aku tidak akan tersesat. Aku sudah dua kali berkelok, seingatku jika melewati satu persimpangan lagi, aku akan tiba disaluran air utama.
Tinggal lurus saja, aku akan tiba di sungai Ivis. Jika menyisir sungai sampai ke hulu, aku akan tiba di desa Alben. Tidak ada kedai minum yang bagus di sana, tapi karena letaknya yang dekat dan jarang dikunjungi para pelancong, Alben adalah satu-satunya pilihan bijak. Di desa itu aku bisa mengawasi keadaan terlebih dahulu. Bersantai sejenak tanpa menarik perhatian, mengumpulkan bekal sambil menyusun rencana berikutnya.
Suara jeritan tiba-tiba terdengar. Langkahku pun terhenti seketika.
"Aku tidak perlu ikut campur. Tinggal sedikit lagi aku bisa kabur. Itu mungkin cuma perasaanku saja, itu cuma suara Giant Rat yang lagi kawin," aku berbicara sendiri mencoba meyakinkan diri.
"Jangan sentuh dia berengsek!"
Bunyi kelontang bergema pada sebuah sudut lorong gelap. Suara desingan logam yang berbenturan membuat degup jantung berdebar kencang. Tak lama setelah jeda sunyi singkat, suara rintihan kematian terdengar lantang.
"Liat dulu deh. Siapa tahu ada yang meninggalkan barang berharga," bisikku pelan.
Aku mengaktifkan skill Hiding. Langkahku menjadi begitu ringan, nafasku perlahan melambat. Diselimuti keremangan aku berjalan pelan, tanganku merambat dinding berlumut. Bergerak tanpa secuil suara pun. Mendekat menuju asal suara yang menelisik rasa ingin tahu.
Setidaknya ada dua pijaran api yang tampak dari kejauhan. Aku mulai menunduk dan merangkak penuh kehati-hatian.
Aku mendongak pada sebuah sudut, mataku bergerak cepat, memperhatikan detail dalam waktu singkat.
"Empat Swordman, satu Archer, satu Hunter dan satu lagi pria berzirah hitam," aku kembali menarik kepalaku. "Serius deh mending kabur saja," aku mengelus-elus dada, mencoba menghentikan detak jantung yang tak terkontrol.
Aku mulai menjauh. Ini bukan urusanku. Aku mundur pelan-pelan. Hidupku masih panjang, aku masih ingin menikah. Punya banyak anak, mungkin dua sudah cukup. Satu laki-laki satu lagi perempuan. Setelah itu akan membeli sepetak ladang. Hidup berleha-leha di rumah sampai nunggu panen. Bertengkar dengan istri yang cemburu sama istri tetangga. Memancing ikan saat anakku sudah agak dewasa. Bikin adik lagi. Mengantar anakku kepelaminan. Menghajar menantu yang membuat anakku menangis. Punya cucu, memancing dengan cucuku, dan seterusnya.
"Mungkin setelah itu aku akan kawin lagi," aku terkekeh geli. "Duh! Sakit! perasaan tidak ada tembok di sini tadi?!"
"Memang tidak ada..."
Bahuku seketika bergetar. Aku pelan-pelan mengangkat daguku ke atas. Bodohnya aku. Karena keasyikan nge-halu, aku jadi tidak bisa merasakan keberadaannya. Pria tinggi kerempeng berdiri menghadangku. Sebagian wajahnya tertutup masker dan tudung merah, hanya matanya yang tampak. Sepasang bola mata coklat berkilat yang memancarkan keinginan membunuh yang dahsyat.
"Oh om Assassin! Piye kabarnya om, sehat? Anjay om, tadi itu Skill Stealth ya? Mantap banget om. Cius dah om, aku sama sekali enggak sadar. Kalau aku mah cuma bisa Skill Hiding, itu juga masih level rendah om, maklum om, aku kan Thief abadi. Sebenernya sih pengen banget naik level jadi Assassin om, tapi apa daya om, kita mah cupu. Ini aku jadi Thief aja kayanya bentar lagi mau di DO..."
Aku meracau tidak karuan. Tamat sudah. Ini semua karena rasa ingin tahuku. Jika saja aku tidak bertindak bodoh dan keluar dari ibukota secepatnya, mungkin aku bisa hidup sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Tetapi sekarang malaikat pencabut nyawa berdiri di depan mata.
Tamat sudah. Aku tidak mengira akan dibunuh seorang Assassin. Kalau boleh memilih, aku ingin mati ditangan wanita cantik. Om-om dengan lengan kerempeng dan dekil sama sekali bukan tipeku.
"Apa aku akan mati digorok? atau ditusuk dengan skill Backstab dari belakang? yang manapun sepertinya sama saja," dalam hati aku sudah pasrah.
Anehnya Assassin di depanku masih tidak bergeming. Dia hanya mematung, menatapku dengan sorot mata mengerikan.
"Ya udah aku permisi dulu ya om, aku kebelet boker nih!" aku menarik langkah menyamping bak kepiting sambil menutupi bokongku, berusaha menghindari kemarahan om Assassin. "Duluan ya om!"
"Tunggu dulu bocah pencuri!" jemari tangan Om Assassin yang panjang kerempeng mencengkram tengkukku.
Mampus sudah.
Assassin menyeramkan melemparku dengan kasar. Aku pun jatuh tersungkur tepat di kaki dua wanita cantik yang berdiri gemetaran.
"Aku menemukannya di sana sepertinya dia menguping," ujar om Assassin.
"Pengawal putri? atau mata-mata kesultanan Zahrim?" tanya rekan om Assassin yang sepertinya seorang Archer.
"Tak ada pilihan. Kita bunuh saja," jawab om Assassin dingin.
Gawat aku berada diujung tanduk. Gara-gara salah paham aku bisa mati. Aku tidak mungkin menang melawan mereka semua. Semuanya kelihatan sangat terlatih. Disenggol sedikit saja, aku mungkin bisa langsung tewas. Dan yang tampak paling berbahaya dari kelompok dihadapanku adalah pria berzirah hitam yang hanya mengawasi dari belakang. Apakah dia seorang Dark Knight, Wyvern Rider, atau Blademaster, aku sama sekali tidak bisa menebak. Yang pasti dan sudah jelas levelku jauh di bawah sosok itu.
Kelompok itu sudah menutup jalan untuk kabur. Om Assassin tetap di samping belokan tempat dimana aku bersembunyi sebelumnya. Sementara yang lainnya berdiri menghadang jalan di depanku. Jalan satu-satunya cuma lorong panjang yang berada dibelakangku. Celakanya dari kejauhan terdengar bunyi gemericik air yang berbenturan. Dari suaranya, firasatku mengatakan hanya jurang tinggi dan curam lah satu-satunya pilihan terakhirku. Kemungkinan selamat sangat kecil, belum lagi aku tidak bisa berenang.
"Tunggu dulu om-om sekalian, aku ini cuma kebetulan lewat. Sumpah deh om, aku ini cuma Thief miskin, sampah generasi micin. Liat nih bajuku aja udah bolong-bolong gini," aku dengan bangga memperlihatkan lubang pada bagian ketiak pakaianku. "Kalo engga gini aja om. Damai aja gimana? Jangkrik Bos!" aku merogoh kantung koin yang sebenarnya cuma berisi satu koin perunggu, tapi agar kelihatan lebih berisi, berat, dan supaya tidak kelihatan seperti orang susah aku terbiasa memasukan beberapa krikil ke dalam kantung koin tersebut.
"Micin? Jangkrik Bos? apa maksudnya?" Om Archer tampak bingung. Tapi setelah aku mengepalkan kantung koin ke telapak ya, dia pun tersenyum lebar.
"Makan tuh satu perunggu, buat makan aja engga dapet. Paling dapet minum doang, itu juga cuma air putih. Kembung-kembung dah tuh perut, rasain!" kataku dalam hati sambil menahan gelak tawa.
"Kalau begitu..." Pria berzirah akhirnya mengeluarkan suara. Dia kemudian melemparkan pedang pendek ke arah aku berdiri. Bunuh pelayannya! Kalau kau membunuhnya, aku akan membiarkan kau pergi," pria berzirah hitam menunjuk wanita berseragam Maid yang sedari tadi melindungi gadis dibelakangnya dengan sebilah pisau dapur.
Akhirnya ini kesempatanku. Aku masih bisa hidup. Ada jalan keluar dari kesalahpahaman ini. Lagipula ini bukan kali pertama aku membunuh manusia. Aku pernah menghabisi beberapa bandit sebelumnya. Uhhh. Sebenarnya kalau diingat-ingat itu semua bukan pengalaman yang menyenangkan, aku ingin muntah setiap kali mengenangnya.
Aku memungut pedang didepanku. Lalu kemudian menghampiri wanita berseragam Maid lengkap. Rambut hitam pendek yang menawan. Tahi lalat kecil dibawah mata yang memberi kesan manis. Bibir yang agak tebal dan berwarna merah muda. Dan dia tampak begitu dewasa karena memiliki lekuk tubuh proporsional.
Sayang sekali dia harus mati. Aku harap dia bisa memaafkanku. Aku harap dia juga tidak dendam padaku. Kalau aku tak ada pun, pasti dia juga akan mati ditangan mereka. Aku juga tak terbiasa dengan hal-hal heroik. Dicari kemanapun pasti tidak ada jalan keluar. Ini seperti persimpangan hidup dimana kematian berada pada setiap sisi.
"Tolong terima ajalmu..." Tanganku gemetaran.
Aku hanya perlu menusuk pedang ini tepat di jantungnya. Tunggu aku tidak bisa, itu akan merusak keindahan tubuhnya. Aku mungkin bisa memberikan kematian cepat dengan mengiris tenggorokannya. Tapi kalau aku meleset nanti malah akan membuatnya mengalami kematian yang mengerikan.
Sanggup atau tidak, lebih baik aku coba dulu. Sayang sekali aku tidak bawa racun, padahal bisa lebih praktis.
"Ya ampun ini sulit," aku mendesah panjang. Tanganku kian bergetar hebat.
Sudahlah lupakan saja. Persetan dengan semua ini. Kalau ingin mati, setidaknya aku bisa mati dengan keren. Seorang Thief juga setidaknya punya satu atau dua kebanggaan.
"Kalian bisa berenang tidak?" bisikku pelan.
"Apa?" wanita pelayan bingung.
"sttt!! Jangan keras-keras... Bisa berenang tidak?" aku mengulang pertanyaanku dengan nada agak jengkel.
"Bisa!"
"Kalau begitu, tolong selamatkan aku ya," bisikku lagi.
Aku merogoh kantung tersembunyi dalam celanaku, tepatnya didalam celana dalamku. Satu bom asap, dan satu lagi bom berdaya ledak sedang. Harganya masing-masing satu keping emas, cukup mahal. Tapi tentu saja nyawaku lebih berharga. Aku membuang pedang terkutuk itu ke tanah.
"Maafkan aku om-om sekalian. Sepertinya aku tidak bisa mengikuti perintah kalian," semua mata tertuju padaku. Himpunan pandangan keji yang dipenuhi amarah kini mengincarku. "Bahkan untuk seorang Thief ampas, punya kebanggaan untuk dilindungi. Aku hanya merenggut emas, bukan nyawa orang!"
Aku membanting satu bom tepat didepanku. Asap putih menyebar cepat. Aku tersenyum kecil dan lalu menepuk bokong si pelayan cantik, dia pun langsung menjerit.
"Tunggu apa lagi?!Ayo cepat lari!" pekikku sambil berlari ke arah belakang.
Mereka berdua mengikutiku. Pintu keluar ada di sana, tepatnya lima puluh meter di depanku sekarang. Tebing curam. Kemungkinan tulang patah, tenggelam, atau koma karena dinginnya sungai di awal musim dingin. Tetapi mari lupakan itu semua, aku akan bertaruh. Semoga saja bisa selamat.
