“Assalamualaikum, Anggit Anggit. Main bola yuk!" teriak Acil. Di depan pintu rumah temannya yang bercat biru.
“Anggit. Anggit!" Rendy ikut memanggil.
“Git, main bola, Git. Ayoo, Git!" pekik Soni menambahkan.
Sedangkan teman-teman yang lainnya, berdiri menunggu. Mereka semua berusia sekitar sepuluh tahun. Sedang aktif-aktifnya bermain dan berkumpul bersama kawan-kawan. Lalu anak ketua RT, si pemilik rumah tersebut keluar menghampiri teman-temannya untuk membaur dan ikut bermain bola.
Setelah sebelumnya minta izin dulu dengan Ibunya. Ibunya mengizinkan anaknya untuk bermain bola dengan teman-teman sebayanya. Dengan syarat sebelum adzan maghrib tiba, dia harus sudah sampai dirumah. Anggit pun dengan ke sepuluh anak lainnya membaur dan berjalan menuju lapangan tempat mereka biasa bermain. Cuacanya cocok buat main diluar.
Tempatnya enggak jauh dari rumah mereka. Berada di bekas parkiran gedung tua, yang dulunya adalah ruko. Di samping gedung tua ruko tersebut. Ada juga kolam alami kecil beserta rawa-rawa. Biasanya tempat ini jadi spot favorit Bapak-bapak atau anak-anak remaja untuk memancing.
Ikan-ikan seperti sepat pasti ada disini, malah kalo lagi beruntung bisa dapat lele atau gabus. Kemudian mereka pun bermain, karena saking serunya. Hingga hampir membuat mereka lupa waktu.
“Skornya udah berapa, nihh?” tanya Soni kemudian.
“Masih tiga sama,” jawab Anggit.
“Tanggung. Lanjutin yuk!" pekik Jakcson.
“Udah mau maghrib, balik aja yuk!" pinta Soni pada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya yang lainnya pun, akhirnya mengiyakan. Mereka istirahat dulu sebentar. Buat lempengin kaki sama minum. Karena kebetulan di sekitar lapangan itu ada warung kecil yang jual aneka minum-minuman ringan dan pop mie. Beres lempengin badan dan minum-minum bentar. Mereka pun memutuskan pulang.
“Kebelet gue. Mau pipis dulu,” seru Anggit.
Sambil berlari menjauhi teman-temannya, mencari tempat aman untuk pipis.
“Kemana tuhh si Anggit?” tanya Acil.
“Pipis dia, kebelet katanya,” jawab Rendy.
“Gilla, pipis ditempat kayak gini bersihinnya pake apaan? Bersih kagak, mampet iya nanti,” ujar Soni.
“Tau tuhh. Sembarangan amat si Anggit. Gak bisa ditahan sampe rumah aja kali,” ujar Adit.
“Lu panggil dihh, Dit. Suruh pipis dirumah aja,” suruh Acil. Khawatir.
Adit sempat memperhatikan gedung tua itu dengan seksama. “Ogahh, ahh. Lu aja yang manggil. Gue liat gedungnya aja bulu kaki gue udah pada merinding,” katanya.
Sementara Anggit yang di omongin hanya bersikap santai. Anggit dapat tempat sepi di gedung untuk pipis. Dia pun pipis, lalu dengan isengnya dia menulis ejaan namanya di dinding gedung tua tersebut dengan air pipisnya.
Tanpa dia sadari jika teman-temannya sudah meninggalkannya. Waktu maghrib pun tiba, Anggit. Sudah terlebih dahulu sampai dirumah. Lima menit sebelum adzan berkumandang.
Ke esokan harinya. Anggit bangun tidur dengan badan yang pegal-pegal. Semua badan rasanya kayak berat untuk digerakin. Dia berpikir itu cuma efek ringan main bola kemarin, karena kurang pemanasan. Dia pun tidak terlalu menghiraukan.
*Dibawa sekolah dan main, nanti juga hilang*. Pikirnya. Namun, sudah sampai pulang sekolah pun dan sudah dia ajak bermain juga. Pegal di badannya gak kunjung reda. Malah sekarang pundaknya terasa lebih berat, hingga kepalanya menunduk.
Dia bawa tidur siang, tapi hasilnya sama aja. Kondisi itu berlanjut sampai malam hari. Dia pun belum ceritakan hal ini kepada kedua orangtuanya. Dimalam harinya. Setelah waktu Isya. Anggit kedatangan tamu.
Beliau adalah Eyangnya dari Cilacap. Eyangnya Anggit adalah seorang Ustadz yang sangat terkenal di desanya. Konon Eyangnya Anggit juga punya indra ke enam. Dia bisa melihat makhluk-makhluk yang tak kasat mata. Eyangnya sering diminta untuk mengobati orang yang kesurupan, kena santet dan pelet.
Eyang Khasan, panggilannya. Beliau merasa heran. Tumben-tumbenan Anggit ada Eyangnya masih *ngumpet* dikamar. Biasanya baru denger kabar Eyangnya mau datang aja, dia udah langsung nungguin terus di depan pintu.
“Git..Eyang udah sampe ini. Kasih salam dulu sama Eyang!" pinta Ayahnya.
“Iya, keluar dulu bentar, sayang,” ujar Ibunya.
Anggit sebenarnya sedari tadi itu mau keluar. Tapi badannya rasanya berat banget, mau jalan sama diri tegak aja susah. Tapi, akhirnya Anggit pun paksakan keluar, untuk menemui Eyangnya. Anggit berjalan terseok-seok ke ruangan tamu tempat keluarganya berkumpul.
“*Assalamualaikum* Eyang,” ucap Anggit lirih.
Eyangnya menjawab salam dari Anggit. Lalu menatap tajam ke arahnya. Sambil bertanya. “*Koe kenapa, Nggit*? (Kamu kenapa, Nggit)?” tanya Eyangnya.
Anggit beserta Ayah dan Ibunya, heran, penasaran. Kenapa Eyang Khasan bisa menatap tajam, seperti marah kepada Anggit. Lalu Eyangnya bilang kepada mereka. “*Ana bocah, gondrong, pasuryan warata, sikile kebak getih. Maneh njaluk ngrangkul karo sampeyan*. (Ada anak kecil, rambutnya panjang, mukanya rata, kakinya penuh darah. Lagi minta gendong dikamu),” ucap Eyangnya.
Ayahnya Anggit yang tahu arti dari bahasa Jawa itu kaget, dan bertanya kepadanya. Apa yang sudah dia lakukan akhir-akhir ini? Anggit pun menceritakannya. Jika sehabis main bola, dia sempat pipis sembarangan di gedung tua, dan tembok dinding tersebut dia tulis namanya pakai air pipisnya.
“*Oalah, Git. Besuk sing ati-ati. Ojo nguyuh sembarangan. Lan yen sampeyan pengin nindakake, moco Bismillah dhisik*. (Oalah, Git. Besok yang hati-hati. Jangan pipis sembarangan. Dan kalo mau ngapa-ngapain, baca Bismillah dulu),” pesan Eyangnya.
Anggit hanya menunduk lesu, lehernya terasa kaku walau hanya sekedar untuk menganggukkan kepala. Akhirnya, Eyangnya minta diambilkan segelas air putih. Air itu dia bacakan do’a. Surat Al Fatihah. Ayat Kursi. Surat Al Ikhlas. Surat Al Falaq. Surat An Nas. Masing-masing sebanyak tujuh kali.
Shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW sebanyak sepuluh kali. Lalu ditutup lagi dengan do’a. Setelah itu diusapkan, mulai dari kepala sampai ke kaki Anggit. Terutama di bahunya, sambil membaca, *Hasbunallah*. Setelah diusap memakai air do’a tersebut.
*Alhamdulillah*, secara ajaib. Atas izin Allah. Beban berat yang ada di bahu dan pundak Anggit menghilang. Badannnya terasa lebih enteng seperti sedia kala.
“Ojo ninggal sholat yoo, Git.\*(Shalat jangan ditinggalkan yaa, Git),” ucap Eyangnya.
Setelah semua itu. Anggit tertidur pulas di malam harinya. Dalam mimpi. Dia seperti berada di gedung tua ruko, tempat dia bermain bola dengan teman-temannya. Namun dia hanya sendiri.
Dia berada, di titik, tempat dia kemarin buang pipis sembarangan. Namun kali ini tulisannya beda. Bukan bertuliskan namanya. Melainkan bertuliskan kalimat. *Berikan aku rumah yang baru*. Dengan warna merah darah. Anggit ketakutan membaca itu. Dia pun hendak berlari menjauh.
Pada saat dia membalikkan badan. Ada sesosok putih melayang tidak jauh dari tempat dia berdiri. Sosok itu menyerupai anak kecil seperti baru berusia sekitar tiga tahun.
Sosok itu terbang melintang dihadapannya. Wajahnya tertutup rambutnya yang panjang berantakan, dan kakinya seperti diikat kuat oleh tambang, sampai ada darah yang keluar menetes. Seketika, Anggit pun bangun dari tidurnya. Keringat mengucur deras dari dahinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments