Goal demi goal tercipta di gawang mereka. Ane, Rudy dan Aan semakin liar dan biadab dalam memborbardir dan membobol gawang yang dikawal oleh Bharata, Sigit dan Arief. Bahkan saking gembiranya Aan sampe bilang. Total sudah tujuh kali kami membobol gawang mereka.
Tanpa balas. Bahkan untuk masuk ke daerah pertahanan kami aja mereka hampir gak bisa lakuinnya. Mereka terlihat lemah dan gontai hari ini. Bagai onta tua yang menunggu mati.
“Mana Bharata sama Sigit cuma segini nihh, hahaha,” ucap Aan remeh.
Remeh menatang sambil telentang, nyabutin upil pake tang terhadap Bharata dan Sigit. Bharata dan Arief meliat semacam keraguan dalam diri Sigit pada pertempuran saudara kali ini. Karena dengan kekuatannya Sigit harusnya mampu mengalahkan Abi, Aan dan Rudy dengan mudah.
Sebagaimana yang dulu dia lakukan pada para tentara Orc di Trilogi film The Lord Of The Rings. Serta para siluman di Kera Sakti. Sama halnya dengan Bharata. Dengan badannya yang gagah, dan wajahnya yang bisa menjadi sepuluh. Sigit harusnya bisa ******* kami seperti dia ******* pasukan kera pada saat negerinya diserang oleh Rama dan Hanoman.
“Git ente kenapa lemes banget? sakitkah? ambeyen ente kambuhkah?” tanya Arief.
Dengan kelemah lembutan, keramah tamahan dan kebijaksanaannya yang mendayu-dayu seperti aliran kali Serayu. Sigit hanya diam, tanpa kata dan memamerkan wajah tanpa dosa. Sambil sesekali mengeluarkan senyuman gigi kuningnya.
Sedangkan Bharata menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Mencoba memikirkan cara licik. Untuk mengalahkan kami, sampai kami berpikir jika lebih baik mati daripada bermain bola melawan Bharata.
Sungguh keji. Memang sungguh durjana teman yang satu ini. Iblis sudah merasuki akal sehatnya.
“Lu kenapa Git keluarin aja semua kekuatan lu. Apa yang lu pikirin? lu takut bumi rusak dengan kekuatan lu itu? jangan khawatir, kerusakan itu bisa dipulihkan dengan Dragon Ball. Daripada lu abis di cengin sama Aan kayak gitu," ucap Bharata.
Dengan politik adu dombanya. Tapi tetep aja Sigit gak bergeming. Dia tetap diam seribu bahasa. Entah apa yang bisa membuatnya kembali bersemangat. Apakah tahta, harta, ataukah janda.
Ahh, tapi Sigit sudah lama meninggalkan hal itu semua. Dia tidak silau akan dunia seperti dulu. Dia sekarang lebih memilih kehidupan yang sepi menyendiri dipojokan layaknya guci antik. Kadang sambil bermain kembang pasir.
Baru sekitar kurang lebih satu jam kami bermain. Tiba-tiba muncul segerombolan anak SD yang setelannya kaya kuli. Ini anak SD dari negara mana?
Gede-gede banget, ane aja sampai kalah gedenya, padahal ane kelas tiga SMA. Mereka hitam (itu udah pasti), dekil (apalagi), bekeringet (udah keliatan) dan berlendir (bisa jadi). Awalnya kami tidak menghiraukan kedatangan mereka yang kurang lebih berjumlah enambelas orang.
Tapi ada seorang anak yang berlari ke tengah lapangan deketin Rudy dan berkata, "Ngadu yuuk, Bang,” ucap anak yang paling tinggi gede diantara mereka.
Rudy yang mendengar hal itu cuma bisa nyegir kuda, cengangas-cengeges sambil menunjuk ke arah Sigit, selaku Pemimpin dan Pemibina. Namun tanpa diduga, Sigit dengan semangat yang berkobar mengiyyakan ajakan anak SD tersebut. Bahkan saat anak SD itu mengajak untuk taruhan Sigit tambah semangat lagi.
Alasan Sigit adalah jika kita ini sedang berperang, dan yang kalah akan mendapat harta rampasan perang dalam konteks ini berupa uang taruhan tersebut. Allaaahu Akbaaar, ini si Sigit belajar ngaji di mana? Harta rampasan perang disamain sama uang taruhan.
Harta, tahta dan janda sudah dia tinggalkan. Tapi sekarang malah judi. Tadi mainnya lemes giliran diajak taruhan semangat. Ternyata elu lagi butuh duit, Git, ucap ane dalam hati. Gak berani kenceng-kenceng. Kalo ketahuan Sigit. Bisa bahaya.
Kalo dia marah. Bumi akan mengalami zaman kegelapan lagi. Dan jujur aja selain males taruhan karena dosa, ane juga udah gak ada uang lagi, cuma cukup buat beli aer minum sama ongkos naek angkot. Kalo Bharata juga gak mungkin taruhan, karena buat makan aja dia pelit apalagi buat taruhan.
Bharata, dosanya dipinta aja gak dikasih, apalagi dipintain duit buat taruhan. Arief juga gak mungkin, dia yang paling tershaleh diantara kami, bahkan ada yang bilang jika dia adalah salah satu komandan pasukan perang kami nanti pada saat melawan Yahudi di akhir zaman. Arief gak mungkin mengotori tangannya untuk berbuat hina seperti ini.
Sedangkan Rudy dan Aan juga gak mungkin, selain karena semua hal yang menyangkut taruhan itu dosa. Mereka juga memiliki harga diri yang tinggi. Mana mungkin seorang Rudy, Sang Pangeran dari Bikini Bottom dan Aan calon Gubernur dari Wakanda mau bermain ngelawan anak SD yang pipis pun masih kurang lurus.
