Goresan Dendam Istrimu
Bagiku hidup adalah keindahan dan kenikmatan yang tidak pasti. Indah ketika memiliki apa yang diimpikan dan nikmat dalam menjalani detik demi detik waktu yang berputar. Entah sudah berapa banyak mulut yang mengucapkan seberapa beruntungnya hidupku, namun tetap saja aku hanya manusia biasa yang masih ada kata kurang dalam melangkahi setapak jalan kehidupan ini. Julukan keluarga konglomerat sudah sering banget tersambar di telinga. Namun, apapun itu gelar keluargaku ya itu punya ayah bukan hasil kerjaku.
Laila Safa, begitulah nama lengkapku, yang seringkali disapa Laila. Seorang perempuan muda yang saat ini bekerja di startup company sebagai manajer bisnis. Tidak hanya itu, aku juga diberikan sebuah perusahaan tekstil oleh ayah sebagai hadiah ulang tahun ke-17 beberapa tahun lalu. Meski seribu kali menolak, namun ayah tak gentar memaksa agar aku menerima dan menjalaninya. Keputusanku untuk bekerja juga ditentang olehnya, namun aku masih mampu menanganinya. Sehingga saat ini aku memegang kendali dua perusahaan secara beriringan.
Di awal usia 24 tahun, aku bertemu kembali pada cinta pertama, Renald. Ia merupakan pria pintar seangkatan pada jaman kuliah beberapa tahun lalu. Mungkin karena kepintarannya inilah aku jatuh hati padanya dalam diam. Namun, secara tiba-tiba ia menghilang dari pandanganku ketika aku kembali pasca studi dari luar negeri. Rumornya ia pindah ke kampus yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku kehilangan jejaknya kala itu.
Hingga 1 tahun yang lalu, aku bertemu dengannya dalam sebuah konferensi tekstil di daerah pinggir ibukota.
“Lo, Renald bukan ya?” Tanyaku di depan pintu masuk yang baru saja selesai mengisi buku tamu dan mengambil souvenir acara.
“Bu Laila silahkan duduk di bangku VVIP ya,” ucap asistenku yang mengarahkan kedua tangannya ke depan seolah mempersilahkan untuk segera masuk.
“Oke, sebentar Mbak,” ucapku menjawab Tika, lalu mengalihkan pandanganku lagi ke arah mata Renald.
Ia masih terdiam seolah berpikir siapa wanita yang tiba-tiba menebaknya. Ia melihatku dengan teliti, matanya tak berkedip menatapku, dan tak lama ia tersenyum.
“Laila, mahasiswa manajemen Kampus Merdeka?” Tanyanya dengan kelopak mata yang terbuka lebar dan senyum terukir di bibirnya.
“Hahaha iya, untungnya lo masih ingat gue. Coba kalo tidak, kan gue malu ya,” balasku sembari mengajaknya masuk.
Namun, obrolan pembuka tadi terputus karena mulainya acara. Ya, aku tidak bisa berdampingan dengannya, sebab dalam acara ini terdapat tiga tipe undangan berdasarkan jabatan dan segi kepentingan dalam konferensi. Sehingga sulit bagiku untuk bersebelahan dengannya. Aku mewakili perusahaan selaku CEO sekaligus menjadi pembicara, sehingga jenis undangannya adalah diamond dengan posisi duduk di bagian paling depan berhadapan langsung dengan panggung pembicara. Sementara ia merupakan pengusaha menengah dengan jenis tiket silver yang duduk di area belakang.
Selama acara berlangsung, fokusku berantakan karena memikirkan apakah mungkin bisa bertemu dengannya sekali lagi. Ya, tidak muluk-muluk, inginku cukup untuk saling cerita dan berbagi pengalaman pasca kuliah. Sehingga, beberapa kali aku menolehkan kepala ke arah belakang untuk mencari wajahnya dari sekian banyak peserta yang hadir dalam ballroom. Untungnya mata kami tidak pernah bertatapan selama aku mencari-cari keberadaannya.
Pasca kegiatan, aku menyusuri karpet merah menuju jalan pintu keluar. Mataku tak henti berpaling ke segala arah demi mencari sosok pria dengan jas navy, rambut klinis yang tadi sempat ku temui. Mataku seperti memutar seantero ruangan, namun tidak jua ku temukan dia.
“Setelah lama tak berjumpa, dengan mudahnya ia pergi,” desisku dalam hati.
“Ibu, mobilnya udah di depan ya,” ucap Tika yang sedari tadi sibuk menerima telepon koordinasi terkait kendaraanku. Tika mengarahkanku keluar, namun mataku tetap saja seperti mencari sesuatu dalam ruangan itu sehingga langkah kaki sangat amat pelan.
“Maaf, Bu, ada yang sedang Ibu cari disini?” Ujar Tika.
Tika adalah sosok asisten yang sangat paham denganku meskipun ia baru bekerja 1 tahun terakhir, tapi bagiku, ia sudah seperti saudara, sehingga tak pernah ada batas di antara kami. Ia bahkan bisa tahu apa yang sedang aku mau dan pintar mengambil inisiatif, hingga terkadang aku menyebutnya sebagai agen rahasia untuk menuntaskan segala misi yang aku inginkan, salah satunya menyembunyikan adik tiriku selama berada di luar negeri.
“Oh saya mencari teman kuliah saya. Dia terlihat duduk di bagian sini deh tadi. Mungkin udah pulang ya,” tuturku dengan pandangan mata yang terus mencari Renald.
Tika mengangguk, sepertinya ia bingung juga harus merespon ucapanku. Lalu, aku melanjutkan langkah kaki hingga sampai persis di depan pintu besar yang bertuliskan exit door, Tika jalan mendahuluiku untuk membuka lift yang berada kurang dari 200 meter dari pandangan. Namun, ketika kaki kian mendekati pintu lift, seseorang memanggil namaku dari arah belakang, dan terdengar jelas pula hentakan demi hentakan sepatu pantofel yang makin dekat ke arah ku.
“La, Lailaaaaa tunggu………."
Sontak aku membalikkan badan, dan ternyata Renald, pria yang aku cari-cari sedari tadi akhirnya muncul juga. Aku tidak menyangka masih bisa bertemu dengannya.
“Tika, kamu turun duluan dulu aja. Saya ada obrolan sebentar dengan teman. Nanti saya kabari ya,” ucapku.
Tika menganggukan kepala dan menutup pintu lift agar bisa langsung masuk ke dalam mobil yang telah menunggu kami dari tadi. Sementara aku masih harus menyelesaikan pertemuan singkat dengan waktu terbatas berbincang kepadanya, Renald.
“Gue kira lo udah pulang,” ucapku, sembari berjalan mengarahkannya agar ikut melipir di tepi ballroom.
“Tentu saja tidak, gue nunggu lo. Gue bodoh banget kalau tidak memanfaatkan kesempatan untuk bertanya dengan pengusaha hebat kaya lo. Apalagi lo adalah teman gue,” ucapnya dengan tersenyum, sembari mempersilahkanku duduk.
“Hahaha apa sih lo, ya gue menjalankan perusahaan bokap. Jadi, bukan gue yang hebat. Kalo lo mau tanya-tanya mending ke bokap gue aja,” balasku.
“Lo setelah kuliah beneran hilang kaya di telan bumi ya,” tambahku lagi, dengan mengarahkan mataku tepat di depan matanya.
“Bukan setelah kuliah La, lo nya aja yang ikutan exchange. Jadi ketika lo pulang, gue udah ga terlihat, kan?”
Ia mencoba berbicara rileks dihadapanku. Hal itu terlihat dari gestur tubuhnya yaitu dengan cara ia memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya.
“Lo kemana? Bahkan gue coba hubungin lo juga ga pernah bisa setelah gue pulang dari London. Gue di London sama sekali gak bisa main ponsel, ya kehidupannya bangun, makan, kuliah, tugas, dan tidur, ya gitu aja siklusnya. Jadinya, gue belum terlalu sadar kalo ternyata teman gue hilang,” celoteh ku.
“Hahaha ya gue ada, gue cuma pindah kampus aja ke tempat yang lebih pedalaman. Ya biasa deh kemauan orang tua. Setelah lulus, gue buka usaha ini. Masih kecil-kecilan gini, La. Jadinya, gue harus banyak belajar dari lo juga.” tambahnya dengan tersenyum.
Di akhir obrolan kecil, ia meminta kontak pribadiku, katanya hanya untuk saling bertukar pikiran berkaitan dengan bisnisnya. Tanpa pikir panjang, langsung ku berikan nomor ponsel pribadi, bukan nomor admin.
“Lo yakin ini nomor pribadi? Bukannya sekelas CEO tidak boleh sembarang kasih kontak ya?” ucapnya sembari tersenyum.
“Ya, memangnya kenapa Re? Apa yang salah?” jawabku dengan santai.
“Gue kan rekan kerja lo ya mitra kerja lah sebutannya. Biasanya posisi sebagai mitra kerja berhubungannya dengan admin bukan CEO,” ucapnya dengan nada bercanda.
“Oh jadi lo gak mau kontekan pribadi dengan gue? Mau banget melalui admin? Hahaha” balasku dengan tertawa.
“Hahaha, gak dong, La, bercanda aja gue. Berarti malam nanti udah bisa gue kontak ya?” Ujarnya dengan tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Mar doank
Awal yg bagus.
2022-11-29
1
Mar doank
Mampir
2022-11-29
1