Rutinitas di gedung megah perusahaan ternama, sebut saja Tippo Group terlihat sibuk seperti biasanya. Perusahaan dengan sejumlah bisnis di dalamnya termasuk bank, rumah sakit hingga real estate tidak mampu untuk membuat karyawannya berleha-leha.
Di lantai paling atas Dion sudah duduk di meja kerjanya. Ada banyak tumpukan dokumen di depannya. Kemarin dia setengah harian meninggalkan kerja penting ini karena Lily.
Asistennya, Fasa juga ada di sana. Dion menatap sebal Fasa.
Kemarin sepulang dari mengantar Lily, mami dan papi langsung menyuguhinya dengan banyak pertanyaan. Dari ciri-ciri yang disampaikan Fasa, gadis itu pasti Lily. Begitu papi dan mami menyimpulkan.
"Bagaimana keadaan Lily?"
"Apa yang dilakukan penjahat itu pada Lily?"
"Kenapa Lily sampai dikejar-kejar?"
DLL
Bahkan untuk memastikan keadaan Lily, mami segera menelepon Pak Miko. Mami ketakutannya berlebihan , malah berpikir untuk membawa Lily ke RS.
Dan sampai ada perintah. "Kalau kalian sudah menikah nanti, kamu harus melindungi Lily seperti itu. Jangan sampai kamu membuat dia menangis atau terluka. Kalau tidak, kau akan berhadapan dengan mami. Jaga dia seperti kamu menjaga harta yang paling berharga di hidupmu."
Yang anak mami dan papi sebenarnya siapa? Aku dianggap apa? Aku penasaran bagaimana reaksi kalian kalau tahu aku hampir ditonjok Pak Miko kemarin.
Mami juga menggoda Dion. "Kata Fasa, kamu memeluk calon istri kamu dengan erat. Mami jadi penasaran gimana kamu memeluk Lily." Wajah mami berseri-seri membayangkan adegan pelukan.
Calon istri? Cih, dasar si Fasa memang mulutnya nggak bisa dijaga. Kenapa melapor dengan sangat detail coba.
Kembali ke kantor.
Hari ini dia akan fokus pada tumpukan dokumen yang menggunung di depannya. Persetan dengan perjodohan. Toh sekuat apapun dia berontak untuk menolak, keputusan papi dan mami tidak bisa dibantah.
Baru beberapa dokumen yang dia baca dan pelajari, pintu ruangannya dibuka keras oleh seseorang. Dion dan Fasa terlonjak sampai berdiri. Siapa yang sudah berani dan tidak sopan terhadap pemilik perusahaan ini. Mata Dion terbelalak mengetahui siapa yang datang.
"Maaf, Pak. Nona Clara memaksa untuk masuk. Padahal saya sudah bilang kalau Anda sedang sibuk," kata salah satu dari dua sekretarisnya. Mereka terlihat ketakutan karena sorot mata Dion memburu.
Dion memang kaget bercampur marah. Namun cepat-cepat dia menetralkan gejolak emosinya. Dia duduk lagi dan diam. Fokus kembali ke dokumen yang dia pegang tadi. Fasa bingung mau melakukan apa karena Dion tidak memberi perintah apapun.
"Dion..." Nona cantik atau lebih tepatnya tamu tak diundang itu mendekat.
"Sayang."
"Diam! pergilah dan jangan pernah menemuiku lagi."
Fasa dan kedua sekretaris itu terlonjak. Ini pertama kalinya mereka melihat Dion marah dan berteriak sekeras itu.
"Aku tahu kamu marah dengan kejadian yang lalu." Berjalan ke belakang kursi Dion, memeluknya dari belakang. Biasanya Clara akan memeluk Dion kalau Dion sedang marah. Pasti ini berhasil, begitu pikirnya.
"Lepaskan tanganmu!" Hanya berbicara tetapi tidak ada tindakan.
"Aku tahu kamu merindukanku. Sama seperti aku merindukanmu." Clara berbicara di dekat telinga Dion yang membuat bulu berdesir. "Hei kalian. Kenapa kalian berdiri disitu? Keluarlah! Kalian sungguh tidak sopan melihat bos kalian bermesraan."
Melihat Dion tidak bergeming sama sekali, Fasa mengajak kedua sekretaris itu keluar dari ruangan.
"Sayang, kamu maafin aku ya. Mari kita mulai lagi dari awal. Cintaku sama kamu masih sama seperti dulu."
Dion tersenyum sinis. "Kau lupa dengan ucapanku dulu. Kau itu hanyalah mantan busuk yang pantas dibuang ke tempat sampah."
"Sayang."
"Berhenti memanggilku begitu. Itu terdengar sangat menjijikkan. Aku tidak sudi." Intonasi suara makin naik.
"Kamu jangan begitu. Kamu memang berhak marah karena sikapku dulu. Tapi percayalah, hatiku hanya untukmu."
"Cih, lidahmu itu banyak sekali racunnya. Pergi!" Berdiri, membiarkan tangan Clara jatuh dengan sendiri dari pundaknya.
"Tidak sayang. Coba kamu lihat ini." Menunjukkan jari manisnya yang tersemat cincin. "Ini kado dari kamu. Ukurannya sangat pas di jariku." Tersenyum. Berusaha lagi melunakkan hati yang keras itu. "Kamu jangan membohongi perasaanmu, Dion. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu mencintaiku dengan segenap jiwamu. Jadi mana mungkin kamu membiarkanku pergi begitu saja." Clara mau meraih tubuh Dion ke pelukannya, tetapi Dion melangkah menjauh.
Clara tersenyum getir. "Kamu tidak akan bisa melupakanku, Dion. Buktinya setelah setahun kita berpisah kamu masih sendiri."
Ya benar. Dion pernah mencintai Clara dengan segenap jiwa. Tapi itu dulu. Sekarang dia bimbang apakah hatinya bisa menerima kembali setelah penghianatan itu.
Tidak. Aku tidak boleh goyah seperti ini. Sekali dia berselingkuh, kedepannya juga pasti akan mengulanginya lagi dan lagi.
"Sayang, kamu jangan meragukan ketulusanku. Kalau kamu mau menikahi aku, aku sudah siap."
Deg. Menikah? Tadi malam saat selesai makan malam, mami dan papi membahas sekilas rencana pernikahanku dengan gadis penjual bunga itu.
Dion tambah pusing. Di satu sisi cintanya sudah kembali dan di sisi lain dia sudah dijodohkan.
"Kamu tidak perlu memutuskan sekarang. Waktu kita masih banyak. Kalau kamu mau menghubungiku, nomorku masih yang lama. Aku pergi dulu. Aku mencintaimu."
Clara mengecup pipi Dion dan pergi berlalu. Dion terperangah dari lamunannya. Dia merasa mual mendapat ciuman dari Clara walaupun Clara adalah wanita yang dicintainya. Dia mengambil sapu tangan dari saku celananya. Menghapus pipi bekas ciuman wanita itu kuat-kuat sampai pipinya merah, lalu membuang kasar sapu tangan itu ke tempat sampah.
"Maaf Clara. Dulu memang kau kucintai dengan segenap jiwaku. Tapi penghianatanmu membuka mataku kalau kau bukan yang terbaik untukku." Dion pergi ke toilet.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments