Lily membawa langkah kakinya dengan berat. Tak tentu arah. Beberapa hari ini dia terlihat murung setelah papa menyerahkan sepenuhnya keputusan apa yang akan diambilnya sendiri.
Tiba-tiba, brukk. Lily tidak sengaja menabrak orang karena tidak melihat jalan.
"Maaf, maafkan saya," ucap Lily tanpa melihat siapa yang dia tabrak sambil menundukkan kepalanya berkali-kali.
Ucapan maaf Lily dibalas dengan gelak tawa yang tidak enak didengar. Sepertinya orang itu sengaja menghadang biar ditabrak Lily yang melamun.
Kenapa tertawa? Lily mendongakkan kepalanya, perasaannya sudah tidak enak.
"Gadis cantik, kenapa kau sendirian?" tanya seseorang dari mereka masih ada gelak tawa dari mulutnya sambil matanya menggoda nakal.
Mereka berjumlah tiga orang. Dilihat dari penampilan, bentuk tubuh dan tinggi badannya sepertinya mereka bukan orang baik. Mereka membentuk lingkaran sambil berjalan mengelilingi Lily. Lily terlihat ketakutan karena merasa ada aura tidak baik dari ketiga orang itu.
"Tuan, biarkan saya pergi. Saya ada urusan penting," pinta Lily dengan wajah yang sangat ketakutan. Dan bisa dipastikan tubuhnya sudah gemetaran.
"Kenapa buru-buru gadis cantik. Bukankah sekarang ini urusan kita juga penting." Gelak tawa terdengar lagi dengan dibumbui tanda tos.
"Ayolah gadis cantik, kita bersenang-senang sebentar. Tidak usah takut," kata satu orang yang lain. Dia menyentuh dagu Lily, dan dengan cepat ditepis oleh Lily.
Lily melihat pandangannya kesekitar. Jalan itu sepi, entah kenapa jalan besar itu bisa sepi di siang bolong begini. Biasanya jalan itu tidak pernah sepi.
"Wah, sepertinya kau tidak sabar lagi ingin bermain dengan kami ya." Seseorang mencengkram kuat tangan Lily.
Lily memberontak. Lily memutar keras otaknya bagaimana dia bisa lari dari situasi mengerikan yang tak pernah dialaminya ini sebelumnya. Lily menendang keras tulang kering kaki orang yang memegang tangannya itu, dan menggigit tangannya dengan kuat.
Melihat orang itu lengah, Lily berlari sekencang mungkin. Lily berlari sambil berdoa agar selamat dari kejaran orang jahat itu dengan beruraian air mata. Lily tersandung dan jatuh, lututnya terasa perih. Namun dia segera bangkit dan berlari lagi.
"Kejar dia, kejar dia! jangan sampai lolos." Terdengar suara memerintah. Lily terus berlari dengan semua tenaga yang dia punya.
Dan, ciiit... mobil berhenti mendadak. Lily membentangkan tangannya tepat di depan mobil itu. Lily menghampiri orang yang duduk di belakang kemudi.
"Pak, tolong saya. Saya mohon tolong saya Pak." Lily memohon dengan mengatupkan tangannya masih terus berurai air mata.
Pengemudi mobil tetap duduk tidak bergeming. Takut kalau itu adalah pembegalan yang direncanakan seperti banyak kasus akhir-akhir ini.
"Pak," belum selesai pengemudi itu berbicara, seseorang yang duduk di belakang mobil segera keluar. Menghampiri Lily dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Pengemudinya gelagapan ikut keluar. Bagaimana mungkin bosnya ada di luar sedangkan dia duduk manis.
"Hei, kalian mau kuhajar dan laporkan ke kantor polisi, hah," teriak orang itu.
Melihat siapa yang keluar dari dalam mobil, ketiga orang yang berada tidak jauh dari mereka berlari tunggang-langgang.
"Kamu sudah aman, masuklah ke dalam," kata orang yang tak lain adalah Dion. Dion membukakan pintu untuk Lily. Lilypun masuk.
"Pak, bagaimana kalau."
"Diamlah, aku kenal dia." Dion memotong perkataan asistennya itu.
Dion menatap Lily yang sangat berantakan. Lily masih menangis dan terlihat jelas sangat ketakutan. Dion juga melihat pergelangan tangan Lily yang merah dan celana jeansnya yang sedikit sobek dan terlihat cairan darah di sana.
"Kita ke rumah sakit," kata Dion pada asisten yang memiliki bibir tipis.
"Tidak usah Pak. Saya pulang saja," sanggah Lily sambil menghapus air matanya yang masih terus berjatuhan.
"Kamu mau dilihat papamu dengan keadaan seperti ini?"
Lily tidak menjawab. Kalau Pak Miko tahu dia disakiti preman, tidak tahu apa yang akan dilakukan papa. Lily semakin terisak menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Dion menarik Lily ke pelukannya. Dari buku yang dia baca, pelukan bisa menenangkan hati dan mengurangi rasa takut. Lily tidak menolak. Dia bahkan mengeratkan pelukan itu. Ada perbedaan saat Lily dipeluk papa dan pelukan yang sekarang. Pelukan ini rasanya lebih dari sekedar menenangkan, bisa dibilang nyaman yang bikin ketagihan.
Sedangkan Dion? Sama dengan Lily, Dion merasa bersentuhan dengan Lily itu seperti mengobati luka hatinya yang tergores. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya karena pelukannya mampu membuat Lily mulai tenang.
Ada apa ini?
"Ehm Pak, klien sudah menunggu di tempat." Suara orang yang duduk di belakang kemudi berhasil melepaskan pelukan yang lumayan lama itu.
Lily sangat malu. Bagaimana bisa dia membalas pelukan itu tanpa ragu. Memeluk orang yang jelas-jelas dia tolak dijodohkan dengannya.
Huaa, mau ditaruh di mana wajahku ini? Bisakah aku tenggelam sebentar saja di lapisan bumi paling bawah?
"Batalkan saja meetingnya. Sekarang kita ke apotek terdekat," perintah Dion kepada asistennya itu. Dia baru sadar kalau ada orang lain bersama mereka.
"Tapi Pak, klien ini sangat penting. Mereka sudah jauh-jauh datang kemari dan akan kecewa karena dibatalkan secara sepihak." Mengingatkan.
Dion berpikir sejenak. "Kalau begitu, kamu yang meeting dengan mereka. Pergilah naik taksi. Ingat, jangan membuatku kecewa. Katakan pada mereka kalau aku ada urusan penting."
Kenapa Pak Dion mengambil keputusan seperti ini? Biasanya dia tidak pernah melewatkan meeting sepenting ini. Memang siapa gadis ini sampai dibilang penting?
"Baik Pak, berhati-hatilah." Asisten Dion masih menaruh curiga karena belum pernah melihat Lily sebelumnya. Padahal siapa yang dikenal Dion otomatis dia juga akan mengenalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Mel Rezki
mampir lagi kak💪
2021-08-10
0