Tugas dari Atasan

Sore itu, seperti biasanya, Angga pulang menggunakan motor miliknya. Dengan seragam TNI, ia terlihat lebih gagah. Sesampainya di depan rumah, ia turun dari motor dan berkelebat masuk ke dalam rumah.

"Ma! Pak!" Serunya.

"Di belakang, Angga!" Sahut Bu Erina dari arah teras belakang rumah.

"Oh! Lagi pada disini! Kirain bapak sama mama pergi kemana!"

"Ada apa sih Angga? Pulang kerja belum ganti pakaian sudah nyari-nyari bapak sama mama?" Tanya Pak Hendro sambil memberi makan ikan koi yang berada di dalam kolam.

"Ada sesuatu hal yang harus Angga katakan sama bapak dan mama!"

"Sesuatu hal apa, Angga? Ini mama bikin bakwan goreng nih, Angga! Mumpung masih anget!" Tanya Bu Erina sambil menikmati bakwan goreng.

"Tadi atasanku bilang, ada tugas untukku!" Angga mengambil bakwan dan cabe hijau yang berada di atas piring.

"Tugas apa Angga? Kalau ada tugas ya harus dikerjakan dong!" Ucap Pak Hendro.

"Beliau menugaskan aku di Semarang! Besok pagi aku harus berangkat!" Jawabnya sambil menikmati bakwan goreng.

"Ya kamu harus melaksanakan tugas dari atasanmu itu!" Perintah Pak Hendro.

"Kalau kamu pergi, mama jadi kesepian dong, Angga! Baru beberapa hari Yuda sudah meninggalkan mama untuk tinggal bersama istri dan mertuanya! Sekarang tiba-tiba kamu bilang kalau kamu harus pergi! Apa kamu tidak bisa menolak tugas dari atasanmu, Angga?" Bu Erina tampak sedih.

"Ya nggak bisa ma! Tugas dari atasan harus dilaksanakan!"

"Mama kan tidak sendirian! Masih ada bapak! Kalau Dirga, Angga, dan Yuda pergi dan tidak lagi tinggal bersama kita, itu sudah menjadi perjalanan hidup kita, ma! Tidak bisa kalau anak-anak harus tinggal bersama kita terus-menerus! Mereka kini memiliki kehidupan sendiri bersama istrinya! Begitu pula besok kalau Angga menikah! Anggap saja mama belajar bila waktunya kita tinggal berdua tanpa anak-anak, mama jadi tidak kaget lagi! Anggap saja kita sedang menikmati pengantin baru!" Nasihat Pak Hendro. Lelaki itupun mengambil cangkir berisi teh hangat.

"Betul yang dikatakan bapak, ma! Lagi pula Angga dinas di Semarang paling juga cuma seminggu, ma!"

"Ya, sudah ma, pak! Angga mau mandi dulu!" Angga pun berlalu dari hadapan kedua orang tuanya.

"Mungkin ini realita kehidupan yang harus mama hadapi! Pak, Yuda kan laki-laki! Apa lebih baik Yuda kita suruh untuk mengajak Windy untuk tinggal bersama disini?"

"Tidak mungkin Pak Antony dan Bu Lusiana mengizinkannya, ma! Kan Windy itu anak tunggal! Karena kalau Windy tinggal disini, mereka akan tinggal cuma berdua di dalam rumah sebesar itu!"

"Iya betul juga yang bapak katakan! Mereka kan cuma punya Windy!"

"Lagi pula kalau Windy tinggal disini, bapak malu sama tetangga kalau mereka tahu, ternyata istrinya Yuda ternyata adalah seorang tunawicara! Bapak belum siap menerima semua kenyataan itu!"

"Cepat atau lambat tetangga juga pada tahu kalau Windy itu seorang tunawicara! Kenyataan itu tidak perlu lagi ditutupi, pak! Walau bagaimanapun juga, Windy itu sudah menjadi istrinya Yuda! Jadi Windy sama saja sudah seperti anak kandung kita!"

"Iya! Tapi biarkanlah mereka tinggal disana dulu!"

Malam itu, Angga menemui kekasih yang dicintainya, di depan rumahnya yang sederhana.

"Diminum dulu kopinya, mas!" Pinta Dini.

"Iya dek!" Angga pun meminum kopi hitam dalam cangkir di meja yang berada di sampingnya.

"Mas, kamu tumben mendadak kesininya? Nggak seperti biasanya!"

"Iya dek! Aku sesuatu hal yang mau mas katakan!"

"Mas, mau bicara apa? Kayaknya serius banget!"

"Besok pagi aku mau pergi ke Semarang. Aku ditugaskan untuk kesana!"

"Berapa lama mas?" Dini tampak murung.

"Nggak lama kok dek! Paling seminggu."

"Oh ya sudah, hati-hati di jalan ya mas!"

"Iya dek!" Balasnya. Mereka pun mengobrol asyik sambil menikmati angin malam yang sesekali bertiup sepoi-sepoi. Setelah puas memadu kasih dengan pacarnya, Angga pun berpamitan pulang.

Pagi itu, Angga berpamitan pada kedua orang tuanya. Ransel berwarna hitam menghiasi punggungnya dan koper turut menemaninya. Disaat dia sedang berada di teras depan rumah bersama kedua orang tuanya, tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berwarna biru, berhenti tepat di depan rumahnya.

"Itu Yuda!!! Akhirnya, sebelum kamu pergi, Yuda sudah pulang! Mama jadi tidak kesepian lagi!" Seru Bu Erina merasa sangat gembira. Pak Hendro dan Angga hanya berdiam memandangi mobil itu.

Benar saja yang dikatakan Bu Erina, tidak berapa lama, Yuda dan Windy keluar dari dalam mobil itu.

"Assalamu'alaikum!" Salam Yuda yang berjalan bersama Windy.

"Wa'alaikumsalam!" Jawab mereka bertiga.

"Gimana kabarnya pak, ma, mas?" Yuda mengajaknya bersalaman.

"Baik Yud! Kalian sendiri gimana?" Jawab Pak Hendro.

"Alhamdulillah sehat pak."

"Mama dari kemarin kepikiran kamu terus, Yuda! Kamu yang dari kecil selalu selalu tinggal bareng mama, kini begitu kamu kamu tidak lagi tinggal disini, rasanya rumah sangat sepi!"

"Bapak tidak ada lagi lawan debat ya, ma?" Yuda tersenyum.

"Kamu bisa saja, Yud! Tapi bapak kangen debat sama kamu!"

"Iya Yud! Oh ya, kabar kalian gimana? Sudah ada rencana bulan madu belum?"

"Belum ma."

"Lebih baik kalian secepatnya bulan madu! Biar mama cepat punya cucu lagi!"

"Doakan saja ma, biar kita cepat punya momongan!"

"Tanpa minta pun, mama akan mendoakan kalian agar menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah."

"Aamiin ya Rabb! Oh ya, ini ngomong-ngomong Mas Angga mau liburan kemana nih? Bawa ransel sama koper segala?"

"Ada tugas di Semarang."

"Wah, enak ya kerjanya sering keluar kota! Kerja sekalian liburan!"

"Semua pekerjaan pasti ada enak dan nggaknya! Tinggal kita bagaimana menjalaninya! Aku sih bersyukur bisa melanjutkan perjuangan bapak mengabdi pada negara! Masih banyak orang diluar sana yang menginginkan pekerjaan sepertiku! Karena aku tahu dan sadar, semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing! Aku memang nggak bergelimang harta, tapi aku masih bisa bicara, melihat, mendengar! Aku syukuri itu semua!" Celoteh Angga dengan yakin.

"Apa maksudnya kamu bicara seperti itu, Angga?"

"Aku bicara cuma mensyukuri apa yang aku jalani, ma! Ya sudah, keburu ketinggalan kereta! Ma, Yud, Windy, aku berangkat dulu! Ayo pak, kita berangkat sekarang!"

"Yuda, Windy, bapak mau nganterin Angga dulu ke stasiun!"

"Iya pak!" Balas Yuda.

"Hati-hati di jalan pak! Tidak usah ngebut-ngebut!" Pinta Bu Erina.

"Iya. Assalamu'alaikum!" Pak Hendro berkelebat menyusul Angga yang sudah sampai dimobil milik bapaknya. Setelah memasukkan koper ke dalam bagasi mobil, Angga dan Pak Hendro bergegas masuk ke dalam mobil. Dengan cepat mobil itu melaju menuju stasiun Pasar Senen.

"Yuda, Windy, jangan diambil hati semua yang diucapkan oleh Angga barusan ya!"

"Nggak ma! Yuda sudah hafal wataknya Angga! Aku tahu Angga barusan menyindir aku dan Windy! Angga nggak tahu saja, kalau di balik kekurangan yang Windy miliki, terdapat kelebihan yang mampu menutupi semua kekurangannya! Windy adalah seorang istri shalihah! Nggak cuma wajahnya yang cantik! Tapi hatinya juga cantik! Aku bersyukur bisa mempunyai istri sepertimu, dek!" Tanpa malu-malu, di depan mamanya, Yuda mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang.

"Mama juga bersyukur dan bahagia mempunyai menantu sepertimu, Windy! Kamu jangan sungkan-sungkan lagi bapak dan mama! Anggap saja rumah ini seperti rumah kamu sendiri! Karena kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kamu mengerti kan Windy?" Pinta Bu Erina. Windy pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis.

"Kalau begitu, mari kita masuk!" Ajak Bu Erina. Mereka pun masuk ke dalam rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!