Namun tanpa di duga dengan liar Sigit ngeluarin semua uang yang ada dikantongnya. Berkata lantang, “Nihh pake duit gue aja.”
Gubrakkk.
Astaga. Si Sigit niat banget. Sigit terima ajakan taruhan itu dan rela uang pribadinya sendiri yang buat taruhan. Kami yang melihat fenomena ganjil itu akhirnya mengiyakan. Karena dia adalah Pimpinan kami.
Sabdanya, adalah perintah dan kewajiban untuk kami ikuti dan lakukan. Sekarang justru malah kebalikannya. Sigit yang semangat, kami malah kurang bergairah seperti kurang darah. Pertandingan yang menentukan nasib alam semesta pun dimulai, yang tanpa kami sadari kami hanya berenam.
Sedangkan mereka berenam belas, ditambah lagi. Mereka ternyata membawa beberapa boneka santet yang mereka siapkan. Pertandingan berakhir dengan siapa yang bisa mencetak enam goal terlebih dahulu. Pertandingan dimulai.
Kami ubah formasi sesuai kemauan masing-masing, bukan sesuai dengan kebutuhan. Arief maunya jadi keeper, yaa udah jadi keeper. Ane Cuma bisa jadi centerback, dan setia di posisi itu. Selebihnya yang bikin pusing. Sigit, Bharata, Aan, Rudy pada jadi mau striker semua.
Alhasil formasi kami jadi berantakan karena pola serang yang sporadis tanpa teroganisir dari lini tengah. Lini belakang juga jadi bulan-bulanan lawan. Namun hebatnya kami dalam jangka waktu beberapa menit sudah mencetak tiga goal. Sigit 2 dan Aan 1. Petaka terjadi setelahnya.
Para pemain cadangan mereka sudah bersiap-siap, dipinggir lapangan, dan pembantaianpun akan segera terjadi. Mereka membagi tim mereka ke dalam tiga bagian. Tim easy. Tim medium dan tim hard. Barusan yang kami menang itu, baru melawan tim easy.
Mereka lalu mengganti enam orang pemain sekaligus. Termasuk keeper. Orangnya tinggi-tinggi. Bahkan ada tiga orang yang tingginya sampe sama kayak Arief. Ketika mulai pertandingan, hasilnya sudah bisa ditebak.
Aan sama Rudy di posisi striker gak kompak. Mereka masing-masing egois pengen goalin. Sedangkan Bharatam udah mulai kecapean. Lalu kondisi ane. Jangan ditanya.
Ane udah keluar busa dari mulut, karena saking capeknya. Sementara Sigit, udah mulai ngomel-ngomel nyalahin timnya. Dia masih kuat dan semangat main. Aan sampe berucap, “Git, lu daripada ngomel-ngomel mending kasih sedikit energi kehidupan lu. Buat Abi sama Bharata. Mereka udah pada kecapean itu,” pinta Aan.
Sambil menyembah dan setengah rebahan di pinggir lapangan. Terlihat Aan juga sudah mulai kewalahan. Keringat buntetnya bercucuran dari mata air keteknya.
“Ahh biarin aja,” pekik Sigit singkat.
Membuat Aan merasa dikhianati dan tersakiti. Harus selalu kau tahu, Aan lah hati yang telah kau sakiti. Hasil dari pertandingannya sudah bisa ditebak. Mereka berhasil menyamakan kedudukan menjadi imbang 3 sama.
Arief yang menjadi keeper sampai robek celananya. Karena digigit oleh salah satu anak SD tersebut yang sempat mejadi serigala pada saat Arief menahan tendangan tanpa arahnya. Kami sudah dalam posisi terseok-seok.
Namun, tidak cukup sampai disitu. Mereka kembali melakukan pergantian pemain. Kali ini tim hard yang turun ke arena. Mereka melakukan enam pergantian pemain. Tidak termasuk keeper.
Orangnya selain tinggi-tinggi badannya juga kekar-kekar. Kami sempat ragu. Apakah benar mereka anak SD? Setelan mereka lebih mirip tukang gali kubur yang sudah berusia matang dan siap untuk menikah.
Hasilnya sudah bisa ditebak. Pertarungan ini tidak seimbang. Seperti enam orang melawan enam belas orang. Sigit masih kuat menandingi tenaga dan kekuatan-kekuatan mereka. Aan dan Rudy, seperti kena santet.
Aan parisesnya tiba-tiba muncul di kepala, membuat dia kena vertigo. Sedangkan Rudy, setiap dapat bola, perutnya mendadak mules. Tapi begitu itu bola gak sama dia. Mules itu hilang dengan sendirinya.
Kondisi kami bertiga juga bisa dibilang parah. Ane yang tadi udah kecapean sampe berbusa. Kini sudah mengeluarkan darah dari semua lubang yang ada di tubuh, karena saking kecapeannya. Bharata, bingung apa yang harus dia lakuin, menolong teman-temannya apa mencetak goal.
Akhirnya karena keragu-raguan dan kebingungan itu, Bharata malah stress, dan malah goyang kayang di tengah lapangan. Sementara Arief yang menjadi benteng terakhir kami dari fitnah, sudah tidak sanggup lagi. Dia menyerah dalam do’a dan keputus asaan.
“Bii. Kalo terjadi apa-apa sama ane dalam pertandingan ini. Tolong bilang ke Ibu ane. Ane sangat sayang kepadanya," ucap Arief.
Dengan lirih, saat dia kebobolan lagi. Akhirnya itu geng anak SD menang dengan skor telak 6 – 3. Sigit pun menyerahkan uang taruhan itu dengan penuh kehinaan. Dia berjanji akan membalas dendam atas kekalahan ini, bahkan sampai anak keturunannya yang ke tujuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments