Bab 2. Perpisahan Terakhir

...*** Seribu Tahun Kemudian ***...

Dua anak kecil terlihat berjalan memasuki sebuah kuil. Sang kakak yang sedikit tinggi dari adik perempuannya itu, berjalan menuju patung Dewa Kehancuran seraya bersimpuh dan memanjatkan doanya.

Rei Sebastian dan Zuzu Sebastian. Mereka berdua hidup sebatang kara setelah ditinggal mati kedua orangtua. Semoga Dewa selalu melindungi kami, batinnya dengan mata yang terpejam sambil memanjatkan doa dihadapan patung Sang Dewa Kehancuran, menurut kepercayaan penduduk sekitar.

Setelah membuka kedua matanya, Rei seketika melihat kehadiran seorang pendeta kuil yang tengah berjalan dibelakang patung besar berwarna emas tersebut. "Tuaan!!" soraknya sambil berdiri lalu menghampiri sang pendeta.

"Ada apa?" tanya sang pendeta berjubah putih dengan dagu yang dipenuhi janggut berwarna keabu-abuan.

Pendeta itu menatap penuh jijik pada Rei yang tengah mengenakan pakaian lusuh dan dekil serta kumuh. Zuzu pun turut ditatapnya dengan penuh rasa muak.

"Tuan! Hamba meminta kerendahan hati Tuan untuk menampung hamba dan adik hamba yang tengah sakit. Hamba hanya meminta makanan serta beberapa obat herbal saja," pinta Rei seraya mendongakkan wajahnya ke arah wajah pendeta angkuh itu.

Sang pendeta pun mendecih. "Apa kau tidak tahu malu?! Mana adabmu dalam memohon kepada orang suci! Setidaknya, gantilah pakaianmu yang lusuh itu!" caci sang pendeta dengan raut wajah kesalnya seraya berlalu meninggalkan Rei.

Rei pun tak ingin putus asa. Ia lalu mengejar sang pendeta sambil memeluk paha belakang kakek tua itu dengan erat. "Tuaan!! Hamba mohon! Hamba akan melakukan apapun yang Tuan perintahkan! Menyapu, mencuci, dan segalanya akan Hamba lakukan tanpa mengeluh!" mohon Rei, sekali lagi.

Matanya berkaca-kaca. Raut wajah kesedihan anak itu, sangat mengharapkan belas kasih sang pendeta. Rei pun sontak meneteskan air matanya karena sangat-sangat menaruh harapan pada kakek tua itu.

Namun, yang didapatkannya hanyalah keheningan. Pendeta itu menggertakan giginya dengan darah yang sudah memuncak di otak. "Brengsek! Apa kau tidak menyimak perkataanku?! Haaah?!!" bentak sang pendeta dengan sedikit menoleh ke arah belakang.

Rasa muak dan murka pun telah bercampur dalam pendeta durjana itu. Ia sontak menggengam tangan Rei lalu menarik tubuh kecil tak berdosa itu ke arah depan, yang membuat Rei terpental hingga jatuh tersungkur ke atas lantai kuil yang sangat keras.

(Brukkk!!!)

"Aaaarrggghhh!!" erang Rei setelah tubuhnya membentur lantai.

"Kakakkkk!!!" Terdengar sorakan dari suara gadis kecil yang terkejut saat melihat sang kakak dianiaya oleh pendeta jahanam tersebut.

Zuzu pun sontak berlari menuju Rei yang tengah meringkuk kesakitan. Ia lalu menimpa seraya memeluk tubuh sang kakak dengan maksud meringankan sakit yang dirasakannya. "Kakak, aku tidak ingin kau terlukaaa!" ucapnya sambil meneteskan air mata yang jatuh membasahi wajah Rei.

Belum puas memperlakukan Rei dengan keji, sang pendeta pun menghampiri mereka sambil meraih kerah belakang baju Zuzu serta merenggut kerah depan baju Rei. "Cih! Selain rutin membuang sampah, aku pun harus rutin membuang makhluk tak berguna seperti kalian!" caci sang pendeta seraya mengangkat kedua tubuh anak kecil itu dan membawa mereka menuju gerbang kuil.

Tanpa belas kasihan atau mungkin hatinya telah tertutup, pendeta durjana itu sontak melempar tubuh Rei dan Zuzu ke arah luar gerbang.

(bruk!!!)

"Aaaaaaaa!!" Rei pun mengerang kesakitan untuk yang kesekian kalinya. Tubuhnya membentur permukaan tanah yang sangat kasar hingga membuatnya meronta-ronta kesakitan.

Sungguh malang nasib kedua anak itu.

Kondisi kerajaan benar-benar sudah kacau dan membuat semua penduduk saling tidak percaya satu sama lain. Rei dan Zuzu pun kena imbasnya hingga menjadi pelampiasan kekesalan sang pendeta yang berang terhadap pihak kerajaan.

Kemiskinan, kemelaratan, bahkan saling bunuh satu sama lain, itu semua ulah Raja keparat itu! pikir sang pendeta sambil menatap penuh murka pada kedua anak kecil tersebut.

Setelah berjuang melawan rasa sakit ditubuhnya, Rei seketika menoleh ke arah Zuzu yang terus mengerang tanpa suara. "Zuzuu?! Bertahanlah!" ucapnya sambil membopong tubuh sang adik dan membawanya berteduh dibawah pohon yang sangat tinggi.

"Zuzu?!! Zuzuu?!! Zuzuuu!!!" Rei pun menangis setelah mendapati adiknya hilang kesadaran.

Rasa sakit dan perih yang dirasakan gadis kecil itu benar-benar dahsyat, hingga membuatnya tak sanggup lagi menahan kesadaran otaknya.

"Pergilah ke tempat penampungan anak! Jangan pernah tampakkan hidung kalian lagi disini!!!" pungkas pendeta biadab yang tersebut sambil menutup pintu gerbang kuil.

***

Rei membiarkan paha kanannya menjadi sandaran empuk kepala Zuzu. Ia tetap setia menemani seraya berharap sang adik bisa berjuang melawan rasa sakitnya dan segera kembali sadar. Zuzu, maafkan aku. Gara-gara aku kau jadi kena imbasnya, batin Rei seraya meneteskan air mata yang jatuh membasahi pipi sang adik.

Setelah menunggu beberapa saat, Zuzu pun akhirnya tersadar. "Ka—kaaak," ucapnya dengan terbata-bata dan mendapati Rei tengah menangis diatas wajahnya.

"Zuzu?! Syukurlah!!!" Rei pun sontak menempelkan keningnya pada kening sang adik seraya menangis bahagia.

"Kakak, Zuzu lapar," keluh Zuzu sambil memeluk perutnya.

"Baiklah kalau begitu. Ayo kita cari makanan di kota." pungkas Rei seraya berdiri lalu menggendong tubuh sang adik dibelakang punggungnya.

Mereka yang telah pernah putus asa dalam mencari belas kasih seseorang, melangkahkan kakinya menuju pasar yang sangat ramai.

Perhatian Rei seketika tertuju pada sebuah kedai makanan yang berada disebelah kanan jalannya. Aku harus mencari makanan bagaimanapun caranya! batinnya sanbil menatap ke arah tempat pembuangan sampah yang berada didepan tembok kedai tersebut.

Bocah itu kemudian berjalan menuju tempat pembuangan sampah lalu mengais sisa-sisa sampah yang berada didalamnya.

Namun, tak ada sedikitpun makanan bekas yang tersisa untuknya. Hingga akhirnya ia mencoba untuk memasuki kedai tersebut. "Hei kau! Keluar dari sini!" tegas pemilik kedai setelah melihat Rei yang lusuh dan kumuh itu berada dalam kedainya.

"Tuaaan! Tolonglah hamba ... berikan hamba makanan walau hanya sedikit!" pinta Rei seraya bersimpuh dihadapan pria pemilik kedai itu.

"Brengsek! Jika ingin mendapatkan sesuatu, maka kau harus bekerja! Jangan hanya meminta-minta seenaknya!" omel pria tua itu seraya mencekik lalu mengangkat leher Rei.

Rei pun sesak karenanya. Ia harus menahan sakit seraya menyentuh batang leher yang tak berdosa itu. Sang adik yang tak kuat melihat penderitaan kakaknya pun ikut menangis.

"Kakaaak... ayo pergi! Zuzu sudah tidak lapar," ujar gadis kecil berambut ikal tersebut.

"Maafkan aku, Zuzu," ucap Rei seraya menundukkan wajahnya.

Saat akan bergegas meninggalkan tempat tersebut, mereka dikejutkan oleh kedatangan pasukan ksatria kerajaan. Setelah beranjak dari kuda, pemimpin pasukan itu menghampiri Rei dan adiknya. "Atas perintah Raja, kami akan membawa gadis kecil ini!" tegas pria bertubuh besar itu seraya mengulurkan tangannya menuju Zuzu.

Gadis itu pun bersembunyi dibalik tubuh sang kakak. Ia lalu menangis ketakutan sambil memeluk tubuh Rei. "Tidak! jangan pisahkan kami!!!" ujar Rei yang menyeringai kepada pemimpin pasukan itu.

"Hei anak kecil! jangan melawan perintah Raja! apa kau ingin Raja mu mati?! gadis itu akan kami persembahkan untuk menjadi tumbal demi kesembuhan Raja!" kata sang pemimpin pasukan seraya menghalau tubuh Rei.

"Jauhkan tanganmu dari adikku!" Rei kemudian meraih tangan ksatria tersebut.

"Aarghh!!!" erang sang ksatria dan mendapati pergelangan tangannya mengucurkan darah.

Rei dengan spontan menggigit jari ksatria itu demi melindungi Zuzu dari sentuhan mereka. Salah seorang ksatria lainnya pun sontak meraih tubuh mungil Rei lalu membantingnya kearah depan.

