Bab 4 - Bimbang Untuk Pergi

Sang ayah menggelengkan kepalanya. "Hei!! Ingat kakak mu sudah mengeluarkan banyak uang untuk keberadaan mu nak," ucapnya sembari mengusap rambut Lusi.

"Anak ayah yang paling cantik. Tidak apa-apa kamu berangkat saja, Ayah di sini baik-baik saja lagipula kan ada Agus yang akan menemani ayah," imbuhnya menenangkan sang anak.

"Ayah yakin?"

"Ayah sangat yakin nak, justru ayah ingin kamu sukses di masa depan. Tidak merasa kesusahan lagi karena ayah tidak mampu memberikan anak-anak ayah yang kalian inginkan," ucapnya seraya menghela nafas panjang.

"Yah, kami tidak mengharapkan apa-apa sama ayah. Justru kak Amber, kak Sinta, kak Arya dan aku sangat beruntung bisa mendapatkan orang tua seperti ayah," ucap Lusi seraya tersenyum pada sosok pahlawan yang berada di hadapannya.

"Sudah! Sudah! Cepatlah kau tidur kamu pasti lelah. Cepatlah ke kamarmu," pinta sang ayah lalu mendorong pelan agar sang anak masuk ke dalam kamarnya.

Lusi hanya tersenyum melihat tingkah sang ayah, Lusi tahu ayahnya berusaha menahan air matanya karena Lusi masih ada di sampingnya.

Lusi pun membalikkan badan menuju kamar seraya meninggalkan sang ayah di teras rumah.

Dua minggu kemudian ... ponsel Lusi berdering nyaring di atas ranjang kamarnya. Lusi yang berada di ruang tengah segera berlari menuju kamar untuk mengambil ponselnya yang berbunyi.

"Nomor tidak di kenal?" ucapnya saat melihat panggilan tidak dikenalnya. Lusi pun mengangkatnya. "Halo ...?"

"Halo ... apa betul ini mbak Lusi?"

"Iya saya sendiri."

"Ini saya mbak, mas tekong yang mengurus surat-surat mbak Lusi," ucapnya di seberang sana.

"Oh, iya. Kenapa mas?" tanya Lusi.

"Begini bak, mbak berangkatnya besok malam nanti sore saya akan menjemput mbak Lusi jam empat sore ya."

DEG!!!

'Kenapa harus mendadak begini.' batin Lusi.

"Kenapa harus mendadak begini mas? Saya kan belum menyiapkan barang-barang bawaan saya," tanyaku sedikit kesal.

"Iya, mbak karena di bandara ada aturan ketat jadi mbaknya agar bisa lolos di bandara harus berangkat tengah malam besok," ucapnya menerangkan.

Lusi mengusap wajahnya seraya memijat pelipis yang terasa pusing tiba-tiba. "Baiklah, kalau begitu terimakasih mas."

Lusi pun langsung memutuskan hubungan ponsel dengan laki-laki yang menelfon nya. Gadis itu terduduk di ranjang memikirkan apa yang harus ia katakan pada sang ayah. Lusi pun keluar untuk menghampiri ayahnya.

"Ayah," panggilnya saat melihat sang ayah sedang makan.

"Lusi, sini ... kamu mau makan nak? Ayah ambilkan ya," sahutnya seraya menyodorkan piring ke arah Lusi.

"Aku masih kenyang yah, ayah makan saja."

"Em yah? Tadi kakak yang mengurus surat-surat ku menelpon, dia bilang bahwa keberangkatan ku besok malam dan dia akan menjemput ku jam empat sore nanti," terang Lusi pada sang ayah.

"Bagus dong itu nak, biar kamu secepatnya bertemu dengan kakak-kakak mu di sana," ucapnya.

"Tapi pak-" belum selesai bicara, sang ayah telah memotongnya.

"Bapak tidak apa-apa Lusi," ucapnya memotong ucapan sang anak.

"Sekarang kamu beres-beres pakaian yang ingin kamu bawa sana! Nanti ayah bantu selesai ayah selesaikan makanan ayah dulu."

****

Selesai semua dengan barang yang di bawa. Lusi menidurkan dirinya dengan menatap langit-langit kamar yang tak lain adalah genting berwarna oren dengan kayu sebagai penahanannya.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi Lusi pun tertidur karena rasa lelah menyerang gadis itu.

Paginya Lusi bangun untuk membeli sarapan karena gadis itu tidak bisa memasak. Inilah alasan mengapa gadis itu mengatakan bahwa dirinya hanyalah beban keluarga karena tidak bisa memasakkan makanan untuk ayahnya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!