Asisten Dion yang bernama Fasa sudah pergi. Dia naik mobil yang lain. Entah kenapa setelah diperintah pergi meeting seorang diri, tiba-tiba saja mobil itu datang dengan cepat.
"Pak, anda pergilah kalau ada urusan penting. Aku bisa mengurus diriku sendiri." Merasa tidak enak. Menurut yang dia tangkap dari pembicaraan tadi, saat ini Dion ada pekerjaan penting.
"Benarkah? Apa dikejar-kejar seperti tadi bisa dikatakan bisa mengurus diri sendiri?"
Siapa juga mau dikejar penjahat itu.
Dion pindah ke depan mengambil alih kemudi dan segera melajukan mobil. Sedangkan Lily diam di belakang mengingat kejadian mengerikan tadi. Kakinya gemetar lagi dan air matanya tumpah menganak sungai. Mengutuki kebodohannya karena sudah berani berjalan sejauh ini tanpa tujuan.
"Jangan menangis lagi." Dion menatap Lily dari kaca spion.
"Pak, tolong jangan menceritakan kejadian ini pada papa ya."
"Kalau kau terus menangis aku akan menceritakannya."
"Pak, aku mohon."
Dion diam.
Sampailah di depan sebuah toko bertuliskan apotek. "Jangan keluar dari mobil!"
Ahh, mana mungkin Lily berani keluar dari mobil dengan keadaan kacau begini.
Dion lumayan lama di apotek itu. Selang beberapa waktu dia baru kembali dengan menenteng kresek. Masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Lily. Lily tidak lagi menangis namun masih terdengar sesenggukan.
Dion membuka jasnya dan menggantungkannya di sandaran kursi. Lalu menggulung lengan kemeja panjangnya. "Berikan tanganmu." Lily mengulurkan tangannya. Dion menempelkan bongkahan es ke pergelangan tangan Lily yang merah. Kenapa bisa ya Dion membawa es dari apotek? Sepertinya dia memintanya dari lemari pendingin sang apoteker.
Dion mengolesi es ke tangan Lily dengan gerakan memutar agar rata.
"Bagaimana rasanya?"
"Dingin."
"Anak kecil juga tahu es itu dingin. Tanganmu ini masih sakit atau bagaimana?" Mulai kesal.
"Enakan Pak, hehe."
Bodohnya aku.
Dion terus mengolesi beberapa bongkahan sampai tangan Lily dirasa tidak semerah tadi.
Dion bangkit dari duduknya, mengambil sesuatu dari laci dashboard.
"Luruskan kakimu."
"Pak, apa yang akan Bapak lakukan dengan gunting itu? Jangan bunuh aku Pak." Panik.
Dion terperanjat. "Siapa yang mau membunuhmu? Aku hanya mau menggunting celanamu supaya lukanya bisa diobati dengan leluasa. Atau kau mau membuka celanamu?"
Hei sudah gila ya.
"Ah, maaf Pak. Aku sudah berprasangka buruk, hehe. Tapi bagaimana aku meluruskan kaki? Ruang ini sempit."
"Letakkan saja kakimu di sini." Dion menepuk pahanya.
"Nggak Pak. Aku sungkan dan itu juga nggak sopan," menjawab malu-malu sambil memperhatikan jakun Dion yang naik turun saat berbicara.
Dion melempar pandangannya keluar. Dia melihat ada kursi di sana. "Kalau begitu kita ke sana saja. Kau bisa jalan?"
"Akan kucoba Pak."
Mereka keluar. Lily masih bisa berjalan meskipun dengan sedikit tertatih. Dion memegangi tangan Lily takut kalau-kalau Lily akan terjatuh. Lily duduk di kursi yang dimaksud sedangkan Dion jongkok di depannya.
"Aku harus menggunting celanamu ini agar lukamu bisa diobati. Nggak apa-apa kan?" Lily mengangguk. Lily berpikir kalau Dion hanya akan menggunting celananya sedikit saja.
Dion menarik kaki Lily ke depan agar lurus dan mulai menggunting dari lutut celana Lily yang sobek dengan hati-hati sampai celana itu terputus.
"Pak, kenapa Bapak menggunting celanaku sampai putus?" Lily protes.
"Lalu bagaimana aku akan mengobati lukamu kalau lukamu tidak kelihatan semua?"
"Bapak kan bisa hanya mengguntingnya di bagian lututnya saja. Coba Bapak lihat, orang-orang akan menertawaiku dengan celana seperti ini. Yang satu panjang, yang satu lagi pendek." Lily menunjuk kakinya dengan kesal.
Benar juga. Dion tergelak.
Dion benar-benar tertawa sepuasnya melihat celana Lily tanpa melihat ekspresi kesal Lily.
"Tuh kan benar ditertawakan."
"Maaf." Tetapi tetap saja Dion masih senyum-senyum. Yang tadinya Lily memandang celananya, kini dia melihat wajah Dion yang menertawainya. Wajah itu sungguh tampan tidak bercela karena berhiaskan senyum dan tawa indah di bibirnya. Hilang sudah rasa kesalnya.
Oh dewa, inikah putra Zeus yang tampan sejagat raya itu?
"Sudah selesai." Dion menatap Lily yang sedang melamun. "Halo, lukamu sudah selesai kuobati." Dion melambai-lambaikan tangan di depan wayah Lily. Lily tidak bergeming juga.
Gadis ini hobi sekali melamun.
Dion menepuk lengan Lily dan itu membuat Lily tersentak. "Sudah selesai," ucapnya lagi.
"Benarkah? Kenapa nggak terasa ya?" Lily panik, takut ketahuan karena menatap wajah Dion sedari tadi.
"Bagaimana mau terasa, kau melamun sampai ileran."
"Mana mungkin." Lily spontan mengelap area mulutnya dengan tangan. Tingkahnya membuat Dion tertawa lagi.
Mana mungkin aku melamunkan dia sampai separah itu.
"Aku sudah membersihkan dan mengobati lukamu, rasanya memang perih. Mudah-mudahan besok tidak lagi. Kalau sekiranya masih sakit, sebaiknya ke dokter saja." Lily manggut-manggut mendengarkan. Dion berbicara lagi. "Tapi kau ini aneh ya, saat aku mengolesi antiseptik tadi kau sama sekali tidak mengeluh perih."
Lily tertunduk. Itu karena ketampananmu yang mampu menghilangkan rasa sakitku tuan. Eh aku bilang apa? Tampan?
"Tunggu di sini sebentar. Aku menyimpan ini dulu ke mobil," kata Dion sambil menunjuk P3K yang dipakainya tadi untuk mengobati luka Lily.
"Kenapa aku menunggu di sini? Aku pulang saja."
"Kamu yakin mau pulang dengan fashion terbarumu ini?" Menunjuk celana Lily sambil menahan tawanya.
"Ini karena Bapak juga." Kesal lagi.
Dion berjalan ke arah mobil membiarkan Lily menggerutu sendiri dan beberapa saat kembali lagi.
"Ayo kesana," tunjuk Dion ke arah sebuah toko pakaian.
"Buat apa Pak?"
"Membeli celanamu."
Berpikir sebentar. "Tapi aku nggak punya cukup uang untuk membelinya."
"Lalu bagaimana? Apa kamu pulang saja seperti ini?" Mencoba membuat Lily kesal lagi.
"Kalau begitu, aku pinjam gunting Bapak tadi," pinta Lily.
"Sudahlah ayo. Apa yang akan dikatakan papamu nanti melihat celanamu bekas guntingan."
"Tapi Pak...."
Belum selesai bicara, Dion sudah pergi meninggalkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments