"Pak, tunggu aku! akukan belum bisa jalan normal. Kenapa meninggalkanku?" teriak Lily.
Dion sudah berjalan jauh di depannya terpaksa harus menoleh ke belakang.
Dia hanya diam mematung menunggu Lily yang berjalan tertatih. Banyak orang yang memperhatikan Lily. Banyak pula yang memberi komentar terhadap pakaian Lily.
"Eh lihat celana gadis itu. Apa dia orang gila?"
"Apa mode celananya itu trend masa kini? Ah, sepertinya tidak mungkin."
"Apakah dia tidak punya celana lain selain itu?"
"Dia tidak malu ya memakai celana begitu."
Dan masih banyak lagi komentar-komentar lain sambil diselingi tawa. Lily sangat geram. Ingin rasanya menyumpal mulut orang-orang itu dengan kain pel.
"Saat dikejar preman tadi kau masih bisa berlari kencang. Kenapa sekarang hanya berjalan saja kau mengeluh," ucap Dion saat Lily sudah didekatnya.
Lily memasang muka masam. Mengacuhkan apa yang dikatakan Dion.
"Coba lihat itu? Apa itu kekasihnya? Kenapa dia mau memiliki kekasih dengan penampilan aneh begitu? Hei kau, kalau tidak memiliki celana lain lagi datang saja ke rumahku. Aku punya banyak celana bekas yang masih layak pakai." kata seseorang kepada temannya yang ada di dekat mereka dan dibumbui tawa mengejeknya.
Lily mengepal tangannya jengkel. "Kau tidak tahu ya ini penampilan masa kini." Berkacak pinggang dengan percaya dirinya.
"Model celana ini juga dipakai salah satu pemain drama korea kesukaanku di film terbarunya. Apa kau tidak tahu? Sayang sekali. Kau pasti akan ketinggalan." Lily menjawab celotehan remaja tadi dengan seringai tipis di bibirnya, padahal di dalam hati ingin sekali mencabik mulut remaja yang sok berpenampilan ala korea itu.
"Sudahlah, ayo jalan. Jangan pedulikan mereka," ajak Dion. Padahal sebenarnya dia juga setengah mati menahan tawa. Dia tidak menyangka Lily akan membalas kembali ejekan itu.
"Hei tunggu dulu! Beritahu aku apa judul filmnya?" tanya remaja tadi.
"Cari tahu aja sendiri." Lily melambaikan jemari tangannya sambil terus berlalu. Sepertinya remaja itu terpancing akan apa yang diucapkan Lily.
"Apa benar model celanamu itu penampilan masa kini? Berarti aku nggak salah mengguntingnya jadi seperti itu." Dion tertawa.
"Diamlah." Lily semakin dongkol.
*****
Dan tibalah mereka di toko tujuan. Pramuniaga juga terlihat tertawa. Namun segera ditahannya takut membuat pelanggannya tersinggung. Terlebih lagi yang datang dengan Lily seorang pria tampan dan pasti kaya raya.
"Pilihlah yang cocok denganmu."
Tanpa membalas kata-kata Dion, Lily langsung menyambar yang ada di hanger dan menuju ruang ganti. Dia tidak mau lagi menjadi bahan ejekan orang-orang yang ada di toko itu. Tidak berapa lama dia sudah kembali lagi dengan mengenakan rok korea kotak-kotak warna merah lewat lutut sedikit.
"Pak, aku ambil yang ini." Lily sengaja tidak mengambil celana agar tidak bergesekan dengan luka di lututnya.
"Pak, aku pinjam uang Bapak ya."
Dion terdiam. Dia kagum dengan yang dipakai Lily. Sebenarnya bukan di pakaiannya, lebih tepatnya pakaian itu membuat lekuk tubuh Lily lebih terlihat indah. Selama ini Dion melihat Lily selalu memakai celana panjang dan sama sekali tidak terlihat penampilan feminimnya.
"Pak, bagaimana ini? Uangku nggak cukup."
"Ah iya sebentar. Kenapa nggak bilang dari tadi kalau kau sudah selesai memilih. Mbak dimana saya harus membayar?" tanya Dion pada pramuniaga yang sejak tadi menikmati ketampanan Dion.
Apanya yang kenapa nggak bilang dari tadi? Jelas-jelas aku sudah teriak-teriak dari tadi.
"Pak, itu anaknya Bapak ya?" tanya pramuniaga saat tiba di kasir sedangkan Lily menunggu di luar.
Dion terkejut. "Bukan." Menjawab dengan wajah datar.
"Oh, saya kira anaknya Bapak." Dion langsung pergi setelah selesai dengan urusan pembayaran. Tidak peduli celetukan pramuniaga itu.
"Pak, ada apa? Kenapa wajah Bapak ditekuk begitu? Harganya mahal sekali ya?" tanya Lily saat melihat perubahan wajah Dion dari sebelumnya.
"Bisakah kau jangan memanggilku BAPAK?" Dion memberi penekanan di kata bapak.
"Lalu aku harus memanggil apa? Bapak juga memanggilku hei, hei. Aku juga nggak mau dipanggil begitu." Protes.
Mereka berdua sama-sama diam.
Tiba-tiba hal yang tidak enak didengar bunyi dari perut Lily. Lily tersenyum canggung.
"Kau lapar?" Lily mengangguk malu-malu. "Ayo makan!"
"Aku nggak punya uang Pak. Aku pulang saja."
"Jarak dari sini ke tokomu jauh, kau akan mati kelaparan. Biar aku yang bayar."
Berpikir. "Aku mau. Tapi nanti akan aku ganti sekalian dengan yang ini dan juga obat tadi." Menunjuk rok yang dipakainya.
"Kau pikir aku ini orang yang perhitungan ya? Ayo! Apa kakimu masih sakit?"
Seharusnya kau kan pelit. Tapi kenapa hari ini agak berbeda ya?
"Hanya sakit sedikit Pak."
"Baguslah. Di seberang ada kafe. Kita ke sana saja."
Dion membawa Lily menyeberang jalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments