Rumah keluarga Surya adalah rumah elit yang berdiri di antara rumah-rumah lainnya, bak istana kerajaan saking besar dan mewahnya. Beberapa pilar berdiri kokoh mulai dari teras depan hingga ke dalam rumah akan menyambut setiap orang yang datang, sungguh menyempurnakan arsitektur bangunan indah itu.
Istana mewah itu terdapat taman cukup luas yang memiliki gazebo. Desain gazebo taman itu sederhana dengan panggung rendah menjadi sarana tempat untuk duduk bersantai sambil menikmati keindahan taman. Beraneka warna bunga yang memberikan warna dan menghidupkan taman hijau yang natural.
Garasi kendaraan sengaja dibuat di bawah paling kiri rumah itu. Pintu garasi terbuat dari baja yang tidak akan bisa dibobol oleh siapapun dan berfungsi hanya dengan menggunakan remote control. Terdapat lift juga disana, mungkin untuk mempercepat waktu tuan rumah.
Dan sebelum masuk ke dalam istana itu tentu saja harus melewati gerbang pagar yang menjulang tinggi. Rumah indah itu dikelilingi oleh pagar besi yang sepertinya memang didesain khusus oleh arsitek terkenal.
Dion masih setia di kamar master bedroomnya merenungi perjalanan cintanya yang terdahulu. Pikirannya kacau balau mengingat kekasihnya atau lebih tepatnya mantan kekasih yang sudah lama menemaninya. Alasan minta putus yang diberikan karena Dion tidak pernah ada waktu untuk dirinya.
"Cih, alasan macam apa itu? Bukankah sudah kodratnya pria dewasa harus bekerja." Dion berbicara pada dirinya sendiri. Mengacak rambutnya, menopang dahi dengan kedua tangan dan mengingat lagi kejadian di masa lampau.
Pagi itu Dion datang ke apartemen kekasihnya. Dia ingin memberikan kejutan buat Clara atas kepulangannya dari luar negeri. Rencanapun sudah disusun rapi. Dia akan mengajak Clara kesuatu tempat, walaupun Clara sudah mengatakan putus tetapi Dion mengira kalau itu hanyalah candaan. Mana mungkin Clara minta putus semudah itu apalagi melalui telepon, begitu dia menyimpulkan. Dion sudah menyiapkan sebuah pulau di salah satu negara maju di Asia Timur. Dia akan melamar Clara di sana yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
Dion sudah memantapkan hati bahwa Clara lah wanita yang pas jadi pendamping hidupnya kala itu, pilihannya tidak akan salah karena cintanya pada Clara begitu besar.
"Clara! apa-apaan ini!" hardik Dion saat dia sudah berada di lobi apartemen Clara. Dia bagai disambar petir di siang bolong melihat kemesraan wanita yang dicintainya dengan seorang pria yang kelihatannya mapan.
"Dion kamu ngapain disini?" Clara balik bertanya dengan acuh.
"Siapa lelaki ini?"
"Kenalkan, dia kekasihku. Bukankah sudah kubilang kalau kita putus." Clara masih tidak melepaskan tangan kekasih barunya, malah semakin mendekapnya erat.
"Kenapa? Kenapa harus putus? Kau tahukan kalau aku mencintaimu dengan segenap jiwaku. Apa yang kuberi selama ini tidak membuatmu bahagia?"
"Cinta saja tidak cukup. Dia juga mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Dan dia juga tidak kalah mapan denganmu. Dia punya banyak waktu untukku, tidak sepertimu yang hanya bekerja dan bekerja."
"Bagaimana menjelaskannya padamu Clara? Aku bekerja untuk masa depan kita kelak."
Sementara lelaki yang bersama Clara tersenyum sinis, melihat tidak suka. "Sudahlah bro, wanita itu jangan dipaksa. Semakin dipaksa semakin dia tidak suka. Kalau dia bilang putus, ya sudah lepaskan saja. Masih banyak wanita di luaran sana," jawab lelaki itu tersenyum senang seperti memenangkan lotre dua ribuan.
Dion mengepalkan tangannya dan bola matanya sudah sangat merah menahan amarah.
"Clara, apa kau sudah lama menjalin hubungan dengannya?" Tidak menggubris omongan lelaki itu.
"Iya. Kenapa? Kau mau marah karena aku menghianatimu?" tersenyum mengejek, berpikir kalau Dion laki-laki bodoh.
Dion tersenyum sinis juga. "Cih, hari ini kau menyadarkanku kau itu wanita seperti apa. Aku bersyukur bukan kau wanita yang jadi pendampingku. Kau hanyalah seorang mantan busuk yang pantas dibuang ke tempat sampah." Dion melempar kasar sebuket bunga dan sebuah kado kecil ke depan Clara, lalu pergi.
"Hei, aku yang bersyukur bisa lepas dari lelaki yang gila bekerja sepertimu." Clara berteriak dan masih bisa didengar oleh Dion namun tidak diindahkan lagi.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Dion.
Pintu dibuka karena memang tidak dikunci. "Dion, dari tadi Mami panggil nggak nyahut. Kenapa kamu berantakan begini?" Mami menatap heran, lalu mendekat dan membetulkan rambut Dion yang berantakan.
Dion hanya diam. Membiarkan mami melakukan apa saja pada dirinya. "Dion, Mami tahu kamu stress memikirkan pasangan untuk dirimu." Mami menatap lekat wajah puteranya yang kacau. "Cobalah untuk membuka hatimu pelan-pelan. Tidak semua wanita sama seperti si Clara. Contohnya Mami. Apa kamu pernah lihat Mami berselingkuh? Atau Mami pernah menuntut papi untuk memberikan waktunya semua buat Mami?"
Dion tertawa lebar mendengar kata 'berselingkuh' yang pastinya mustahil dilakukan mami. "Kalau Mami sampai sempat berselingkuh, Dion yang akan berada di barisan pertama untuk menghajar Mami." Mereka berdua tertawa.
"Jadi bagaimana?"
"Apanya Mi?" Balik bertanya masih menyisakan tawa di bibirnya.
"Senyumnya Lily?"
"Manis... ahhh, Mami kenapa nanya itu," Dion kaget dengan jawaban spontannya sendiri.
Mami tergelak. "Kalau ada yang bilang senyumnya pahit, berarti orang itu tidak normal. Mami sudah lama kenal Lily dan keluarganya dengan baik." Menatap mimik wajah Dion, tapi tidak bergeming sedikitpun.
"Kamu kenal Pak Miko?" Dion mengangguk. Tentu saja semua orang di rumah itu mengenal Papa Miko. Mami mempercayakan Papa Miko untuk mengatur taman bunganya. Papa Miko juga turut andil di perusahaan bila ada acara penting. "Pak Miko itu papanya Lily."
"Benarkah? Tapi aku nggak melihatnya di toko bunga itu tempo hari."
Sepertinya Dion mulai tertarik, begitu mami menyimpulkan. "Toko bunga Pak Miko itu terkenal, mungkin saja dia sibuk mengantar pesanan pelanggannya." Dion manggut-manggut.
"Kamu setuju kan kalau Pak Miko itu orang baik?" Dion mengangguk lagi. "Dan sudah pasti anaknya juga baik."
Dan mulailah mami menceritakan semua tentang keluarga Lily. Mami juga bercerita kalau dia pernah meminta kepada mama Lily menjadi besannya sebelum mama Lily sakit dan meninggal. Padahal saat itu Dion masih bersama Clara.
"Entah kenapa mami merasa kalau Lily adalah calon yang pas untukmu."
Dion tertegun setelah mendengar cerita mami. "Tapi gadis itu masih terlalu muda Mi, baru mau lulus sekolah pula. Mami nggak dengar dia panggil om dan pak sama Dion. Pake nanyain anak segala lagi," Dion mendengus mengingat pertemuan pertama mereka.
"Haha. Itu karena kalian baru pertama bertemu. Umur bukanlah masalah untuk sebuah hubungan kan. Kalau kalian bertemu lagi pasti akan nyambung," jawab mami yakin.
Dion menatap dalam wajah mami. Terlihat keyakinan dan harapan di sana. "Mami yakin?"
"Sangat yakin."
"Papi juga yakin." Papi tiba-tiba nongol di depan pintu kamar Dion. "Ditungguin dari tadi, tapi nggak turun-turun juga. Papi udah kelaparan."
Mami dan Dion saling pandang dan tersenyum melihat wajah papi sedih yang dibuat-buat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Mel Rezki
like lagi Thor👍
2021-07-12
0