Sungguh malam syahdu yang menyenangkan, tidak sekalipun dia menyebut-nyebut nama mantan kekasihnya. Dia bercerita tentang pekerjaannya yang sedang sangat dia nikmati, dan berharap dapat membangun karir yang baik di sana.
“Nahh, Zid, aku sudah menceritakan tentang kehidupan kerjaku. Sekarang bagaimana denganmu?” tanyanya dengan lembut padaku.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya itu, lalu menundukkan kepala sambil meminum minumanku.
“Hmm, aku sedang tidak ingin membicarakan tentang pekerjaanku. Kita beralih ke topik lain saja dehh," ujarku dengan sedikit terbata-bata.
“Ouw begitu,” ucapnya.
Dengan wajah yang agak kurang senang dengan jawabanku tadi.
“Lalu ke depannya kamu mau apa?” tanyanya lagi.
“Aku ingin mewujudkan cita-citaku menjadi pemain sepakbola professional di Juventus. Yaa cuma itu yang benar-benar ada di pikiranku,” ucapku.
“Jadi, kamu serius untuk menjadi pemain sepakbola?” tanyanya lagi, sambil mengerutkan dahi.
“Iyya,” ucapku singkat.
“Apakah kau sudah memikirkannya dengan baik?” tanyanya lirih.
“Tentu saja," kataku dengan mantap.
“Karir di sepakbola itu kurang lebih hanya sepuluh tahun loo, Zid. Sekarang saja usiamu sudah menginjak 23 tahun. Ditambah lagi tidak jaminan untuk kehidupan di masa tuanya,” kata Risa.
Apa yang dia ucapkan itu sedikit membuatku bergidik ngeri. Dia tidak meremehkanku seperti yang lainnya tapi, dia memikirkan masa depanku di dalam sepakbola.
“Tapi, itulah pilihanku, Sa. Aku berusaha dan selalu ingin menjadi apa yang telah aku inginkan dari diriku, karena aku tidak akan bahagia jika menjadi apa yang orang lain inginkan dari diriku. Aku ingin menjadi diriku sendiri, dengan segala kelemahan dan kekuatanku.”
“Lalu apakah itu akan terwujud?” tanyanya dengan ketus.
“Pasti,” jawabku dengan yakin, “aku sudah ikut seleksi yang pernah aku ceritakan padamu, dan sekarang tinggal menunggu hasilnya.”
“Bila kamu lolos nanti apa kamu akan pergi ke luar negeri?”
Pada pertanyaannya yang ini, aku mendengar nada suaranya yang mulai melemah dan matanya begitu sangat terfokus menatapku.
Aku menjawabnya dengan yakin. “Iyaa, karena itu sudah impianku, dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku dapat itu.”
“Walaupun harus meninggalkanku?” tanyanya dengan wajah sedih.
“Jika itu memang harus terjadi, yaa mau bagaimana lagi,” jawabku padanya.
Tanpa melihat matanya yang tertuju tajam padaku.
“Jadi itu impian dan sekaligus ambisimu yaa?”
“Bukan ambisi, lebih tepatnya impian. Impian seorang pria.”
“Impian seorang pria?” tanyanya lagi.
“Yaa benar. Impian seorang pria. Seorang pria pasti selalu bermimpi tentang kebebasan dan apa yang dia inginkan dari dirinya, walaupun impiannya itu jauh dia akan me ....”
“Dan terkadang pria itu tidak menyadari bahwa impiannya itu ternyata sudah sangat dekat dengannya,” ucap Risa.
Belum selesai aku meneruskan kata-kataku. Risa sudah memotong kata-kataku dengan ucapannya. Ucapan yang menjadikanku merasa orang yang terlalu berambisi.
Sampai menutup semua kemungkinan hal yang terbaik, yang terjadi padaku dalam waktu yang dekat. Karena terlalu memikirkan impianku yang jauh. Malam itu aku mengantarnya pulang sampai ke rumahnya.
Setelah perbincangan kami tadi, dia tiba-tiba menjadi terdiam sepanjang perjalanan. Hal itu membuatku tidak bisa tidur semalaman. Memikirkan perkataan-perkataannya saat makan tadi.
Kata-kata yang dibalut penuh harapan, sehingga aku berpikir jika ternyata dia juga mulai punya perasaan terhadapku. Setelah sebelumnya dia pernah menolakku satu kali, pada saat aku menyatakan perasaanku padanya. Saat itu dia hanya menganggapku sebagai teman, dia tidak mempunyai perasaan apapun terhadapku.
Tapi, nyatanya. Mungkin benar kata-kata orang bijak terdahulu, Dunia pasti berputar. Sekarang aku bisa merasakan jika dia juga mencintaiku. Aku sangat berharap itu akan segera terwujud.
Pagi dini hari, sekitar pukul 03:00 dia mengirim pesan chat wa, dia juga tidak bisa tidur sejak pulang makan malam tadi. Ciri khas dari chat-nya adalah selalu menyingkat kata sulit yang hanya dia sendiri yang tahu. Jika aku berbalas chatting sama dia, bisa-bisa sampai pagi aku tidak tidur sama sekali.
Lebih baik untuk kali ini tidur saja, dan besok pagi baru balas dengan alasan tadi malam sudah ketiduran. Yaa aku rasa itu lebih baik, daripada aku kena omel dari atasanku karena mengantuk di kantor. Satu Minggu setelah kejadian di malam itu, kami semakin dekat.
Seperti tidak ada penghalang lagi bagi kami. Hampir setiap sore aku menjemputnya pulang kantor dan sesekali juga mengajaknya makan malam di luar. Komunikasi yang semakin intens, kedekatan yang terkadang membuat wajah kami saling memerah.
Membuatku ingin berkomitmen pada hubungan kami ini. Namun, yang jadi pikiranku. Jika aku menyatakan cintaku padanya dan lalu dia menerimanya. Berarti urutan impian dan harapanku di Tahun ini, berubah urutannya.
Urutan ketiga menjadi kedua. Tapi, mungkin inilah kesempatanku. Aku tidak boleh melewatkannya, aku pernah kehilangannya satu kali. Untuk kali ini aku harus bisa mendapatkannya.
Ditambah lagi itu mungkin bisa menutupi kecemasanku terhadap hasil dari seleksi Juventus yang sampai saat ini belum juga ada keputusannya. Akhirnya. Di hari Minggu, tanggal 15 Juli tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengajaknya ke sebuah tempat yang cukup romantis bagiku. Yaitu di halaman kampusku, tempat kami berdua pertama kali berkenalan.
Aku menyuap security di malam itu agar mengizinkanku untuk setidaknya selama satu jam mengeluarkan seluruh rencanaku untuk menyatakan cinta padanya. Untungnya kali ini security yang berjaga kenal dekat dengan temanku, jadi dia sudah sedikit tahu tentangku. Di bawah pohon rindang, diterangi redupnya lampu taman yang ada di halaman itu aku menyatakan perasaanku padanya untuk yang kedua kalinya.
“Risa,” ucapku padanya dengan lirih.
“Selama aku hidup, hanya ada dua hal besar yang aku temukan dalam hidup ini,” lanjutku berkata padanya.
Dia hanya terdiam dan tersenyum malu melihat ucapanku yang terbata-bata dan salah tingkah di depannya. Aku melanjutkan ucapanku dan sangat penuh harapan. Agar dia mau mendengarkannya dan menerima apa yang aku ucapkan nanti.
“Pertama aku menemukan sepakbola dalam hidupku. Dalam sepakbola aku merasakan ketenangan dan cita-citaku."
Aku menelan ludah sebelum melanjutkan. "Lalu yang kedua," ucapku dengan wajah yang semakin memerah.
"Aku menemukanmu. Di dalam pesonamu aku merasakan indahnya cinta dan bersyukur pada Tuhan telah menciptakan mata ini untuk melihatmu serta hati ini untuk mencintaimu.”
Semua kata-kata itu keluar mulus tanpa cela dari lidahku, dan aku merasakan kedamaian yang sangat ingin aku rasakan sebelumnya.
Dia hanya tersenyum manis ketika aku berkata, "Hehehe, lebay."
“Loo aku serius,” ujarku.
Wajahnya memerah ternyata dia juga gugup.
“Risa," ucapku lebih lanjut.
“Maukah, kamu menjadi bagian dari cerita hidupku yang indah?” tanyaku kepadanya.
Aku sudah mengeluarkan semua kata-kata yang ingin aku ucapkan di malam yang indah dan tenang ini. Sekarang tinggal menunggu dia untuk menjawabnya, dan aku berharap yang terbaik dari jawabannya kali ini. Dia mulai mengarahkan pandangannya ke arahku. Perlahan aku melihat bibirnya yang kecil berkata.
“Hmm, bagaimana yaa. Jawabannya harus sekarang yaa?” tanyanya.
“Iya, aku sudah menunggu saat-saat ini sejak lama," ucapku.
“Tapi, sebelum itu aku ada pertanyaan,” ujarnya.
Lagi-lagi seperti ini, hampir sama seperti waktu dulu. Bertele-tele, dan akhirnya dia menolakku. Gawat, aku harus tetap berpikir positif. Semua tanda yang dia berikan kepadaku belakangan ini adalah tanda jika dia juga mencintaiku. Aku harus yakin akan hal itu.
“Pertanyaan apa itu?” tanyaku dengan tidak sabar.
“Aku ingin bertanya, apakah cintamu itu mempunyai kaki?” tanyanya.
“Hmm, maksudmu?”
“Yaa aku hanya ingin bertanya. Apakah cintamu mempunyai kaki?”
“Memangnya mengapa dengan hal itu?” tanyaku balik.
Aku balik bertanya padanya. Kuperhatikan senyumnya yang semakin merekah diantara bunga-bunga yang ada di taman halaman ini. Seolah-olah mengisyaratkan sesuatu.
“Karena cintamu itu telah berjalan dengan kaki-kakinya dan menjemput cinta yang ada di hatiku," serunya sambil tersenyum.
Senyumannya semakin mengembang saat dia berkata itu, seolah-olah aku melihat mata Tuhan dalam dirinya. Ohh, indahnya. Dia ngegombal loo.
“Jadi, aku diterima?” tanyaku memastikan.
“Yaa, itulah yang bisa aku katakan," jawabnya dengan senyuman semanis madu.
Nyanyian dari langit seolah terbuka dan ikut merayakan senangnya hatiku. Aku berlari mengelilingi taman. Bergaya seperti seorang pemain bola yang sedang merayakan goal-nya ke gawang lawan.
Kemudian setelah itu aku kembali duduk, dan sebagai tanda dari jadian kami. Aku mencium keningnya yang putih bersih dan ditutupi sinar hitam rambutnya. Mencium dengan penuh ketulusan dan mesra.
“Hmm apakah ini termasuk salah satu impianmu di Tahun ini, Zid?” tanyanya padaku.
“Iyya tentu saja, kamu adalah salah satu impianku. Walaupun urutannya agak terbalik dari yang diharapkan, tapi itu tidak jadi masalah," ujarku.
“Maksudnya urutannya terbalik apa?” tanyanya.
“Itu bukan hal yang penting, sayang," kataku.
Itulah kata sayang yang pertama kali aku ucapkan padanya. Aku masih agak gugup mengucapkannya. “Aku yakin itu bukan hal yang ingin kamu dengar. Karena hal itu sangat membosankan," kataku kemudian.
“Hmm yaa sudah kalau begitu. Sekarang kita mau kemana setelah ini?” tanya Risa.
Malam ini, aku mendapatkan cinta dari wanita yang aku inginkan dan itu adalah salah satu impianku di Tahun ini. Awalnya impian ini ada di urutan ke tiga, tapi hidup ternyata memang penuh kejutan. Tidak semua hal yang kita inginkan berjalan sesuai dengan rencana kita.
Terkadang ada hal lain yang terjadi di luar dari rencanan kita. Namun, jika kita bijaksana menyikapinya. Ternyata itu hanyalah alternative jalan dari Tuhan untuk kita mendapatkan yang lebih baik dari hidup ini.
Dua kebahagianku sudah berada pada tempatnya yang tepat di Tahun ini, tinggal mewujudkan impian yang ketiga, yang menjadi impian terbesarku dalam hidup ini. Lalu, pagi pun menyapa. Membuyarkan dan membangunkanku dari mimpi-mimpiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments