Hari Pertama

Di kamar mandi aku bermonolog seorang diri. Jantungku sudah berasa tidak sehat, dia melompat-lompat kesana kemari. Tidak tahu harus bahagia atau bersedih, beliau adalah kriteria pemuda yang kupinta pada sang pemilik alam tetapi beliau adalah kekasih kakakku dan kakakku bukan meninggalkan beliau tapi hanya menunda kembali pernikahannya. Air mata ini kembali meleleh, apakah aku hanya sekedar pengganti dalam hidup beliau karena kakak mempermalukannya. Pantaskah aku bersanding dengan gus Izdi yang seorang pemilik pesantren, seorang dokter, seorang usahawan muda. Aku bukanlah siapa - siapa. Aku hanyalah seorang santri yang baru tamat Madrasah Aliyah yang ingin meneruskan kembali ke jenjang berikutnya. Namun entah akan berlanjut atau tidak karena pernikahan ini.

" Sayang ... Masih lama?" suara Gus Izdi dari luar. Aku kemudian segera mencuci muka, biar beliau tidak menunggu terlalu lama. Akupun keluar dari kamar mandi.

" Sudah gus ... Monggo kalau mau menggunakan kamar mandi," ucapku tanpa menatapnya

" Aku ingin mengajakmu keluar sebentar mumpung masih pagi." ucapnya saat aku lewat di sampingnya. Aku akhirnya menatap beliau.

" Mau kemana sepagi ini?" tanyaku penuh selidik.

" Ingin mengenal istriku lebih jauh lagi," jawabnya singkat dan dia memegang telapak tanganku.

" Gus ... Sebentar aku belum memakai niqob." ucapku padanya dan dia mengangguk mengizinkan aku memakainya. Dia masih saja menatapku. Aku merasa aneh saat dia memandangku seperti itu.

"Sudah, " ucapku yang membuyarkan lamunannya.

" Baiklah ... Ayo!" jawabnya. Dia kembali menggenggam tanganku. Aku hanya terus mengikutinya. Keluarga besarku menatap kami yang berjalan beriringan.

" Ma, Pa ... Kami ijin keluar, setelah selesai kami akan kembali!" pamitnya pada orang tuaku. Semua orang di ruangan ini tersenyum pada kami. Rencana kepulanganku adalah ingin berpamitan kepada orang tuaku untuk kembali bersekolah karena aku diterima di Universitas Islam. Tetapi malah jadi seperti ini, bagaimana kelajutannya kuliahku. Ini benar-benar di luar kehendakku, takdir apa yang sedang kujalani. Belum selesai selisih paham antara kakak dan aku. Sekarang calon suaminya menjadi suamiku. Sebenarnya doa mana yang membuat garis jodoh kami bertemu.

" Masih melamun lagi? Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?" tanya gus Iz padaku, kali ini embel-embel kata sayang sudah tidak dia sematkan. Mungkin karena aku kurang respon. Ini adalah hal aneh bagiku meskipun aku mengagumi beliau.

"Banyak, " jawabku spontan. Gus Izdi langsung menghentikan mobil yang kami kendarai. dia kini menatapku, dia mencari jawaban atas jawabanku tadi.

" Coba jelaskan padaku apa yang kamu pikirkan. Kita memang orang asing yang bertemu dalam sebuah pernikahan tapi ikatan ini sakral dan suci. Aku tidak akan pernah mempermainkannya," ucapnya serius padaku. Aku menghela nafas panjang dan memejamkan mata. Aku memberanikan diri untuk bertanya sesuatu padanya.

" Apakah mas masih mencintai kak Fatimah saat ini?" tanyaku mengawali keingintahuannya. Dia nampak mengambil nafas dan menerawang ke depan.

" Apa yang harus kukatakan padamu, kami sudah dekat selama bertahun-tahun mungkin rasa itu tak bisa hilang dalam sekejap. Pasti membekas di sini," ucapnya sambil menunjuk kearah dadanya.

" Ucapan yang tadi setelah akad padaku?" tanyaku lagi padanya.

" Itu adalah kenyataan bahwa kamu sangat cantik, Allah siapkan istri terbaik untukku. Sebenarnya aku merasa tidak pantas untukmu karena kamu menghindariku," jawabnya lagi.

" Mas biarkan hubungan kita mengalir apa adanya, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Aku menyayangi kalian berdua, jangan biarkan hubunganku dengan kakak tambah jauh. Aku sudah lelah dalam situasi ini," jawabku padanya.