"Kalian lompat duluan, tapi ingat jangan lupa tolong aku!"
"Apa maksudmu?" Pelayan cantik masih kebingungan.
"Aku tidak bisa berenang!"
Aku merasa sangat malu. Aku tahu yang ingin pelayan itu katakan hanya dengan sekilas membaca raut wajahnya; Serius seorang Thief tidak bisa berenang? Berenang itu kemampuan dasar bertahan hidup loh! Thief macam apa coba. Najis banget, payah banget. Mampus saja mendingan.
"Haah...Haah... Cepet banget si om larinya!"
Sementara aku terus berlari mati-matian, aku menyadari keberadaan om Assassin yang hampir mengejar. Bom asap sejak awal bukan trik efisien saat dihadapkan dengan profesi Assassin. Aku jadi tak punya pilihan selain membiarkan pelayan dan gadis yang bersamanya berlari jauh mendahuluiku.
Backstab. Om Assassin langsung melancarkan serangan andalannya. Tusukan tepat ke arah vital yang pasti akan langsung membuat lawannya terkapar. Gerakan yang sangat halus itu bahkan bisa ia lakukan sambil berlari. Seperti dugaanku Om Assassin memang bukan orang normal.
"Tapi sayang sekali om..."
Backstab juga merupakan jalan jurus andalanku. Aku tahu dengan baik dimana belati Om Assassin akan ditusukkan. Memanfaatkan momentum sepersekian detik, aku menggeser pijakanku agak ke kiri. Hasilnya lengan om Assassin terjepit di ketiakku.
"Ambyar deh om baunya, aku udah engga mandi selama seminggu, tidak sabunan selama setahun, udah gitu engga pernah pake deodorant selama sepuluh tahun," aku tidak bohong karena di dunia ini harga masuk pemandian umum cukup mahal bagi Thief gembel seperti aku, harga sabun cuma terjangkau bagi kalangan bangsawan atau petualang veteran, dan didunia ini tidak ada tuh yang namanya deodoran.
Om Assassin langsung goyah dan menjatuhkan belati miliknya, dia tak kuasa menahan bau limbah beracun yang berasal dari ketiakku yang super jorok.
Tak membuang waktu, aku pun membetot tangan Om Assassin yang satunya lagi. Menaruh lengan kerempeng di atas bahuku, dan dengan sekali hentakan ke depan, aku membanting Om Assassin dengan kekuatan penuh.
Om Assassin jatuh terjungkal. Tapi pastinya itu tidak akan melukainya. Aku cuma ingin membuatnya sedikit terkejut. Serangan Backstab yang kedua kalinya pasti akan membunuhku. Aku pun tak punya pilihan selain memanfaatkan kesempatan semaksimal mungkin. Sambil tersenyum aku menyelipkan "Hadiah" perpisahan.
Penghujung jalan sudah di depan mata.
Setelah pelayan dan gadis yang bersamanya melompat, anak panah mulai berterbangan. Aku menghindar dengan susah payah. Beruntung dari lusinan anak panah yang melesat nyaris semuanya tak menemui sasaran, sisanya lagi hanya menggores bahu dan betisku. Sedikit perih, tapi aku masih bisa berlari.
Om Assassin kembali bangkit. Dia sepertinya sangat marah. Dia semakin bernafsu untuk membunuhku. Malangnya, "Hadiah" sudah terlanjur aku selipkan pada kantung pakaian yang ia kenakan. Dan tanpa dia sadari, hidupnya telah berakhir.
"Hasta la Vista, BABY!" teriakku sebelum melompat.
Ledakan bergema keras. Hembusan angin dahsyat mendorong tubuhku keluar dari mulut gorong-gorong. Lidah api yang menjalar bahkan mampu membakar sebagian pakaianku. Ragaku pun terjun bebas menuju riak-riak air yang membentuk kabut tipis.
Aku berhasil kabur dengan selamat, tapi ini belum selesai.
Aku tidak bisa berenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Hmmm
Kayak panjang banget ngab, ente buat 1 chp berapa kata?
2022-11-15
1