Makanan sudah tersaji di meja tempat mereka duduk. Lily segera menyantap makanan itu dengan lahap tanpa perlu menunjukkan rasa jaim. Begitulah dia yang apa adanya. Tidak perlu jadi orang lain. Dia tidak bersuara sedikitpun sampai selesai makan.
"Kau lapar atau doyan makan? Piringmu sampai bersih begitu, dan nggak perlu dicuci lagi sepertinya." Dion menatap piring di hadapan Lily.
Lily meletakkan gelas yang isinya sudah habis diteguk. "Lalu mau bagaimana lagi Pak, aku memang sangat lapar." Mengelap mulutnya dengan tisu.
"Masih lapar?" tanya Dion sambil memperhatikan apa yang dilakukan Lily. Makanan di piringnya setengah juga belum habis. Tetapi Lily, dia balap sekali makan, bahkan dia sampai nambah.
"Nggak Pak. Porsi perutku sudah pas." Menepuk perutnya pelan.
"Kau ini banyak makan tapi badanmu kecil. Bukankah itu aneh?" Dion meletakkan sendoknya karena mungkin sudah kenyang.
"Karena makanan yang kumakan dicerna untuk menghasilkan energi bukan untuk menimbun lemak."
"Pintar sekali kau bicara." Dion meraih gelasnya dan minum.
"Aku memang pintar." Bicara dengan percaya diri.
"Lukamu sudah diobati, kau juga sudah makan." Dion melipat tangannya di dada. "Sekarang katakan, kenapa kau sampai dikejar-kejar preman tadi?" Wajah itu terlihat serius.
Lily nampak terkejut. Ya, dia akan mengingat kejadian tadi seumur hidup. Di mana dia hampir saja dilecehkan orang yang tidak beradab. "Kenapa aku harus menjawab pertanyaan Bapak?" Berusaha untuk tidak menjawab. Karena menurutnya itu adalah hal yang tidak pantas untuk diceritakan.
"Tentu saja kau harus menjawab karena aku terlibat." Suaranya tegas.
"Pak, aku akan menjawab. Tapi berjanjilah kalau Bapak nggak akan menceritakan ini pada Papa." Wajah Lily sedih lagi.
"Aku nggak bisa janji. Kalau ada hal yang mengharuskan aku berkata jujur, aku nggak bisa menyembunyikannya."
"Aku mohon Pak." Wajahnya terlihat memelas.
Dion menghela napas. "Baiklah." Dia menjawab begitu saja. Rasa penasarannya sangat besar walau sebenarnya dia ragu untuk tidak memberitahu Pak Miko.
Lily menceritakan semuanya. Mulai dia berjalan tanpa tujuan karena ingin mencari jawaban atas perjodohannya sampai dia dikejar seperti tadi dan minta tolong.
"Kenapa kau bisa seberani itu berjalan jauh seorang diri dan tanpa tujuan pula? Apa kau tidak memikirkan banyak bahaya di luar sana?" Suaranya tidak terlalu keras tapi yakinlah matanya seperti menghujamkan anak panah.
"Maaf."
Lily hanya menunduk, tidak berani menatap Dion. Dion menjentikkan jarinya tanda memanggil pelayan dan membayar bon.
Kenapa aku harus minta maaf padanya?
"Ayo pulang. Kau tunggu di depan kafe ini. Aku akan memutar balik mobil dulu." Dion berjalan keluar tanpa menoleh atau menunggu Lily membalas ucapannya. Dan Lily hanya mengikuti perintah.
***
Di dalam mobil Lily sangat cemas. Dia sudah memastikan kalau kejadian tadi akan diceritakan kepada papanya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi papa setelah mendengarnya.
"Pak, bisakah."
"Diamlah, aku sedang mengemudi." Dion langsung memotong perkataan Lily.
"Tolong jangan beritahu papa tentang kejadian tadi." Lily bicara cepat tanpa mengindahkan kata-kata Dion tadi dan masih tetap menatap lekat Dion. Dion diam, tidak menjawab permohonan Lily dan tetap fokus mengemudi.
"Pak ...."
Dion mengeram karena Lily tidak mau diam juga. Melihat Dion yang kesal sekali, Lily akhirnya mengunci rapat mulutnya.
Melihat mobil Dion parkir di depan toko, Papa Miko segera keluar. Takut yang datang adalah pelanggan. Tetapi melihat yang turun adalah Lily dan Dion, papa terkejut bukan main. Bagaimana bisa putrinya bersama dengan Dion, begitu pikirnya.
"Bagaimana kalian bisa bersama?" Menatap Lily dan Dion bergantian. "Itu, kenapa jalanmu pincang begitu? Kakimu kenapa?" Papa mulai panik.
"Oh, ini Pa. Tadi aku jatuh di jalan. Untungnya ada Bapak ini di sana, jadi dia menolongku. Iya kan Pak?" Menoleh ke arah Dion, dan matanya seperti meminta Dion agar menyetujui kebohongannya.
Dion mengangguk tidak mengeluarkan suara.
"Papa nggak usah khawatir. Hanya lecet sedikit," lanjut Lily lagi sambil memegang lengan tangannya. Tapi bodohnya dia, pergelangan tangan yang dicengkaram preman tadi dilihat oleh papa.
"Tanganmu ini kenapa?" Memegang tangan Lily dan melihatnya dengan teliti.
Lily dengan cepat menarik tangannya. "Itu karena tanganku jadi tumpuan berat badan saat jatuh, jadinya seperti ini." Mulai panik dan mengutuki kebodohannya yang memperlihatkan luka yang lain.
"Bohong." Papa menatap tajam ke arah Dion seperti meminta penjelasan. Dion menarik napas kasar.
"Benar Pa. Memang begitu yang sebenarnya." Lily berusaha meyakinkan.
"Papa tahu kamu bohong. Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!"
Lily diam seribu bahasa. Dia tahu sangat susah untuk meyakinkan papa apalagi dengan keadaannya yang seperti ini.
"Dion, kamu pasti tahu kan kenapa dia terluka begitu."
Karena Dion yang hanya diam saja, papa mendekat kearahnya dan mencengkram kerah kemejanya. "Katakan apa yang kau lakukan pada putriku?"
Lily kalang kabut melihat kesalahpahaman itu. "Pa, ini karena kebodohanku sendiri. Dia sama sekali nggak terlibat." Mencoba melepaskan cengkraman tangan papa.
"Kalau tidak terlibat, kenapa dia diam saja. Dia pasti sudah melakukan hal buruk padamu."
"Nggak Pa."
Papa sangat geram karena Dion dari tadi diam saja. Semakin meyakinkan pikirannya kalau Dion lah yang menyakiti Lily. Papa mengepalkan tangan dan mengangkatnya hendak memukul Dion.
"Pa, jangan pukul dia. Dia yang udah nolong Lily dari kejaran preman itu. Dia juga udah ngobatin luka Lily. Aku mau dijodohkan sama dia."
Senyap. Papa dan Dion menatap Lily bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments