bab 4

Saat di perjalanan, Isyah merasa sangat lapar. Perutnya keroncongan tak henti-hentinya. Ia hanya bisa diam, pipinya memerah menahan malu. Amit, yang duduk di depan, mendengar dengan jelas suara perut Isyah. Ia menghentikan motornya di depan sebuah kafe.

"Bang, kok berhenti?" tanya Isyah sambil turun dari motor Amit.

"Banyak bicara dan bertanya kau ini, ikut saja," ucap Amit dengan sangat dingin, suaranya keras dan bernada ketus. Ia masuk ke kafe, dan Isyah ikut di belakangnya.

Mereka duduk di bangku VIP yang dipesan oleh Amit. Amit juga memesan beberapa makanan.

“Sebenarnya Bang Amit ini baik, tapi dia dingin kayak kutub utara,” batin Isyah, menatap wajah Amit yang selalu terlihat datar.

Isyah menatap orang-orang di sekelilingnya. Mereka tampak menatap tajam kearahnya. Isyah berpikir mungkin karena ia masih mengenakan seragam sekolah berwarna abu-abu dan ia juga berjalan dengan laki-laki dewasa yang berusia 26 tahun.

Setelah makanan sampai, mereka berdua langsung memakan makanan masing-masing sampai habis. Setelah itu, Amit langsung mengajak Isyah pulang. Padahal, Isyah masih sangat kenyang.

“Dasar kutub utara, tidak mempunyai hati. Baru juga selesai makan udah di ajak pigi aja,” batin Isyah dengan nada kesal.

Setelah mereka sampai di rumah, Pak Ben menyambut Isyah dengan hangat.

“Isyah, kamu ganti baju saja di kamar kamu ya,” ucap Pak Ben yang tengah duduk sambil memeriksa berkas-berkas penting.

“Baik, Pa,” jawab Isyah sopan.

“Eh, tunggu. Kau tahu dimana kamar mu berada?” tanya Amit dengan sangat ketus. Isyah langsung menatap kearah Amit.

“Tidak tahu, Bang,” ucap Isyah dengan sangat malu-malu. Sontak saja Amit mengusap kasar wajahnya.

“Aku akan mengantarmu,” ucap Amit yang berjalan menuju atas. Kamar ketiga di rumahnya ada di atas, bersebelahan dengan kamar Aril.

“Ini yang aku mau, aku mau Amit dekat dengan Isyah. Sayangnya kamar kosong di sebelah Amit rusak. Kalau tidak, aku pastikan mereka akan semakin dekat,” batin Pak Ben, senyum licik tersungging di bibirnya.

Setelah sampai di dalam kamar, Amit langsung bergegas pergi sebab ia masih banyak pekerjaan di Kantor. Sedangkan Aril sudah kembali ke Kantor sehabis mengantar Papanya pulang tadi.

Isyah mandi dan melaksanakan Sholat Dzuhur di kamarnya. Setelah selesai, ia tertidur pulas, dengan masih mengenakan Mukenah dan masih berada di atas Sajadah Sholat miliknya.

Oke, berikut lanjutan ceritanya:

 

Sore hari, Aril pulang ke rumahnya. Ia berniat akan memanfaatkan kesempatan untuk mempermainkan Isyah.

“Aku akan mempermainkan dia saja sebagai pemuas nafsuku. Aku akan memanfaatkan kepolosannya,” batin Aril, matanya berbinar dengan nafsu.

Aril masuk ke dalam rumah lalu ia langsung membuka pintu kamar Isyah dengan perlahan. Ia melihat Isyah sedang Sholat Ashar di dalam kamar.

“Ternyata dia muslim sekali. Tidak apa-apa, aku hanya ingin bermain-main dengan anak yang masih polos hanya itu saja. Aku tidak akan mengambil keperawanan miliknya. Aku juga tidak sejahat itu,” batin Aril, mencoba menenangkan diri sendiri.

Aril masuk ke dalam dan ia mengunci pintu kamar Isyah. Lalu, ia duduk di atas kasur milik Isyah. Setelah Isyah selesai Sholat, ia langsung menghampiri Aril.

“Ini kamar Isa, Bang, dan kenapa mengunci pintu kamarnya?” tanya Isyah, suaranya bergetar sedikit ketakutan. Ia berdiri di depan Aril.

Aril tersenyum. Lalu, ia menarik tangan Isyah sehingga Isyah terjatuh di atas tubuhnya.

Aril langsung melahap bibir ranum milik Isyah dengan sangat lembut. Isyah merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Aril merasakan kalau Isyah belum pernah melakukannya.

Isyah hanya diam saja saat Aril melahap bibirnya. Ia sama sekali tidak membalasnya.

Isyah tersadar dan langsung bangun sambil mengelap sudut bibirnya yang terasa basah.

“Manis sekali, ini kali pertama untuk mu bukan?” tanya Aril sambil mengelap bibirnya yang basah.

“Iya, dan kau sudah merenggutnya!” ucap Isyah dengan suara bergetar, matanya meneteskan air mata.

Aril langsung memeluk Isyah. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk melecehkanmu, tapi aku mencintaimu dan aku ingin kita berpacaran." ucap Aril sambil mengelus punggung Isyah.

"Hah?" Isyah tercengang, matanya terbelalak tak percaya.

"Iya, bukankah kau dan Amit tidak berpacaran? Maka kita yang akan pacaran tanpa sepengetahuan Papa." jelas Aril. Isyah terdiam, pikirannya berputar cepat.

"Tidak, aku tidak mau." tolak Isyah dengan tegas.

"Baiklah, aku akan menunggumu sampai kau siap." ucap Aril sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Sekarang keluar!" teriak Isyah dengan suara lantang, menunjukkan kemarahan. Aril langsung keluar dari kamarnya.

Isyah menjatuhkan tubuhnya di kasur sambil mengusap bibirnya. Ia merasa sedih dan kecewa. Ciuman pertamanya sudah direnggut oleh abang angkatnya. Kini ia sudah tidak bisa memberikan ciuman pertamanya untuk suaminya nantinya.

....

Aril masuk ke dalam kamarnya. Ia langsung mandi sambil bernyanyi, merasakan kepuasan atas ciuman pertama dari Isyah.

“Aku jadi penasaran, aku ingin lagi dan lagi bibir ranum itu,” ucap Aril sambil mengusap bibirnya.

Setelah mandi, ia langsung keluar. Alangkah terkejutnya ia melihat Amit ada di atas kasurnya.

“Ada apa?” tanya Aril dengan sangat takut akan tatapan mata dari Amit.

“Kau, jangan merusak masa depan anak orang,” ucap Amit dengan sangat tegas, suaranya bergetar dengan kemarahan.

“Tidak, aku hanya mencium dia saja tidak lebih,” ucap Aril dengan sangat gugup sebab Kakaknya tersebut sangat tahu akan sikapnya.

“Ingat, dia adikmu jadi jangan perlakukan dia seperti seorang ja lang!” ucap Amit yang berlalu pergi meninggalkan Aril.

“Huuu, dia selalu tahu apa yang aku lakukan seperti seorang peramal saja,” ucap Aril yang menatap kepergian Amit.

Amit berdiri di depan pintu kamar Isyah. Ia mengetuk-ngetuk pintu kamar Isyah. Tak berselang lama, akhirnya pintu dibuka. Amit langsung masuk ke dalam dan duduk di sofa sambil menatap kearah Isyah yang terlihat sedih.

“Jika Aril melakukan hal seperti itu lagi, katakan saja padaku dan aku tidak ingin dia melecehkan mu,” ucap Amit dengan sangat cepat.

Isyah terkejut.

“Bagaimana dia tahu? Padahal pintu terkunci. Apa dia seorang indigo? Dia bisa melihat apa saja. Bahkan kalau aku sedang mandi,” batin Isyah heran.

“Kau mendengar ku?” ucap Amit yang melihat Isyah melambun.

“Ha, iya aku mendengar Bang Amit bicara,” ucap Isyah dengan sangat gugup.

Oke, berikut lanjutannya:

 

Amit berlalu pergi, meninggalkan Isyah yang masih tercengang. "Dia seperti anak indigo, dia bisa melihat apa saja." ucap Isyah yang menutup pintu kamarnya dan ia juga menguncinya.

Tak lama kemudian, Fia menelepon Isyah melalui video call.

📱Kak Fia.

"Hay adik, apa kabar?" tanya Fia dari telfon, senyum ceria terpancar dari layar ponsel.

"Baik, baru aja kita bisa tadi siang lo, masa udah tanya kabar." ucap Isyah sambil tersenyum.

"Bu, enak disana?" tanya Erla yang berada disana. Erla memang selalu bermain ke rumah Pak Salam sebab Pak Salam adalah Kakeknya.

"Enak, kalian kapan-kapan kemari ya?" ucap Isyah.

"Besok kami juga udah pindah kali..." ucap mereka bersamaan.

"Udah dulu ya, aku mau mandi ni." ucap Isyah yang memutuskan sambungan teleponnya sebab ada yang mengetuk pintu kamarnya.

Tok. Tok. Tok.

Isyah membuka pintu, dan terkejut melihat Amit berdiri di depan pintu.

bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!