(Bruk!)

"kakaak!!!" ucap Zuzu seraya menjerit saat melihat tubuh sang kakak terpental dan membentur tiang penyangga kedai.

Gadis itu pun mencoba berlari menghampiri Rei, namun ksatria biadab itu berupaya menghalanginya.

"Hei kau! Jangan pergi!" katanya sang ksatria sambil menahan tangan mungil Zuzu dan menggenggamnya dengan erat.

"Tidaak!!! Jangan siksa Rei! Jangan pisahkan aku darinya!!!" bentak Zuzu seraya mengelak dan memukul tangan sang ksatria biadab itu berulang kali.

Ksatria tersebut sontak menggendong tubuh Zuzu dan berusaha membawanya pergi, namun gadis kecil itu tetap memberontak sambil memukul-mukul zirah baju sang ksatria Biadab.

Rei yang hampir tak sadarkan diri pun berusaha untuk bangkit menolong Zuzu dari sergapan para ksatria itu. "Zu—zu ...." lirih Rei seraya menjulurkan tangannya.

"Diam kau! Atau ku bunuh kau sekarang juga!" gertak ksatria biadab dengan raut wajah murkanya.

Zuzu pun sontak terdiam dan membelalakkan matanya ke arah langit - langit. Seketika tubuhnya lemas tak berdaya dengan darah yang mengalir dari mulutnya yang menandakan bahwa tubuhnya sudah, tidak sanggup lagi menahan penyakit kronis yang dideritanya.

Berakhirlah riwayat hidup sang gadis kecil. Penderitaannya pun telah menghilang seiring dengan melayangnya ruh mulianya ke atas langit.

Rei terkejut dengan mata yang membelalak kearah tubuh sang adik tercinta. "Zuzu?! ... Zuzu?!! ... Zuzuuuu!!!" Ia pun sontak menjerit seakan tak menyangka bila adiknya telah meregang nyawa dalam genggaman tangan ksatria biadab.

"Kebetulan sekali! Kami tak perlu repot - repot untuk membunuhnya!" ucap Ksatria yang bengis dan durjana itu seraya menyeringai pada wajah Zuzu yang tak berdosa.

Rei pun menangis sejadi - jadinya setelah melihat adik kesayangannya meregang nyawa setelah tak sanggup lagi menahan penyakit kronis yang diidapnya.

Sang ksatria biadab beserta para pasukannya tetap membawa pergi jasad Zuzu menuju istana. "Semoga Raja senang dengan persembahan ku ini. Hahaha!" pungkasnya dengan tertawa penuh kedurhakaan.

Meski tubuhnya sudah tak sanggup lagi berdiri, Rei berusaha merangkak menuju luar pintu demi mengejar sang ksatria biadab yang telah keluar lebih dulu dari pintu kedai. "T-t-tidak mungkin! Zuzuuuuu!!!" soraknya dengan penuh air mata yang bercucuran ke atas tanah sambil menjulurkan tangannya ke arah tubuh Zuzu dari kejauhan.

Itulah hari terakhir dari dua kakak beradik yang saling menyayangi satu sama lain. Mereka selalu bersama melewati suka dan duka. Setelah kepergian orangtuanya, Rei bertekad untuk merawat adiknya seorang diri.

Dua tahun silam, terjadi sebuah pemberontakan terhadap pihak kerajaan. Setelah para pemberontak itu berhasil dipadamkan, Raja mengirim beberapa pasukan untuk menyisir seluruh desa guna membasmi sisa - sisa dari para pemberontak.

Namun nahas, ayah dan ibu Rei menjadi korban salah sasaran. Mereka lalu dinyatakan bersalah tanpa adanya bukti. Orangtuanya pun hanya bisa pasrah saat akan dibawa menuju aula desa untuk di eksekusi.

"Setelah kehilangan orang tuaku, kini kehilangan Zuzu! Aku sudah tak memiliki siapapun lagi di dunia ini ...." ucap Rei seraya menatap ke arah langit - langit.

Rei tak berdaya setelah melihat adik kesayangannya dibawa menuju istana kerajaan. Hatinya menjadi sedih tak karuan. Ia lalu berdoa dengan bercucuran air mata.

"Wahai dewa!!! Jika engkau memang ada, cabutlah nyawaku sekarang juga!!! Pertemukan aku dengan ayah, ibu, dan Zuzu yang sangat kusayangi!!!" ungkap Rei sambil duduk bersimpuh seraya bersorak ke arah langit dengan penuh raut wajah murka.

Air mata yang sudah membekas itu pun menjadi saksi atas kesedihannya. Rei sudah tidak memiliki semangat dan alasan lagi untuk hidup. Pandangannya menjadi buram. Detak jantungnya pun melemah. Ia kemudian menjatuhkan diri lalu meregang nyawa.

~to be continued~

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

Rei.. Zuzu..

2022-11-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!