Papa Miko sedang asyik di kebun. Di belakang toko ada kebun bunga yang tidak terlalu luas dan tidak kecil juga. Mama Lily yang membuat gagasan untuk menanam dan merawat bunga di kebun itu hingga jadilah kebun yang indah seperti sekarang ini. Jadi mereka tidak perlu pemasokan bunga yang banyak.
Kebun itu ditumbuhi beragam bunga nan cantik. Pot bunga ditata rapi sedemikian rupa, kelopak bunga yang warna-warni bermekaran di sana-sini. Bau wewangiannya pun tercium yang mampu menenangkan hati dan pikiran. Siapa yang melihatnya pasti betah untuk berlama-lama disana.
Lily menghampiri papa. "Papa perlu bantuan?" Tawar Lily yang sedang melihat papa memupuk bunga.
"Sudah mau selesai, Sayang. Kamu kenapa kesini? Layani saja pelanggan di depan?" Papa masih terus melanjutkan aktifitasnya tanpa melihat Lily.
"Lagi sepi, Pa. Bu Sinta dan Pak Seto juga sudah datang dari mengantar pesanan."
Bu Sinta dan Pak Seto adalah pasangan suami istri paruh baya yang sengaja dipekerjakan papa di toko bunga. Mereka sengaja dipekerjakan karena papa merasa iba terhadap mereka. Saat itu papa bertemu mereka di jalan, mereka baru datang dari kampung dan tidak tahu kemana tujuannya.
Selesai memupuk bunga, papa berjalan ke arah kran air lalu membersihkan tangan dan kaki pakai sabun menghilangkan pestisida yang menempel di tubuhnya.
"Papa sampai berkeringat gini." Lily mengusap peluh papanya dengan lengan blus panjangnya setelah Papa Miko duduk di sebuah kursi panjang yang sengaja diletakkan menghadap ke kebun.
Papa membiarkan Lily melakukan itu. "Itu yang Papa mau Ly, sambil berkebun sambil berolahraga. Uang dapat sehatnya juga dapat." Papa menarik lembut hidung Lily sambil tersenyum melihat wajah putrinya yang menggemaskan.
Lily memberikan air botol kemasan ke papa.
"Minum dulu, Pa. Papa sepertinya kecapekan."
Papa menerima dan hampir meneguk habis isi kemasan itu. "Terima kasih sayang Papa."
"Sama-sama Papa yang paling guanteng sedunia." Papa tertawa lepas mendengar kalimat pujian Lily barusan.
"Apa yang akan kamu lakukan setelah menerima kelulusanmu nanti?" tanya papa setelah tawanya reda.
"Lily mau kuliah tapi yang di dekat sini saja, Pa. Lily nggak mau jauh-jauh dari Papa." Lily memeluk papanya dari samping dengan erat sambil kepalanya disandarkan di bahu papa. Papa mencium kepala Lily dengan penuh kasih sayang.
"Papa akan selalu mendukungmu. Kalau kamu mau menikah, Papa juga akan mendukungmu," ujar papa dengan santai.
"Papa ..." Mata Lily melotot tidak percaya dengan apa yang dikatakan papanya barusan. Papa tertawa lagi dengan ekspresi Lily.
"Entah kenapa, Papa ingin saja melihat kamu menikah. Papa ingin segera punya cucu yang banyak. Pasti rumah akan ramai dipenuhi tawa dan tangis anak-anak." Papa menerawang sambil membayangkan suara anak-anak.
Lily heran dengan ucapan papanya. Selama ini papa tidak pernah membahas tentang pernikahan. Lily bahkan sampai sembunyi-sembunyi pacaran karena tidak diperbolehkan oleh papa.
"Tapi Lily masih belasan tahun, Pa." Lily menatap sebentar wajah papanya, seperti mencari sesuatu. "Ah, Lily sampai menanggapi lelucon Papa ini serius. Papa bercandanya jelek," tukas Lily.
"Papa serius Ly. Kalau ada yang melamarmu, Papa akan menerimanya dengan senang hati." Papa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Lily mengeryitkan dahi tidak percaya. "Bagaimana ada yang melamar, pacaran saja dilarang." Lily membeberkan fakta.
"Lalu si Axel kamu anggap apa?" Papa tak kalah sengit mengungkap kebenaran.
Lily kaget bukan main sampai-sampai dia berdiri dari duduknya, dia tidak menyangka papanya akan mengetahui hubungan rahasia yang selama ini ditutupnya rapat-rapat.
"Pa, Papa tahu?" Lily bertanya terbata-bata, berusaha meyakinkan yang baru saja didengar.
Papa mengangkat kedua bahunya. "Tidak ada yang bisa kamu sembunyikan dari Papa. Papa kenal kamu luar dan dalam. Papa tahu kamu berkata jujur atau bohong hanya dengan melihat sorot mata kamu."
"Pa ...," Lily duduk kembali di samping papa, mengambil tangan papa, "Lily minta maaf sudah melanggar aturan yang Papa beri. Lily juga tidak jujur sama Papa." Ada penyesalan di raut wajah Lily.
"Baiklah, karena dia tidak menyakiti dan membuatmu menangis, Papa akan melupakannya." Papa menyelipkan anak rambut Lily yang diterpa angin ke belakang telinga.
"Terima kasih, Pa," imbuh Lily sambil tersenyum manis dan memeluk papa lagi. "Hubunganku dengan Axel sudah berakhir, Papa nggak usah khawatir lagi." Lily masih setia memeluk papanya.
"Papa juga tahu itu. Diarymu yang memberitahu Papa kalau kamu tidak menyukainya dengan sungguh-sungguh." papa menjawab santai.
Lily segera duduk dengan tegak dan membelalakkan matanya. "Aihh, Papa ... jadi selama ini Papa membaca diaryku. Di sana kan banyak rahasia pribadi, Pa." Lily mengingat-ingat isi diary yang dia tulis.
"Dengan orang lain kamu bisa main rahasia-rahasiaan, tapi tidak dengan Papa." Papa mengacak rambut Lily, beranjak dan masuk ke dalam toko.
Lily melongo sendiri. Memalukan sekali kalau papa sampai membaca aku belum pernah ciuman, aku naksir sama kakak ketos yang sudah punya pacar dan malah melampiaskan ke Axel, dan yang paling parahnya aku mengatai guru sejarah manusia purba Pithecanthropus Erectus saking tidak sukanya aku dengan pelajaran itu. Bagaimana ini.
Papa membaca semua, tidak. Papa membaca semua, tidak. Papa membaca semua, tidak.
Lily seperti orang bodoh memainkan jemari tangannya. Dia mengingat-ingat hal konyol yang dia tulis di diarynya.
Ahhh, aku malu sekali pada papa kalau sampai dia membaca semua itu. Dasar bodoh, bodoh.
Lily mengutuk dirinya yang meletakkan diarynya sembarangan.
"Ly, kamu ngapain melongo di situ? Sini bantu Papa." Teriak papa dari dalam toko.
"Eh, iya, Pa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Mel Rezki
Papa membaca semua, tidak. Papa membaca semua, tidak. Papa membaca semua, tidak.
keren thor...pengulangan kalimat yang tepat menggambarkan suasana tokoh. mantap betul Thor👍👍👍👍👍👍
2021-07-12
0