Asisten desainer

“Apa!?” ucap spontan Kanaya sambil menengok ke arah Fedrik yang kala itu wajahnya sudah sangat dekat sekali dengan Kanaya membuat mereka pun akhirnya saling tatap tanpa bicara.

Setelah beberapa saat kemudian, Fedrik pun langsung melangkah menjauhi Kanaya dan kemudian berkata, “Aku gak mau tahu. Pokoknya seperti itu saja. Jika kamu masih menolak, maka—”

Fedrik pun langsung melangkahkan kakinya dan kemudian menelepon Difan.

“Halo, Fan. Tolong kamu sampai pada bagian HRD kalau gaji pegawai yang bernama Ka—,”

Ucapan Fedrik tiba-tiba saja langsung dipotong oleh Kanaya yang mengatakan, “Tunggu dulu, Pak. Baik. Saya akan terima hukuman saya. Asal Bapak tidak memotong gaji saya.”

Fedrik pun tersenyum mendengar ucapan Kanaya dan di saat yang bersamaan, terdengar Difan bertanya, “Ya Bos. Ada apa dengan pegawai yang berinisial K ini?”

“Gak jadi. Sudah lanjutkan pekerjaanmu,” perintah Fedrik yang kemudian langsung menutup teleponnya.

Sesaat setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Fedrik pun berkata, “Baik. Kalau begitu sudah aku putuskan kalau kamu yang akan menjadi asisten desainerku. Tugasmu membantuku memberikan saran dan ide serta tidak lupa, kamu juga harus menciptakan karya desain terbaikmu sendiri. Setelah itu, bukan hanya itu, gajimu akan aku naikkan 20% dari gajimu sekarang. Bagaimana?! Bagus bukan hukumannya?”

Mendengar ucapan Fedrik yang panjang kali lebar seperti itu, Kanaya pun hanya melongo seperti orang bodoh.

Sementara itu, Fedrik yang melihat ekspresi wajah Kanaya ini pun langsung melemparkan sembarang kertas yang dia buntal ke arah Kanaya sehingga membuat Kanaya pun terkejut.

“Gimana?” tanya Fedrik lagi.

“Oh. Hem, baiklah kalau begitu. Tapi aku juga punya syarat,” ucap Kanaya mencoba melakukan tawar menawar dengan Fedrik.

Tanpa banyak basa-basi, Fedrik pun langsung bertanya, “Apa syaratnya?”

“Syaratnya hanya satu, Bapak tetap membiarkan saya berada di bagian saya sekarang ini. Bagaimana?” tanya ganti Kanaya.

Fedrik pun terdiam mendengar persyaratan yang Kanaya minta hingga beberapa saat kemudian Fedrik berkata, “Baik. Tapi jika sewaktu-waktu aku membutuhkanmu, kamu harus siap kapan pun.”

Kini giliran Kanaya yang terdiam sejenak lalu kemudian menyahut, “Setuju.”

Fedrik pun tersenyum mendengar jawaban Kanaya.

“Nah, kalau begitu kamu kembalilah bekerja,” perintah Fedrik.

Sesuai dengan yang diperintahkan, Kanaya pun kembali ke Pantry. Namun saat di tengah perjalanan, dia merasa kalau ada satu hal yang dirasa tidak benar. Tapi dia masih belum menemukan apa itu.

“Ah. Sudahlah,” gumamnya yang kemudian meneruskan langkahnya.

Sementara itu di saat yang bersamaan dan di tempat yang berbeda, Fedrik pun tanpa disadari tersenyum teringat ekspresi Kanaya saat mendengar dirinya menjelaskan tentang apa hukuman yang akan diterima Kanaya tadi.

Di saat Fedrik sedang tersenyum-senyum seorang diri ini, tiba-tiba saja Difan datang dan melihatnya.

Baginya, melihat bosnya bisa tersenyum seperti ini adalah hal yang sangat langka sekali terjadi setelah mengingat apa yang sudah terjadi pada Bosnya tersebut.

“Bos?!” sapa Difan.

Mendapatkan sapaan seperti itu, Fedrik pun tersadar dan dia kemudian berkata, “Ya, Fan. Ada apa?”

“Justru aku yang tanya, Bos ada apa kok senyam-senyum sendirian kayak begini? Apa ada hal lucu yang Bos ingat?” tanya Difan.

“Oh. Gak ada kok. Gak ada yang sedang aku ingat,” sahut Fedrik mengingkari apa yang sebenarnya terjadi.

“Oh,” ucap Difan singkat.

“Oh ya. Ada apa?” tanya Fedrik.

“Hem begini, Bos. Pihak penyelenggara lomba memberi tahu kita kalau batas waktu pengumpulan sketsa tinggal tiga hari. Mereka meminta agar kita secepatnya menyerahkan hasil sketsa yang akan di lomba kan,” ucap Difan.

“Oh,” ucap singkat Fedrik.

Mendengar satu kata 'oh' dari mulut Bosnya ini, Difan pun protes dengan bertanya, “Kenapa cuma oh aja sih Bos? Terus sekarang apa yang harus kita lakukan?”

Fedrik pun terdiam sebentar lalu mengambil ponselnya.

“Halo, kamu pulang kerja nanti jangan pulang dulu. Temui aku di ruanganku,” perintah Fedrik yang pastinya pada Kanaya.

Setelah mengatakan hal itu, telepon pun langsung ditutup dan Fedrik pun berkata, “Dah beres.”

Mendengar kata 'Dah beres', Difan pun bingung dan akhirnya bertanya, “Maksudnya dah beres?”

“Ya dah beres masalah yang tadi kamu khawatirkan,” sahut Fedrik.

“Ha? Kok bisa? Memangnya tadi bos telepon siapa?” tanya Difan.

“Nanti juga kamu tahu sendiri. Yang pasti dia yang bakalan menyelesaikan masalah kita. Ok?!” ucap Fedrik yang kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda.

***

Di Pantry...

Sesaat ketika sampai di Pantry, Kanaya pun langsung mengambil segelas air mineral dan mencoba berpikir kembali.

Sementara Qila yang sudah terlebih dahulu ada di Pantry ini pun memperhatikan gerak-gerik Kanaya.

“Kan, lo kenapa? Gimana tadi sama Bos besar?” tanya Qila.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Kanaya pun langsung melihat ke arah Qila dan berkata, “Ah lo, Qil. Lo udah bikin gue ada dalam masalah.”

“Maksud lo?” tanya Qila bingung.

“Eh tahu gak?! Gara-gara sketsa yang kemarin gue buat, si Pak Bos kasih gue hukuman tahu gak?!” ucap Kanaya.

“Hukuman? Kok bisa? Lha kan sketsa itu milik lo, terus kenapa lo malah di kasih hukuman sih?! Emang hukumannya apa?” tanya Qila heran.

Kanaya pun terdiam sejenak lalu kemudian menyahut, “Hukumannya itu gue dijadiin asisten Desainer-nya.”

Mendengar jawaban Kanaya, spontan Qila pun langsung menceletuk, “Dasar Oneng. Itu sih namanya bukan hukuman tapi keberuntungan buat lo. Terus?”

Kanaya pun lagi-lagi tampak terlihat diam. Walau cukup masuk akal apa yang di katakan oleh Qila, tapi tetap saja Kanaya merasa kalau ada hal yang salah di sini. Tapi hingga sekarang, dia masih belum menemukan apa itu.

Melihat Kanaya hanya terdiam saja, Qila pun langsung berkata, “Kan, kok diem aja? Terus lanjutannya gimana? Lo terima kan?”

“Eh.. iya, Qil. Gue terima kok. Hanya saja, gue merasa seperti ada yang salah di sini. Tapi apanya, gue sendiri belum tahu jawabannya,” ucap Kanaya.

“Sudah. Lo mending gak usah banyak berpikir. Cukup syukuri dan jalani aja apa yang seharusnya dijalani, Ok?!” ucap Qila sambil menepuk pundak Kanaya dan kemudian pergi untuk melakukan pekerjaannya.

Sementara Kanaya yang ditinggal sendiri ini pun masih tetap berusaha berpikir. Mencari jawaban tentang di mana letak kesalahannya.

***

Sore hari pun tiba, seperti biasa, Qila dan Ciko selalu mengajak Kanaya main terlebih dahulu. Namun berhubung dia sudah terlanjur diminta untuk datang ke ruangan Fedrik, akhirnya dengan berat hati Kanaya pun menolaknya.

Sesampainya di ruangan Fedrik, Kanaya pun bertanya, “Ada apa bapak menyuruh saya kemari?”

“Oh. Kamu sudah datang. Silakan duduk di sana dan kerjakan pekerjaanmu,” perintah Fedrik sambil menunjuk ke arah sebuah meja dan kursi lengkap dengan peralatan menggambar.

Kanaya pun bingung dengan ucapan Fedrik. Dia menoleh-noleh antara ke arah meja yang disiapkan oleh Fedrik dengan melihat ke arah Fedrik.

“Emangnya apa pekerjaanku di dalam ruangan ini, Pak?” tanya Kanaya bingung.

Fedrik yang kala itu sedang mengerjakan pekerjaannya ini pun akhirnya menghentikan sejenak aktivitasnya dan berkata, “Sudah tidak usah banyak tanya. Kamu duduk di sana dan buatkan aku satu gambar sketsa. Ok?!”

“Hah?”

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!