Keputusan

"Bismillah ... Bagaimana nak fatimah? Apakah khitbah putra umi diterima?" pertanyaan umi menggema di ruang tamu. Fatimah nampak ragu dan gusar. Namun kedua tangannya disentuh oleh ibunya agar fatimah lebih tenang.

"Insyaallah pinangan mas Izdi saya terima ... Bolehkah saya mengajukan beberapa syarat?" Jawab fatimah

" Apakah itu nak? Jika putra kami sanggup maka insyaallah tidak jadi masalah," jawab aba izdi

" Jangan pernah berpoligami dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun. Meskipun saya mencintai beliau tapi syarat ini adalah yang pertama. Beliau boleh menikah lagi ketika saya sudah tidak di dunia ini lagi." ucap fatimah tegas tanpa sedikit keraguan. Izdi hanya terseyum dan menjawab semua ketegasan fatimah.

"Baik saya akan memenuhi syarat tersebut, maka sayapun mempunyai keinginan atas syarat itu. Menikahlah besok dengan saya supaya dosa saya berkurang karena selalu melihatmu dalam keadaan tidak halal. Bantulah saya mengurangi dosa ini." ucap izdi dengan serius. Kali ini fatimah melongo mana mungkin dia secepat itu untuk memajukan pernikahan.

"Mana mungkin mas Iz kita menikah secepat itu, sedangkan persiapan belum kita buat. Apakah tidak terlalu buru-buru." jawab fatimah dengan lantang. Semua orang sementara menyaksikan dibiarkannya calon kedua mempelai beradu pendapat.

"Kita menikah secara agama sambil mempersiapkan peresmian secara kenegaraan. Islam tidak mempersulit sebuah pernikahan, sudah 3 tahun aku menantimu dan membiarkan hatiku salah." jawab Izdi dengan tegas

Orang tua fatimah akhirnya mencoba untuk menenangkan putrinya. Agar acara hari ini berjalan lancar.

"Nak ... Gus Izdi hanya ingin kamu halal baginya. Dia putra pesantren pahamilah tanggung jawabnya sebagai putra pak yai dan bu nyai. Fatimah ini sudah yang terbaik, cobalah mencerna perkataan gus Izdi dan permintaannya. Beliau mencintaimu hingga beliau rela menunggu dan berdosa selama 3 tahun," ucap mama.

"Baiklah ma ... Aku setuju. Kita laksanakan acaranya besok. " ucap fatimah yang enggan panjang lebar karena disitu banyak orang yang menghadiri. Dia tidak ingin malu dan mempermalukan orang tuanya.

"Alhamdulillah.... Barokallah." semua orang di dalam ruangan bertahmid ketika mendengar jawaban fatimah. Izdi tersenyum pada fatimah, pun sebaliknya.

"Pak kyai dan rombongan, monggo istirahat di pavilliun kami. Nanti akan ada pelayan yang membantu keperluan jenengan semua," semua orang mengangguk dan pak yusuf mengantarkan rombongan keluarga gus izdi ke pavilliun untuk beristirahat.

Aku yang sedang menatap kearah halaman jadi melihat rombongan bu nyai dan pak yai ke pavilliun jadi bertanya-tanya. " Kenapa ke pavilliun?"

Gus Izdi yang menoleh kesekitar dan mendapati wardah sekilas tanpa cadar sekilas kemudian berlari ke dalam kamar karena merasa dilihat oleh gus izdi.

"Kenapa berlari? Apa baru saja dia tak memakai cadarnya," batin izdi, ia terus berjalan menyusuri halaman rumah menuju pavilliun.

Di tempat lain ...

" Ma mana mungkin aku menikah besok. Diapun tak berjanji untuk poligami. Ini terlalu cepat ma, aku juga masih usia 24. Ayolah ma bantu fatimah memecahkan masalah ini." ucap fatimah

"Nak tadi kamu sudah mengiyakan permintaan izdi mana mungkin saat ini kamu sudah berubah pikiran. Fatimah kamu seorang dokter yang profesional kenapa untuk keputusan menikah menjadi sulit bagimu. Tidakkah kamu paham yang izdi katakan. Nak janganlah membuat kami khawatir atas sikapmu. Mama sudah menuruti semua yang kamu minta termasuk perihal adikmu. Maka jangan lagi, keputusan ini kamu yang membuat maka bertanggung jawablah atas apa yang kamu ucapkan nak, menikahlah dengan Izdi." ucap mama panjang lebar.

Aku yang berada ditangga mendengar semua ucapan mama hatiku seperti diterpa genderang yang sangat tajam. Sakit. Air mata ini tanpa ijin kembali meleleh.